Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30. Kesalahan
Pelangi mengangkat tangan kanannya, ia merangkul dan mengusap-usap bahu Binar.
"Maaf ya, gue nggak tahu," bisik Pelangi.
Binar menggelengkan kepala. "Apa keinginan gue pengen sama kak Cakra itu terlalu berlebihan ya, Na? Gue nggak pantas banget sama dia?" tanya Binar dengan ekspresi sedih.
"Nggak gitu, Bi. Emangnya kalian ada masalah apa?"
"Gue nggak bisa cerita sekarang. Kalau karena itu dia marah, berarti masalahnya ... privasi dan sensitif buat kak Cakra. Gue juga takut malah nangis lagi, gue capek."
"Yaudah, nggak papa. Gue juga dengar, katanya hari ini kak Cakra nggak sekolah," kata Pelangi.
"Oh ya?"
"Gue nggak tahu kenapa. Tapi kak Bima bilang gitu."
Binar berusaha untuk tidak peduli. Tapi tetap saja, ia ingin tahu kenapa.
***
Cakra sedang berada di balkon lantai dua. Seharusnya saat ini ia baru pulang sekolah, tapi ia tak ke sekolah. Sakit di tangannya ia anggap tak seberapa, tapi sakit di hatinya membuat ia galau dan malas bertemu banyak orang. Apalagi papanya bilang Cakra jangan sekolah dulu melihat tangannya yang terluka, bagaimana ia menulis nanti?
"Cakra?"
Suara bariton dari arah belakangnya membuat ia menolehkan kepala. Cakra melihat sang papa kini menghampiri ke arahnya.
"Ada apa, Pa?"
"Gimana tangan kamu? Udah baikkan?" tanya papanya.
Cakra tersenyum tipis, ia menatap tangan kanannya yang diperban. "Dari tadi juga udah baikkan," katanya.
"Papa masih bertanya-tanya apa yang terjadi. Kamu yang mukul kaca itu, kan? Kenapa?"
Helaan napas pelan keluar dari mulut Cakra. "Nggak papa kok," katanya.
"Kamu mengingatkan papa sama mama kamu. Kalau ada sesuatu, papa tanya kenapa, dia jawabnya nggak papa," kata Asgar.
Cakra tak menanggapi, ia ingin sendiri dulu dan menghirup udara segar.
"Ada yang pengen ketemu kamu," ucap sang papa.
Kening Cakra mengernyit. Ia yang semula menatap ke depan, jadi menatap papanya.
"Siapa?"
Asgar tersenyum.
"Ayo masuk!" ucapnya sambil berbalik dan menatap ke arah pintu balkon.
Membuat Cakra juga melakukan hal yang sama. Dan ketika ia melihat seseorang yang muncul di balik pintu, kedua matanya membulat sempurna.
"Seharusnya ada yang kalian bicarakan sekaligus selesaikan, bukannya begitu?" ucap papanya.
"Iya Cak, kita harus bicara. Gue mohon kali ini jangan menghindar," kata lelaki yang sedari tadi berada di balik pintu itu---Senopati.
Cakra mengepalkan kedua tangannya erat. Ia menghela napas kasar sambil memalingkan pandangan.
"Kalian sudah sama-sama dewasa. Papa percaya kalian berdua bisa menyelesaikan ini," kata Asgar sambil mengusap pundak kepala Cakra.
Asgar menatap Senopati sambil tersenyum, berjalan ke arah lelaki itu. Lalu menepuk pundak Senopati dua kali ketika melewatinya.
Kemudian setelah papanya pergi, Senopati menatap Cakra. Ia melangkah ke arah adiknya itu.
"Gimana kabar lo?" tanya Senopati.
"Lo mungkin udah tahu dari papa. Lo mau ngomong apa? Langsung aja nggak usah basa-basi," kata Cakra cuek.
"Sebenci itu ya lo sama gue?" kata Senopati sambil tersenyum miris.
"Gue bilang kan nggak usah basa-basi," ucap Cakra.
"Oke. Gue mau minta maaf atas apa pun yang membuat lo benci sama gue, dan lo pasti nggak bisa lupain waktu gue bilang suka sama Binar. Tapi, ada yang harus lo dengar setelah itu."
Cakra hanya diam mendengarkan.
Flashback on
Binar yang masih menduduki SMP harus menunggu Senopati yang sudah SMA. Lelaki itu berkata ingin menjemputnya ke sini.
"Binar!"
Gadis itu mendengar seruan Senopati bertepatan dengan sebuah motor yang mendekat ke arahnya. Senyum Binar merekah seketika. Kini, Senopati menghentikan motor di dekatnya.
"Lama ya? Maaf. Ayo pakai helm dulu," kata lelaki itu sambil mengulurkan sebuah helm pada Binar.
"Lumayan sih, tapi nggak papa kok," kata Binar sembari menerima helm dari Senopati.
Binar memakai helmnya, lalu menaiki motor lelaki itu.
"Udah?"
"Iya."
Senopati mulai melajukan motor. Angin yang berembus menerpa keduanya, menerbangkan rambut Binar yang terurai.
"Kak Seno!" panggil Binar.
Lelaki itu menoleh pada kaca spion kiri sesaat, karena di sana ia bisa melihat pantulan wajah Binar.
"Apa?"
"Aku mau tanya. Kenapa kak Cakra jarang ikut main sama kita? Dia kayak ... ngejauh gitu," ucap Binar.
Senopati diam beberapa saat. "Dia lebih suka sendiri. Di rumah juga gitu kok," katanya.
"Oh, gitu ya."
"Kenapa emang?"
"Umh ... tapi Kak Seno jangan kasih tahu kak Cakra, ya?"
Kening Senopati mengernyit. "O... ke. Ada apa?"
"Sebenarnya ... aku suka sama kak Cakra. Aku senang banget waktu dekat dia, tapi akhir-akhir ini dia kaya ngejaga jarak gitu. Dan aku sedih, bertanya-tanya apa aku ngelakuin kesalahan ...."
Senopati diam, ia sudah tak mendengar lagi apa yang diucapkan Binar selanjutnya. Ada retakan tak terdengar dari hatinya. Padahal hari ini, ia berniat menembak Binar.
Flashback off
"Lucu nggak sih? Gue suka Binar, tapi Binarnya suka lo. Gue seharusnya bisa bersikap dewasa dan menerima hal itu. Tapi dulu, gue marah dan nggak terima. Akhirnya, gue nggak ngungkapin perasaan gue karena tahu mungkin Binar bakal nolak. Dia udah ngasih tahu gue, siapa cowok yang dia suka. Karena itu, gue buat dia selalu berada di dekat gue. Menjaga dia agar nggak dekat sama lo. Apalagi sebelumnya gue pernah bilang suka juga sama dia kan? Sebelumnya gue bilang ke lo, gue bakal nembak dia dan lo marah."
Senopati menatap nanar. "Mungkin setelah itu lo nyangka gue sama dia benar-benar punya hubungan spesial. Karena kami dekat, dan lo tambah menjauh."
Cakra menatap Senopati dengan ekspresi sulit diartikan.
"Lo berhak marah dan menganggap gue ambil apa yang mungkin seharusnya bisa jadi milik lo. Karena sekeras apa pun gue berusaha, Binar nggak pernah lihat gue. Yang dia lihat cuma lo, gue cuma dianggap kakaknya? Miris nggak?" lelaki itu tersenyum getir.
"Setelah gue sama lo nggak satu rumah lagi. Gue sadar apa yang gue lakuin itu salah. Gue seharusnya bisa mendekatkan kalian yang sama-sama suka. Sebagai kakak, mungkin seharusnya gue mengalah. Terserah lo mau memaafkan gue atau nggak, gue cuma pengen bilang ... kalau gue menyesal. Tapi gue berharap kita bisa dekat lagi seperti halnya saudara. Dan sekarang, kalian pacaran. Itu membuktikan bahwa kalian emang harusnya sama-sama."
Senopati menatap Cakra yang terdiam di tempat.
"Jaga Binar baik-baik ya. Sialan banget tuh anak. Padahal apa sih lebihnya dia? Bawel doang sama kekanakan gitu. Tapi ... dia emang cakep sama imut, perhatian juga. Gimana bisa kita suka satu cewek yang sama?"
Senopati tertawa hambar selama beberapa saat. Lalu, ia berhenti dan menelan salivanya susah payah. "Lo ... beruntung punya dia, Cak. Gue iri."
Lidah Cakra seakan kelu. Ia diam dan tertegun cukup lama sebelum akhirnya berucap, "Gu-gue udah ngelakuin--kesalahan," ucap Cakra terbata.
"Hah?"