Lahir dalam keluarga yang miskin, Artian Morph harus menelan pahitnya hidup ketika orang tuanya meninggalkan dirinya sendiri.
Pada saat dia berpikir bahwa dirinya sangat bahagia karena pacarnya berada di sisinya, semuanya hancur setelah dia mengerahkan sisa tabungan yang orang tuanya tinggalkan untuknya.
Ketika kehidupannya terjerumus dalam neraka kesedihan, orang orang mulai mencemoohnya, diperlakukan dengan kasar tanpa ada satupun yang menolongnya.
"Ahaha, apakah kematian benar benar sangat merindukanku?"
Ketika dia menyerah pada hidupnya, berniat untuk melompat dan bunuh diri dari sebuah jembatan yang sepi.
Suara yang tak manusiawi layaknya suara dari kecerdasan buatan terdengar di udara yang kosong.
«Sistem Di Aktifkan»
Roda takdir kini kembali berputar, mereka yang diatas harus segera terjatuh dan yang dibawah akan mulai merangkak untuk mendapatkan posisi yang diatas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RyzzNovel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Hazel
Di dalam villa. Artian saat ini duduk di sebuah kursi, di depannya terdapat seorang anak yang tertidur, yah lebih tepatnya anak itu mungkin sedang pingsan.
Artian memandangi anak itu, dia memiliki rambut hitam legam yang cukup panjang dan tidak terawat. Di beberapa bagian tubuhnya, terlihat bekas luka cambukan yang begitu mengenaskan.
Artian terdiam merenung, apa yang telah dilalui anak ini untuk memperoleh seluruh luka luka itu?
Ada banyak pertanyaan dibenaknya yang ingin dia tanyakan, tapi untuk saat ini, Artian tidak bisa melakukan apapun untuk tetap diam karena anak itu sedang pingsan.
“Kalau begitu, haruskah aku melihat hadiah sistem kali ini?“
Artian tersenyum, seburuk apapun moodnya, jika itu berkaitan dengan hadiah sistem, moodnya akan langsung membaik seakan-akan memang tidak pernah menjadi begitu buruk.
Artian jujur saja sudah mendengar hadiah yang dia terima dari sistem, namun dia tidak terlalu memperhatikannya karena memikirkan beberapa hal tentang para keluarga elit.
Sekarang akhirnya Artian memiliki waktu yang cukup.
Hadiah yang dia terima pada saat itu adalah:
«Satu Unit Kapal Pesiar, Kekayaan Dilipatgandakan Sebanyak Tiga Kali Lipat, Dan Keterampilan Memasak»
Satu buah kapal pesiar, Artian tersenyum miring saat memikirkan hadiah yang dia terima. Dengan kapal itu, dia akan punya lebih banyak pilihan yang liburan. Apalagi kapal itu adalah miliknya secara pribadi.
Lalu kekayaan yang dilipatgandakan, hal ini tidak terlalu istimewa karena hanya tiga kali lipat, tapi mengingat kekayaan yang Artian miliki saat ini. Sedikit digandakan saja sudah akan menghasilkan jumlah yang terlalu banyak.
Lalu ada Keterampilan memasak, Artian tidak terlalu membutuhkannya, setidaknya untuk saat ini tidak.
“Kali ini juga sangat bagus,” Artian tersenyum puas.
Saat itu juga, anak yang sedang pingsan itu mulai menggeliat dengan kurang nyaman. Wajahnya berkerut dengan menyedihkan ketika tubuhnya gemetar.
“Berhenti… kumohon.. hentikan.. aku takut..“
Anak itu sedang berkeringat dingin dengan wajah yang ketakutan, bergumam atas trauma yang dia alami.
Wajah Artian secara reflek menjadi begitu gelap saat dia mendengar hal itu. Anak ini sudah pastinya sangat menderita.
Saat itu, mata anak itu terbuka dan memperlihatkan pupil mata biru tuanya yang begitu jernih. Matanya menatap ke sekitar dengan penuh tanda tanya, kemudian menatap ke arah Artian sebelum akhirnya dia kembali gemetar.
“Tempat… lainnya..?“
Anak itu gemetar dengan ketakutan saat dia memandangi ruangan itu, kemudian meratapi nasibnya seakan-akan dia telah dikirimkan ke neraka lainnya lagi.
Artian mengatupkan bibirnya, karena posisi anak itu yang diburu. Sudah pasti dia sangat sering berpindah tempat ke sana dan kesini lalu mendapatkan perlakuan yang buruk.
“Siapa namamu?“
Artian tidak mengerti dengan bagaimana cara memperlakukan seseorang atau menghibur mereka. Meski dia tahu jika itu berhubungan dengan seorang kekasih, tapi menghibur seorang anak yang telah mendapatkan trauma dalam di hidupnya, Artian tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan.
Anak itu sedikit tersentak, dia terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan bibirnya yang gemetar.
“…Hazel.“
Hazel, jadi itulah nama anak itu.
Artian kemudian menganggukkan kepalanya.
“Baiklah Hazel, sekarang, bisakah kamu menceritakan tentangmu?“
Saat Artian mengatakan itu, perut anak itu tiba tiba berbunyi dengan alarm kelaparan. Seketika juga anak itu, Hazel, tersentak dan langsung menundukkan kepalanya dengan wajah yang memelas.
“Maaf..! Maaf- Hazel tidak lapar, Hazel akan jadi anak yang baik, jadi jangan hukum Hazel.“
“…..“
'Persetan.'
Artian tidak dapat menahan amarahnya, meski dia selalu terlihat tidak peduli dengan apa yang terjadi pada sekitarnya. Di depannya saat ini adalah sesuatu yang benar benar telah membuatnya marah.
'Apa yang mereka sebenarnya telah lakukan? Sialan, para keparat sialan itu.'
Anak yang bahkan usianya kurang dari sepuluh tahun ini, apa yang mereka telah lakukan?
Melihat Hazel yang meringkuk ketakutan di atas kasur itu, Artian tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan.
Dia terdiam sejenak membuat Hazel semakin gugup, kemudian akhirnya berbicara:
“Hazel, berapa umurmu?“
Artian disaat yang sama mengeluarkan handphone nya, dia mengirim pesan kepada Iran untuk membawakan makanan apapun itu yang banyak untuk Hazel.
Saat itu juga Hazel menjawab.
“8..tahun mungkin.. maaf, aku tidak ingat.“
“…Begitu ya? Baiklah Hazel, apa orang orang selalu memukulmu?“
Hazel mengangguk dengan rasa takut yang dalam.
Artian menghela nafas panjang.
“Apa kamu percaya kalau aku aku tidak akan memukulmu?“
Ucapan itu terasa begitu canggung bagi Artian, dia benar benar buruk dalam menjaga seorang anak.
Saat itu anak itu menatapnya, dia terlihat ragu ragu dan waspada.
“Ya, aku percaya.“
Mata Artian menyipit.
“Bohong, aku tidak suka anak yang selalu berbohong loh.“
Anak itu segera menundukkan kepalanya sekali lagi dengan penuh rasa takut, hal itu membuat Artian semakin muak.
'Sialan, siapapun yang melakukan ini, suatu saat aku akan mencabik-cabik mereka.'
Berinteraksi dengan Hazel saat ini sangatlah sulit karena trauma yang anak itu alami. Artian memutuskan untuk menyerah untuk saat ini, lagipula dia masih memiliki waktu untuk keesokan harinya.
Sesuai dengan permintaan sistem untuk menjaga anak itu, Artian tidak punya pilihan lain selain menetap di kamar itu, dia hanya menatap Hazel yang terus meringkuk dengan ketidaknyamanan diwajahnya.
Saat itu juga suara ketukan terdengar dan akhirnya Artian bisa menghela nafas lega.
“Masuklah Iran.“
Pintu terbuka dan segera memperlihatkan Iran yang datang dengan sebuah meja dorong yang diisi dengan penuh makanan mewah.
Rata rata yang ada disana adalah daging ayam, bebek dan sapi, diikuti dengan berbagai macam minuman dan sayuran sebagai pelengkap.
Artian melirik Hazel. Anak itu terlihat begitu lapar saat dia meneteskan air liur menatap makanan itu. Namun, anak itu menyadari posisinya dan langsung mengalihkan pandangannya seakan-akan dia tahu bahwa sesuatu seperti itu tidak akan diberikan untuknya.
Sayangnya, Artian menyiapkan hal itu untuknya.
“Kamu bisa keluar,” ucap Artian kepada Iran.
Setelah akhirnya Iran pergi keluar, Artian kemudian memberikan satu piring dengan campuran seluruh makanan disana kepada Hazel.
“Makan ini, kamu lapar bukan?“
Anak itu tersentak dan menatap Artian dengan terkejut.
“Uh, ta-tapi..—”
“Makan saja, aku tidak suka mengucapkan hal yang sama untuk kedua kalinya.“
Suara Artian yang tajam membuat anak itu ketakutan dan segera menerima piring itu, memakan makanan itu dengan rakus.
Di ruang yang hening itu hanya menyisakan suara Hazel yang sedang makan. Setelah beberapa menit, makanan itu habis.
Artian mengambil piring itu kemudian bertanya.
“Masih mau lagi?“
Hazel terlihat ragu-ragu, bagaimana pun, anak itu masih tidak terbiasa dengan perlakuan itu. Namun, Hazel nampaknya mulai sedikit terbuka, dia memaksakan dirinya, kemudian berkata dengan penuh harap.
“Aku mau lagi,” ucapnya yang segera membuat Artian tersenyum karena puas dengan jawaban itu.
***