Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semar
Dihyan menyebrangi pekarangan belakang rumah itu dengan setengah berlari. Perasaan, tadi malam tidak semenakutkan ini. Namun, dini hari seperti ini, gelap serasa memeluk alam, menghisapnya ke dalam ketiadaan.
Jarak dari pintu belakang dengan lampu bohlam kuningnya ke kamar mandi – sekaligus toilet – kayu juga dengan lampu bohlam kuningya itu, terasa begitu jauh. Setiap kaki Dihyan melangkah, semakin jauh pula jaraknya.
Dihyan tak berani melihat ke kiri dan ke kanan. Alexander sudah cukup menakutkan baginya, apalagi kalau sampai amit-amit ia diperlihatkan hantu dan mahluk-mahluk gaib lainnya. Bukan tanpa alasan. Sekarang ia sedang berada di Kalimantan, tepatnya malah berada di sebuah wilayah perbukitan yang masih dipenuhi dengan lebatnya pepohonan. Entah apa yang ada di balik sana, termasuk di tempat ini. Mungkin mahluk-mahluk gaib purba setua hutan bersemanyam di hutan itu sendiri.
Kalau tidak karena celananya basah oleh cairan kelelakiannya itu, berani sumpah ia tidak akan berlari-lari seperti seorang pengecut – dan pecundang – ke bangunan kayu di ujung pekarangan belakang tersebut.
Kepada Alexander, Dihyan beralasan dengan mengatakan bahwa ia sedang mules berat, sehingga ia terbangun di dini hari, jam 3, untuk dengan tergesa-gesa pergi ke toilet.
“Lah, dia yang seperti mempertanyakan betapa anehnya aku ke WC jam 3 subuh, sedangkan dia sendiri, ngapain coba jam segini berdiri di dapur?”
Bulu kuduk Dihyan mendadak merinding separah-parahnya menyadari kenyataan itu tadi. “Apa yang dilakukan orang itu?” gumamnya lagi.
Dihyan hampir terpeleset di depan WC. Untung ia langsung berpegangan pada pintu kayu.
Itu akibatnya karena tidak fokus dan terlalu berpikir berlebihan mengenai misteri si Alexander.
Setelah berhasil masuk ke dalam kamar mandi sekaligus toilet tersebut, Dihyan langsung membuka celananya yang basah. Ia tidak mau ketahuan oleh siapapun bahwa celananya basah oleh cairan kejantanannya. Maka, ia langsung saja membasahi celana dan cawatnya tersebut, menguceknya secepat mungkin untuk menghilangkan ‘bukti’.
Bunyi denting terdengar.
Dihyan melirik ke kiri dan ke kanan. Kemudian mendongak ke atas. Tidak ada apa-apa yang bisa dijadikan rujukan bunyi berdenting itu.
Baru lah setelah ia kembali mengucek celana dan cawatnya, Dihyan menemukan sumbernya. Sebuah kantung bungkusan kecil berwarna merah Lou dengan tali pengikat kuning keemasan, dalam keadaan basah tergeletak di lantai WC yang terbuat dari semen, berbeda dengan bagian rumah yang lain. Benda itu pasti lah jatuh dari saku celananya.
Dihyan mengambil benda itu, merasakan isinya, kemudian membuka bungkusannya.
Sepasang mata Dihyan menyipit, memperhatikan keris Semar tersebut. Apa mungkin ada perubahan yang terjadi, atau karena kurangnya cahaya dan faktor-faktor lain yang membuat perbedaan tersebut. Seingatnya, aksara China yang tertoreh di keris tersebut tidak semenyala dan bersinar seperti ini. Sekarang, walau aksara tersebut kecil dan ia pun tak memiliki kemampuan membacanya, ia dapat melihat dengan jelas bentuknya. Sebelumnya terlihat kusam, tetapi sekarang aksara tersebut seperti baru saja ditulis.
Dihyan hampir saja berpikir untuk meminta bantuan Centhini untuk membaca aksara tersebut karena Centhini mahir berbahasa Mandarin. Namun, tentu saja itu adalah sebuah pertimbangan yang bodoh.
Dihyan meraba permukaan keris mini itu. Terasa seperti logam pada umumnya. Tidak ada yang istimewa atau kesan tertentu yang muncul. Bahkan benda itu sendiri sekarang sudah tidak lagi aneh atau unik di hadapan Dihyan, meskipun ia sedikit penasaran bahwa keris itu harusnya tidak berbentuk seperti ini.
Dihyan mendadak lupa bahwa ia sedang tidak bercelana. Kelelakiannya menggantung menjadi dingin, anyep.
“Sialan!” rutuknya.
Dihyan kembali mengucek celananya cepat-cepat, kemudian membasuh bagian bawah tubuhnya.
Ia memeras celananya dan memasukkan ke kantung plastik yang juga ia bawa. Sedangkan kantung kecil merah Lou yang basah, ia peras kuat-kuat sampai benar-benar menyisakan sedikit saja kelembaban. Untungnya kain itu seiprit saja, jadi tidak sudah untuk disembunyikan. Jelas ia akan memisahkan kantung bungkus keris itu dari celana basahnya.
Setelah selesai, Dihyan membuka pintu toilet. Kegelapan kembali menyergapnya.
Seperti orang sinting, Dihyan berlari ke arah rumah secepat mungkin.
Darahnya berdesir cepat ketika ia akhirnya sampai di pintu dapur.
Paling tidak sudah 10 atau 15 menit ia habiskan waktu di toilet. Kalau Alexander masih berada di dapur, ia pastikan orang itu pasti bermasalah.
Dihyan membuka pintu dapur perlahan, melongok ke dalamnya. Tidak ada Alexander, tidak ada Steven, tidak ada siapapun. Hanya nafasnya saja yang terdengar.
Dihyan masuk ke dalam, menutup pintu dan menguncinya. Ia berjalan normal, tidak terlalu cepat dan lambat. Melewati ruangan tengah dan setengah mati coba tidak mengindahkan meja abu yang bersinar merah.
Dihyan masuk ke kamar (ia tidak ingat kapan ia masuk ke dalam kamar itu hari ini dan tidur. Ia bahkan tidak ingat perna melihat isinya. Tahu-tahu, ia sudah terbangun di atas tempat tidur asing dengan celananya yang basah di bagian tengah).
Dihyan mengunci pintu kamar dan berbalik.
Jantungnya kembali dipacu. Nyawanya seperti tersedot keluar ketika melihat satu sosok duduk di atas tempat tidur memperhatikannya. Rambut panjang dan lurusnya jatuh tergerai dan sebagian menutupi wajahnya.
“Kowe dari mana to, Yan?”
“Astaga! Iso mati aku kalau kagetan terus kayak gini, Mbak.”
Centhini berdiri. “Lebay kowe. Ngapain subuh-subuh gini keluar?”
Dihyan menata nafasnya. “Aku ke WC. Mules. Celanaku basah gara-gara jatuh. Aku kurang hati-hati pas nyantelin celana.”
Centhini terkekeh. “Kayak anak kecil. ceroboh,” gumamnya. “Udah, ayo temeni aku ke WC.”
“Ah, Mbak. Aku abis dari sana.”
“Kenapa? Takut? Lah, kamu yang laki-laki, kok. Lagian kamu udah dua kali ke WC kan?”
“Cuma sekali, Mbak.”
“Gimana ceritanya kok sekali. Kamu bilang sendiri celanamu basah gitu. Berarti kan balik lagi ke kamar buat ambil ganti, tho? Apa iya buang air besar aja sampai bawa ganti?”
Dihyan tak bisa menghindar. Ia sudah membuat alasan. Terpaksa ia harus terus bermain dengan alasannya itu.
Centhini berdiri. Saat itu ia mengenakan celana pendek dan baju kaus yang oversized. Tak sengaja Dihyan sadar bahwa Centhini tidak mengenakan pelindung dadanya.
Dihyan langusung menunduk. “Mbak, pake baju yang bener ah.”
Centhini melihat ke arah dadanya. “Nggak ada orang juga. Cepetan, udah kebelet pipis ini.”
“Aku ini laki-laki, lho, Mbak. Nggak sopan amat kamu, Mbak. Itu di luar tadi aku juga sempat ketemu sama Koko Alex. Selain aku, Bapak, Ibu, ingat ada Koko Alex sama anaknya, Steven, di rumah ini.”
Centhini menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Wajahnya terlihat masih mengantuk. “Yowis, muter sana, ngadep tembok. Aku mau pakai bra dulu.”
Dihyan menggeleng tidak percaya dengan perilaku kakak perempuannya itu. Centhini terlalu lugas dan terbuka kepada dirinya. Ia tahu dan sadar bahwa hubungannya dengan Centhini sedekat itu, tapi kadang-kadang Cethini terlalu berlebihan karena menganggapnya seperti anak kecil saja dan seakan mereka masih sama-sama balita.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh