Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Setelah kedua orang tuanya pulang, Sabda menyuruh art mengantar Nuri ke kamar tamu. Nuri yang memang sangat lelah, segera merebahkan badan diatas ranjang. Tapi meskipun lelah, matanya susah sekali terpejam, ngantuk seolah olah enggan menyapanya.
Nuri menatap langit langit kamar. Kasur yang dia tiduri memanglah empuk, tapi hal itu tak lekas membuatnya merasa nyaman. Dia merasa asing disini.
Andai saja dia tak bodoh dan tak terlena dengan kata kata cinta Dennis, nasibnya tak akan seperti ini. Tak akan terdampar dirumah disini dan menjadi istri kedua. Tak hanya sampai disana, dia harus cuti kuliah sementara waktu sampai melahirkan. Keluarga Dennis melarangnya kuliah agar tak ada yang tahu tentang aib pria yang sudah berada dialam lain itu.
"Aku sudah maafin kamu Den. Semoga kamu tenang dialam sana." Nuri menyeka air matanya. Kembali teringat pertemuan terakhir mereka yang jauh dari kata manis itu. Dia tak bisa menyalahkan Dennis seratus persen atas kehamilannya, karena disini, dia juga salah.
.
.
Brak brak brak
"Buka pintunya."
Gedoran dipintu dan teriakan dari luar membangunkan Nuri dari tidurnya. Selamam dia memang tak bisa tidur, baru hampir subuh matanya mulai merasakan kantuk. Dan sekarang, tidur yang baru beberapa jam itu harus terusik karena gedoran pintu.
"Nuri, buka pintunya."
Brak brak brak
Nuri yang baru membuka mata melihat kearah jam dinding yang ada dikamar. Matanya membeliak lebar saat menyadari sekarang sudah jam 8 lebih. Gegas dia bangkit dari atas ranjang lalu membuka pintu.
Byurr
Nuri kaget saat tiba tiba wajahnya diguyur air satu gayung. Hidung dan matanya seketika terasa sakit karena kemasukan air. Sambil mengatur nafas, dia menyeka wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Heh, kamu pikir kamu siapa bisa enak enakan tidur sampai siang." Bentak Yulia, ibu Sabda sambil mendorong kepala Nuri menggunakan telunjuknya. "Ingat, status kamu sebagai istri Sabda hanyalah status diatas kertas. Karena sampai kapanpun, kamu bukanlah menantuku. Aku tak sudi punya menantu sepertimu."
Nuri tak menjawab karena dia sadar posisinya. Disini, dirumah ini, dia memanglah bukan istri ataupun menantu, hanya wanita luar yang akan berada disini hingga 9 bulan kedepan.
"Kalian kemasi barang barangnya." Titah Yulia pada kedua art yang berdiri disampingnya.
Nuri kaget saat dua art langsung nyelonong masuk kekamarnya dan membuka almari.
"Apa apaan ini?" Seru Nuri sambil menghampiri art yang mengeluarkan baju bajunya dari almari yang semalam baru dia susun. Dia berusaha merebut pakaian yang mereka masukkan paksa kedalam tas.
"Kamu pindah ke kamar pembantu," bentak Yulia sambil menarik bahu Nuri agar menghadap kearahnya.
"Tapi Kak Sabda menyuruhku tidur disini," protes Nuri. Dia masih ingat perkataan Sabda semalam, kalau selama tinggal disini, dia akan tidur dikamar tamu.
"Hanya untuk semalam saja. Karena mulai nanti malam, kamu tidur dikamar pembantu."
"Tapi."
"Tidak ada tapi tapian. Ayo, pindahkan barangnya ke kamar pembantu."
Nuri yang melihat art memasukkan barang barangnya secara kasar dan sembarangan, langsung menghentikannya.
"Biar saya lakukan sendiri." Ujar Nuri sambil menarik bajunya dari tangan salah seorang art. Art tersebut tak berani menjawab, dia hanya diam sambil menatap Yulia.
"Bagus kalau kamu paham. Biarkan saja dia mengemasi pakaiannya sendiri. Kalian tunjukkan saja dimana kamarnya." Mendapatkan perintah dari Yulia, kedua art tersebut lalu menjauh dari almari, membiarkan Nuri mengemasi barangnya sendiri.
Selesai memasukkan pakaian dan barang pribadi miliknya, Nuri diantar ke kamar pembantu.
"Mulai sekarang, ini kamar kamu." Ujar Yulia yang berdiri diambang pintu. "Dan satu lagi. Tidak akan ada pelayan yang melayanimu karena kamu bukan nyonya ataupun menantu."
Nuri mengangguk paham. Dia sudah terbiasa hidup serba pas pasan. Melakukan apapun sendiri, jelas bukan hal yang sulit. Dan kamar ini, tidaklah buruk. Kurang lebih sama dengan kamar kosnya.
Ini bukan sesuatu yang sulit Nuri. Kamu pasti bisa menjalani 9 bulan ini dengan mudah. Kamu sudah terbiasa hidup susah dari kecil, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semangat Nuri, hanya 9 bulan, kamu pasti bisa.
Nuri mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Setelah menyusun pakaian dan barang barang lain kedalam almari, Nuri yang merasa lapar pergi kedapur. Disana, dia melihat 2 orang art sedang sarapan. Salah satunya yang tadi mengacak acak almarinya. Keduanya langsung menatap iba kearah Nuri.
"Kamu mau sarapan?" tanya Bik Diah, art paling senior disana. Melihat Nuri mengangguk, dia langsung menarik Nuri ke meja dimana dia dan temannya yang bernama Tutik sedang makan. "Ikutlah makan bersama kami."
Nuri langsung menggeleng. "Saya bisa masak sendiri. Saya tidak mau kalian kena marah karena saya."
Bik Diah dan Tutik saling menatap. Terlihat sekali jika mereka kasihan pada Nuri. Tapi yang dikatakan Nuri benar, mereka bisa kena masalah karena itu. Yulia melarang art untuk melayani Nuri.
"Saya sudah biasa masak sendiri dan juga melakukan pekerjaan rumah tangga, jadi tak ada masalah. Kalian tak perlu kasihan pada saya."
Mata Bi Diah memanas melihat ketegaran Nuri. Dia jadi teringat putrinya yang seumuran Nuri. "Yang sabar ya, Neng." Ujarnya sambil mengusap lengan Nuri. Air matanya meleleh tanpa bisa dia cegah.
Nuri tersenyum sambil menyeka air mata Bi Diah.
"Terimakasih karena sudah peduli dengan saya. Tapi saya baik baik saja. Jangankan hanya memasak, mencuci baju dan mengepel, mengganti galon, mencari rumput untuk makan ternak dan mencangkul saja, saya bisa."
Bi Diah dan Tutik seketika tertawa mendengar celoteh Nuri.
"Bi Diah, sepertinya kita terlalu khawatir dengannya. Dia tak selemah yang kita kira," Tutik ikut bicara.
"Kau benar sekali," sahut Nuri. "Apa perlu kita buktikan dengan adu panco, agar kalian percaya jika aku adalah wanita yang kuat?" tantang Nuri.
"Hahaha.." Ketiganya lalu tertawa bersama.
"Nuri, maafin aku tadi ya. Aku hanya mengikuti perintah nyonya," ucap Tutik dengan raut bersalah.
"Aku tahu." Sahut Nuri sambil tersenyum.