Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 27
Candra memandang ombak yang menggulung lembut ke pantai, senyuman lepas di wajahnya.
“Rizal, hari ini menyenangkan sekali!” ucapnya, melihat ke arah Rizal yang tertawa.
Dia mengangguk. “Seharusnya kita lebih sering melakukan ini. Sangat segar.”
Mereka beranjak dan berjalan menuju restoran terdekat. Aroma makanan laut tercium begitu menggoda.
“Bagaimana kalau kita coba seafood platter?” Candra menyarankan.
“Setuju!” Rizal balas semangat.
Saat memasuki restoran, pandangan Candra tiba-tiba membeku. Di sudut, dia melihat Arman duduk bersama seorang wanita, Lia. Candra menahan napas, berusaha tidak memberi reaksi.
“Candra? Ada apa?” Rizal menyadari tanda ketegangan di wajahnya.
“Tidak... aku hanya... aku rasa aku lihat seseorang,” jawabnya pelan, masih terfokus pada pasangan itu.
Rizal mengikuti pandangnya. “Mantan suamimu?”
Candra mengangguk, suaranya tercekat. “Ya,”
“Hah! Yang tidak pernah menghargaimu itu?” Rizal nyaring, suara campur aduk antara wanti-wanti dan kemarahan.
“Biarkan saja,” Candra menjawab, meski hatinya mencelos. “Aku sudah move on.”
“Dia tidak layak mendapatkan perhatianmu,” Rizal menekankan, pandangannya tajam menembus kerumunan.
Candra merapatkan bibirnya, berusaha mempertahankan tenang, tetapi bayangan Arman dengan Lia terus menghantui langkahnya. Tapi itu sudah tak menjadi masalah karna dia saat ini sedang berusaha membuka hatinya untuk Rizal.
“Candra, kita tidak perlu menghiraukan mereka,” Rizal berkata, menggenggam tangan Candra dengan lembut. “Hari ini adalah tentang kita.”
Candra tersenyum kecildan merasakan kehangatan di genggaman tangannya. “Kau benar,” kata Candra, berusaha mengalihkan fokus.
Rizal mengerling ke arah meja di sudut restoran. “Satu kunjungan sangat tidak berharga jika itu hanya membuatmu terluka.”
Candra menarik napas dalam-dalam dan mencoba tersenyum. “Mari kita pesan makanan.”
Ketika mereka duduk, Rizal memesan dengan percaya diri. “Dua seafood platter dan satu botol air mineral, tolong.”
Candra masih merasa gelisah. “Rizal, terima kasih sudah bikin suasana jadi lebih baik. Tapi... tentang dia...” suaranya bergetar.
Rizal meredam kata-katanya, lalu menatap Candra intens. “Satu-satunya alasan untuk memikirkan Arman adalah pelajaran. Kau kuat, dia tidak berhak mengingatmu, Candra.”
Candra terdiam, terhanyut dalam suara dan tatapan Rizal. “Iya, aku hanya sedikit terkejut melihatnya,” ucapnya akhirnya. Tonya tegas. “Selama ini, aku berusaha mengabaikannya.”
Hampir tak ada yang tersisa dari ketegangan sebelum Candra menengok kembali ke sudut restoran. Arman tertawa, Lia mengusap lengan Arman. Seberkas kepedihan melintas di dalam hati Candra. Kenangan-kenangan indah muncul satu per satu—senyuman, tawa, semua saat yang pernah mereka bagi. “Apakah itu namanya kebahagiaan sejati?” batinnya.
Rizal melihat ke arah yang sama, gelombang kebencian melintas di wajahnya. “Dia tampak bahagia, ya?” suara Rizal dipenuhi nada sinis.
Candra membalas tatapan Rizal dengan keraguan. “Mungkin,” jawabnya pelan. “Tapi aku tidak ingin terjebak dalam perasaan itu lagi. Aku sudah pergi dari masa lalu itu.”
“Dia tidak pantas mendapatkan perhatianmu,” Rizal menekankan, napasnya tersengal, seolah mencoba meredam amarah. “Kau lebih berhak atas kebahagiaan, Candra.”
Candra mengerutkan dahi, merasakan ketegangan. “Kau tahu, ini bukan tentang dia. Aku sudah mengikhlaskan semuanya,” ujarnya, namun nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan.
“Sekarang kau ada di sini bersamaku,” Rizal melanjutkan dengan penuh keyakinan. “Itu yang penting.”
Candra mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebuah piring seafood platter dihidangkan di meja. Aroma harum menyegarkan, tetapi masih ada rasa pahit yang mengganjal.
“Cobalah,” Rizal berkata, memotong udang dengan garpu dan mengajukannya ke depan Candra. “Ini enak.”
Candra tersenyum dan mengambil udang itu, ternyata tanpa Candra sadari Arman pun menyadari kehadiran Candra di restoran tersebut.
"Siapa lelaki yang bersama dengan Candra" batin Arman. Sambil berbincang, Arman tak kuasa menolak rasa ingin tahunya. Ia mencuri pandang beberapa kali ke arah Candra dan Rizal yang tertawa lepas.
Lia, yang duduk berhadapan dengan Arman, menoleh ke arah tempat Candra. “Kau menatap mereka,” ujarnya, memadukan mata yang tegas dan penasaran. “ Arman menggeleng cepat, tetapi tidak bisa mengalihkan pandangannya. “Aku hanya berpikir... itu Candra,” hening sejenak, “Kau masih ingat dia" Lia menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu.
“Tentu, siapa yang bisa lupa? Dia bekas istrimku.” Arman mengangguk, suaranya mereda, namun masih ada nada sarkastis di dalamnya. “Hanya di ingatan saja.”
Lia mengerutkan kening, menatap Arman dengan kesal karna masih mengingat mantan istrinya itu. “Kau tidak seharusnya merasa terbebani oleh masa lalumu,” Lia memberi semangat, menggelengkan kepalanya. “Sepertinya kau masih terikat dengan kenangan masa lalu" Arman meringis, berusaha menahan emosi di balik senyumnya. “Aku tidak terikat. Itu hanya nostalgia.”
Lia menyandarkan siku di meja, menempelkan wajahnya dengan telapak tangan. “Nostalgia? Hmm, sepertinya itu lebih dari itu. Kau masih melihatnya, kan?”
Arman berusaha menjaga ekspresi netral. “Kami sudah bercerai. Itu masa lalu,” jawabnya sambil menatap makanan dengan segenap perhatian, seolah-olah menghindari pertanyaan Lia.
Sedag di meja Candra dan Rizal "Rizal,” panggilnya, suaranya bergetar. “Apa kau tidak merasakan... ketidaknyamanan ini?”
Rizal mengerutkan kening, tetapi tidak beranjak dari niatnya. “Fokuslah kepada kita. Kita harus menikmatinya.” Dia menyodorkan udang lagi, kali ini dengan lebih tegas.
Candra menggigit udang itu, tapi rasanya hambar. Dia kembali menatap Arman yang tampak ceria, seolah tidak ada yang terjadi antara mereka.
“Dia tidak berhak bahagia. Apakah kau melihat cara dia memandang Lia?” Rizal membisikkan, kemarahan terbersit di wajahnya.
Candra menggelengkan kepala. “Aku tahu. Dia tidak pernah menghargai aku. Tapi...”
“Tidak ada tetapi. Kau berhak atas lebih. Aku ingin membuatmu bahagia,” Rizal bersikeras, mendekatkan wajahnya pada Candra, berusaha mengalihkan perhatian.
“Rizal, aku menghargainya” Candra menghela napas.
Rizal merenungkan ungkapan itu, kemudian menarik napas. “Lihatlah, kita bisa menjadi sesuatu yang lebih baik. Aku tidak ingin berada di bayangan mantan suamimu.”
Candra menangkap ketulusan di mata Rizal. Hatinya bergetar. “Aku ingin berusaha untuk kita,” ucapnya, suara hampir berbisik.
Rizal meraih tangannya. “Itu yang ingin kudengar. Kita berada pada jalur yang benar, Candra.”
Keduanya terbuai dalam momen itu sampai suara tawa Arman kembali memecah perhatian mereka. Lia tampak menyentuh lengan Arman, dan Candra merasakan nyeri di dadanya.
“Lihat saja mereka,” Risal berkata dengan nada jengkel, menggerakkan gelas airnya. “Kau tidak butuh itu.”
Candra menatap Rizal. “Mungkin... mungkin mereka memang berhak bahagia,” ungkapnya lambat, berusaha menenangkan keraguan yang terus menghantu.
“Mereka? Tidak penting. Yang penting adalah bagaimana kau menyayangimu sendiri,” Rizal menjawab, menekankan dengan tatapan lembut.
Mereka menyantap makanan, sesekali tersenyum, tetapi udara di meja terasa sedikit tegang. Sesaat kemudian, Candra secara refleks menoleh lagi ke arah Arman.
Arman kini berdiri, menuntun Lia keluar dari restoran. Ketika Lia tertawa, Arman melirik sekilas ke meja Candra. Candra merasakan denyut jantungnya melambat, semacam getaran antara nostalgia dan kebencian.
Rizal tampak paham, lantas menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat dengan Candra, menciptakan batas yang jelas antara mereka dan mantan pasangan itu.
“Lihatlah komposisi kebanggaan mereka,” Rizal melanjutkan, suaranya dingin, seolah mengingatkan Candra akan rasa sakit yang pernah dia alami.
Candra menunduk, mengambil napas dalam-dalam. “Kau benar-benar percaya bahwa kita bisa lebih baik?” tanyanya, suara bergetar meski mencoba menunjukkan keyakinan.
“Tak ada yang lebih baik dari kesadaran diri,” Rizal menjawab, jelas tidak ingin meremehkan perasaannya. “Kita hanya perlu menahan imaji dari masa lalu.”
Candra menatap mati ke piring seafoodnya. “Arman bukanlah bayangan yang mudah dihapuskan. Dia seperti bayangan yang terus mengikutiku.”
Rizal merangkul bahunya. “Tapi kita bisa memilih untuk tidak melihatnya. Dia sudah pergi dari hidupmu. Ingat?”
Suasana di antara mereka kembali mereda. Candra tersenyum kecil, merasakan kehangatan yang menenangkan. “Mungkin aku harus lebih memilih apa yang terlihat di depan daripada yang ada di belakang.”
“Masa lalu kita bukan penentu masa depan,” ucap Rizal, memandang Candra seolah dia adalah satu-satunya yang ada di sekitarnya.
Ketika Candra kembali menengok, Arman dan Lia sudah tidak terlihat lagi. Namun, keping-keping rasa sakit masih berpendar, menuntut perhatian. Dia mengalihkan fokus pada Rizal. “Sampaikan pada aku jika bisa menghapus kenangan menyakitkan itu dengan mudah. Kadang, rasa sakit datang tanpa diundang.”
Rizal mengangguk, menatap Candra dengan serius. “Kita tidak bisa menghapusnya, tapi kita bisa mengalihkan perhatian kita. Fokus pada apa yang ada saat ini. Aku di sini, bersamamu.”
Candra merasakan kehangatan dalam setiap kata Rizal. Dia berusaha melepas ingatan-putusan yang sering datang tapi tak kuasa untuk sepenuhnya melupakan Arman. “Kau benar. Sebagian dari diriku ingin melupakan, namun bagian lain masih terjebak dalam kenangan itu.”
“Biarkan bagian itu berlalu,” Rizal menyarankan, menjaga nada suaranya tetap lembut. “Kau berhak untuk bahagia. Dan aku ingin bersamamu dalam setiap langkah.”
Candra menghisap napas, merasakan kenyamanan yang sempat hilang. Suasana di restoran terasa semakin akrab saat mereka berbagi cerita. “Setiap kali aku melihat mereka bersama… bayangkan kenangan yang dia ambil dariku. Dulu, dia adalah segalanya buatku.”
Kepala Rizal menyentuh meja, sambil memperhatikan Candra dengan sepenuh hati. “Tapi itu masa lalu, Candra. Di hadapan kita ada peluang, cerita yang bisa kita tulis bersama. Tanpa Arman.”
...****************...