Sehari sebelum Dipta meninggal, ia meminta Liam untuk menikahi Vana, tunangannya.
Liam Mahendra adalah seorang dokter yang memutuskan hubungan bersama kekasih hampir empat tahun mengisi hatinya, ia memilih menepati janji yang ia buat di rumah sakit untuk menikahi Vana, calon istri sahabat baiknya Dipta.
Liam memang tak mencintai Vana, namun setelah menikah akankah bisa merubah perasaannya? Dan benarkah pilihan yang ia ambil memang ditentukan takdir?
Cinta, kecewa dan amarah mengisi penuh cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achakajayes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernyataan tak terduga
Liam bernafas lega setelah berhasil melakukan operasi bersama dua dokter lainnya. Meski berkeringat, ia tak masalah. Malahan gembira untuk segera menemui istrinya.
"Dokter Liam ini seperti sedang kasmaran, hahaha", saat mencuci tangan dokter Eko tampak mengajak berbincang Liam dengan bumbu gurauan.
Tapi sepertinya ucapan pria itu benar adanya, lantaran binar bahagia terpancar dari wajah tenang Liam.
" Semoga saja... "
Melepas pakaian dan jas kedokterannya, Liam bergegas mengambil ponsel dan barang miliknya di ruangan pribadi.
Begitu ponsel hidup kembali, ada banyak panggilan tak terjawab juga pesan yang terkirim satu jam lalu.
Panggilan tak terjawab (30×) Alex
Panggilan tak terjawab (3×) Wilona
Alex: Gua di taman rumah sakit, ada yang mau gua omongin.
Entah dapat dorongan darimana, Liam memutuskan pergi ke taman lebih dulu. Bagaimanapun masalah harus segera diselesaikan, jika tidak bisa menjadi pengganggu di masa depan nanti.
...----------------...
Vana senang mengetahui kesehatan papanya perlahan mulai stabil, pria itu tampak menikmati buah yang di suapkan anaknya itu.
"Papa enggak betah disini sayang... Pengen pulang", curhat Damar pada putrinya.
" Tapi papa belum sepenuhnya sembuh, harus sembuh total dulu. Pasti nanti dokter bolehin papa pulang", jawab Vana mencoba memberitahu.
Damar terkekeh akan ucapan Vana, baiklah dia akan sedikit bertahan meski harus menelan makanan hambar di rumah sakit. Sakit itu gak enak..
"Lalu bagaimana dengan hubungan kamu dan Liam? Hmm?", sebagai orang yang tahu kalau pernikahan Liam dan Vana adalah permintaan dari Dipta. Maka patut dipertanyakan bukan?
Terlebih... Damar masih mengingat jelas hari dimana Liam datang menemuinya untuk menjadi pengganti sahabatnya.
Saat itu...
Jam sembilan malam, tepat ketika Damar dan istrinya saling ber-argumen perihal berita kematian Dipta serta pembatalan acara pernikahan yang akan berlangsung.
"Pa... Kalau besok gak jadi, terus apa yang nanti temen-temen mama bilang? Papa juga gak malu apa? Undangan udah disebarin, gedung nya juga udah di sewa loh!", Nita cukup geram dengan situasi yang kini dihadapi mereka. Pelaku utama atas semua ini adalah Vana.
"Lalu kita harus apa lagi ma? Calon suami Vana meninggal dan enggak mungkin ada cara lain untuk dilakukan dalam situasi ini"
"Tapi pa—"
Tok! Tok! Tok!
Bunyi ketukan pintu dari luar ruangan kerja pribadi Darma terpaksa membuat perdebatan mereka berhenti.
Ceklek//...
"Pa.. Ma... Ada yang mau ketemu kalian", yah tentu saja Vana yang akan menjadi pengganggu, pikir Nita . Darma pun tahu kalau istrinya tak senang.
" Ayo ma!"
Begitu berada di ruang tamu, terdapat seorang pria tinggi dan sangat tampan tampak menarik perhatian mereka.
"Papa... Ini Kak Liam", ujar Vana memperkenalkan orang asing yang tampak sedikit tak familiar bagi Damar maupun Nita.
" Ah iya... Ada perlu apa?", Damar yang penuh tanda tanya langsung bertanya akan maksud kedatangan Liam.
Lantas Liam yang terlihat gugup sedikit melirik Vana, ia tersenyum seraya berucap.. "Saya ingin menikahi Vana besok"
Deg.
Lima kalimat yang mampu membuat Damar semakin kebingungan. Bagaimana putrinya bisa punya calon pengganti Dipta begitu pesat?
"Me-menikah anak saya?"
Satu anggukan mantap.
Damar pun berdehem, "ekhem... Boleh kita bicara berdua dulu?"
"Nita... Vana... Kalian bisa masuk dulu?"
. . .
Tersisalah dua pria beda umur di ruang tengah. Awalnya memang canggung sekali.
"Bisa kamu jelaskan maksud dan tujuan mu?"
Tanpa ragu Liam menceritakan segala hal yang ia lewati serta janjinya kepada Dipta persis seperti pesan almarhum sahabat baiknya itu. Memang sulit diterima jika alasannya begitu, tapi entah mengapa batin Damar mengatakan kalau Liam merupakan orang yang tepat menjadi suami Vana.
Dari sikap nya, aura yang menyejukkan dan jangan lupakan bagaimana baiknya dia mau menjadi suami seseorang meski tanpa cinta.
"Saya merasa kamu cocok dengan putri saya, tapi apa jaminannya kalau Vana akan bahagia?"
"Saya akan menghormati dia serta menyayangi nya selayaknya apa yang saya berikan pada mama saya"
...----------------...
Sekarang Damar yakin menantunya menepati janji, lihatlah aura kebahagiaan yang terpancar di wajah Vana.
Jangan lupakan kejadian pesta pernikahannya kala itu, bukan hanya Liam melainkan keluarganya begitu mencintai Vana melebihi Damar sendiri.
"Hubungan kami baik pa... Gak perlu ada yang papa khawatirkan", jawab Vana pada akhirnya. Papa puas mendengarnya nak..
"Apa kamu dan Liam sudah saling mencintai? Maaf kalau papa menyinggung kamu nak, tapi papa ingin tahu perkembangan hubungan kalian"
Vana menelan ludahnya, sekali lagi dia mengangguk.
"A-aku mulai mencintai mas Liam pa... Dan Mas Liam juga belajar untuk mencintai aku"
Tanpa sepengetahuan Vana, Liam yang ada di ambang pintu mendengarkan perkataan istrinya itu. Ada sesuatu yang mengisi hati dan pikirannya saat Vana mengatakan dia sudah jatuh cinta..
Tentu Damar melihat kehadiran sang menantu, ia memberi senyuman bahagia dan mendoakan keduanya kelak menjadi keluarga sempurna, juga diberkahi anak.
Mengapa sampai sekarang perasaan ku masih kalbu ke kamu Vana...
Apa aku harus lebih ekstra belajar mencintai kamu lebih dalam?
Bersambung.
