NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23:Arka atau Ryan?

"Jangan mancing-mancing emosi gue, Raya. Lo tahu kesabaran gue setipis apa. Jangan sampai gue lakuin hal yang gak pernah lo bayangkan sebelumnya," ucapnya tajam, penuh ancaman terselubung.

Raya terdiam, tubuhnya sedikit gemetar. Kata-kata Arka mengingatkannya pada kejadian di kamar Arka beberapa waktu lalu, saat pria itu menunjukkan betapa nekatnya dia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Dengan hati yang berat, Raya memilih diam. Tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan. Diam adalah satu-satunya cara untuk bertahan di tengah situasi yang penuh tekanan ini.

Ting... Tong...

...----------------...

Suara bel rumah yang tiba-tiba berbunyi memecah keheningan di antara Raya dan Arka. Suasana yang sebelumnya sudah terasa sangat tegang kini semakin berat. Raya, yang tadinya terdiam, langsung menoleh ke arah pintu, matanya yang awalnya kosong kini mulai terfokus pada suara yang semakin dekat. Perlahan, dia bangkit dari duduknya, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdegup lebih cepat. Arka masih diam di tempatnya, duduk dengan sikap santai yang berlawanan dengan aura dominan yang terasa menyelimutinya.

"Iyaa... siap..." Raya mengucapkan kata-kata itu dengan suara menggantung, terputus seketika saat pintu dibuka dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang tidak ingin dia temui. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin, dan tanpa senyum sedikit pun.

"Mama nyuruh saya buat jemput kamu, cepat siap-siap," ujar pria itu dengan nada datar, namun ada penekanan dalam setiap kata yang dia ucapkan.

"Kak... tapi aku sedang...." ucapannya terputus ketika suara Arka terdengar keras dari dalam rumah.

"Siapa, Ray?" Tanya Arka, suaranya penuh dengan ketidakpastian dan kekhawatiran.

"Minggir, saya mau masuk," ujar Ryan dengan suara tegas yang membuat Raya merasa tubuhnya sedikit terhuyung. Sorot mata tajamnya menembus tanpa ampun, langsung menuju ke dalam hati Raya. Seperti pisau yang menyentuh kulit tanpa darah yang membekas.

Raya mau tak mau harus membiarkan Ryan untuk masuk kerumahnya, bukan karena apa rumah itu di belikan oleh Liu jadi Ryan juga memiliki hak untuk keluar masuk ke dalam rumah itu walaupun rumah tersebut atas nama Raya.

"Masuklah," ujar Raya pelan, suaranya seperti terperangkap dalam tenggorokan. Dia tahu, tidak ada jalan mundur lagi. Ryan melangkah masuk dengan langkah sombongnya, seperti biasa. Ada aura kekuasaan yang terpancar dari cara dia berjalan penuh percaya diri, seolah dia selalu merasa memiliki segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Saat masuk ke ruang tamu, mata Ryan langsung tertuju pada Arka yang sedang duduk dengan santai di sofa, namun saat tatapan mereka bertemu, dan begitu juga dengan tatapan Arka yang langsung berubah tajam penuh kebencian. Keduanya saling menatap seperti dua pejuang yang sedang bersiap untuk saling menyerang.

"Ngapain Lo di sini?" ujar Arka dengan nada ketus, suaranya penuh dengan emosi, menunjukkan betapa kesalnya dia dengan kehadiran Ryan.

Ryan hanya terkekeh pelan, dan kemudian tertawa dengan nada arogan yang biasa.

"Hahahahaha... seharusnya saya yang tanya, untuk apa kamu ada di sini?" katanya sambil melirik Arka dengan pandangan meremehkan. Arka mendengus, tidak terima dengan nada merendahkan Ryan.

"Itu hak gue! Ini rumah cewek gue, jadi Lo nggak ada hak buat ikut campur urusan pribadi gue!" ujar Arka, kali ini dengan nada yang tak kalah sombong. Kata-katanya tajam, penuh penekanan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa dia merasa lebih berhak atas segala yang ada di rumah itu.

"Ini rumah saya, bocah! Dan yang kamu bilang cewek kamu itu adalah calon istri saya!" Ryan melangkah mendekat, suara bentakannya keras, seolah ingin menegaskan bahwa dialah yang berkuasa "Lebih baik kamu keluar dari rumah saya!" serunya, dan kali ini sorot matanya langsung menembus ke arah Arka dengan penuh amarah.

"Cuihh... calon istri? Harusnya Lo liat di jari manis dia ada cincin pertunangan kami!" Arka berkata sambil memandang Ryan dengan tatapan penuh ejekan "Datang-datang mengaku-ngaku seperti orang gila!" ujar Arka, suaranya makin tajam, menyindir Ryan dengan penuh kebencian.

"Hehh... bocah, jangan asal bicara, kamu tidak tahu siapa saya?!," ujar Ryan, menatap tajam ke arah Raya. Sekarang, tidak hanya Arka yang menjadi sasaran amarahnya, tapi juga Raya yang menjadi sasaran dari segala kebencian ini. Arka melirik Raya dengan tatapan penuh percaya diri, seakan ingin memberinya ruang untuk menunjukkan bukti yang diminta.

"Lihat aja kalau nggak percaya!" ujarnya dengan nada sombong, memberi sinyal pada Raya untuk menunjuk cincin pertunangan mereka.

Raya sudah pasrah, merasa tak berdaya di tengah pertengkaran ini. Tubuhnya terasa lemas, pikirannya kosong. Ia memang sengaja melepaskan cincin pertunangan yang semula menghiasi jari manisnya, dan tidak pernah sekali pun memakainya setelah itu. Sebab, pertunangannya dengan Arka bukanlah sesuatu yang diinginkannya. Semua itu hanya pura-pura, hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tua, untuk menunjukkan seolah-olah hubungan mereka berjalan baik-baik saja.

"Hahahaha... cincin-cincin. Makanya, dek, kalau bangun tidur tuh mandi dulu, bukan malah keluyuran ke rumah orang segala ngaku-ngaku bahwa dia jadi calon istri mu lagi," ujar Ryan tertawa, matanya masih tertuju pada jari Raya yang kosong tanpa cincin yang Arka katakan.

"Di mana cincin-nya, Raya?" ujar Arka, tak menghiraukan ucapan Ryan barusan. Langkahnya cepat menuju Raya, matanya terbakar amarah. Ia mendekat, sedangkan Raya, terdesak, terus mundur.

"Kak..." ucapan Raya terpotong, suaranya gemetar.

"GUE TANYA DI MANA CINCIN TUNANGAN ITU, RAYA?!!" teriak Arka, suara emosi yang meledak-ledak seakan mengguncang dinding ruang tamu.

"A... aku... tidak sengaja menghilangkannya, kak," ujar Raya, menunduk, wajahnya memerah. Tak ada lagi yang bisa dia sembunyikan, semuanya terasa terbuka.

"Lo kurang ajar, Ray... Ikut gue!!" teriak Arka dengan suara penuh kemarahan, tanpa ampun ia meraih tangan Raya, menariknya begitu kuat, seolah ingin membawa Raya pergi dari tempat itu. Namun, tarikan itu terhenti begitu saja saat Ryan juga memegangi tangan Raya yang satunya.

"Dia ikut dengan saya!" ujar Ryan dengan suara tegas dan penuh percaya diri, matanya menatap tajam ke arah Arka.

"Minggir lo, anjin*!" teriak Arka dengan kemarahan yang membara, emosi tak terkendali, tubuhnya bergetar menahan amarah yang tak bisa ia bendung lagi.

"Kamu berani dengan saya? Dari kemarin, mulutmu itu selalu membuat saya jijik," ujar Ryan, nada suaranya penuh penghinaan, bibirnya mengulas senyum sinis.

BUGH... BUGH...

Pukulan keras mendarat sempurna di pipi kanan Ryan, disusul dengan satu pukulan lagi yang menghantam perutnya. Ryan terhuyung, tetapi ia tak tinggal diam. Tanpa ampun, ia membalas dengan pukulan bertubi-tubi yang membuat Arka terkulai lemas di lantai, tubuhnya terjatuh dengan keras. Setiap serangan yang ia berikan terasa penuh amarah yang meledak-ledak.

Namun, meskipun Arka sudah terkapar, Ryan tak kunjung berhenti. Pukulan-pukulan yang datang semakin kuat, membuat Arka tampak tak berdaya. Di sisi lain, Raya yang sejak tadi berusaha melerai keduanya, akhirnya menyerah. Ia hanya bisa menatap tak berdaya, menyadari bahwa tenaganya tak cukup untuk menghentikan pertarungan brutal ini. Dia tahu, dalam hal ini, dia kalah telak.

"Kumohon, kak, berhenti!" ujar Raya dengan suara terisak, sambil memegangi tangan Ryan yang masih sibuk memukuli Arka. Setiap pukulan yang Ryan berikan membuat tubuh Arka terkulai lebih lemah, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya.

"Pergi kamu dari sini, jangan pernah sekalipun lagi kamu datang ke sini!" ujar Ryan dengan suara berat penuh kebencian, akhirnya berhenti untuk memukuli Arka. Ia melangkah mundur, namun matanya tetap penuh amarah, seolah mengusir Arka dengan setiap kata yang terucap.

Raya menatap Arka yang perlahan-lahan bangkit dari lantai, berjalan terseok-seok. Terlihat jelas bahwa ia terluka parah, tubuhnya bergetar kesakitan. Tanpa berpikir panjang, Raya berniat untuk menolong Arka, namun saat tangannya terulur, Ryan sudah menarik tangannya lebih dulu.

"Diam... Jangan coba-coba menolong nya!!" ujar Ryan dengan nada dingin dan tajam, menatap Raya dengan penuh intensitas. Raya hanya bisa diam, matanya tak bisa lepas dari Arka yang perlahan menjauh. Sementara itu, Ryan berdiri tegap, matanya memancarkan amarah yang belum mereda.

"Kamu terlalu kasar, kak... kenapa harus terus memukuli kak Arka di saat dia sudah tidak baik-baik saja?" ujar Raya dengan suara gemetar, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Kenapa kamu tidak terima jika saya memukuli pria tidak sopan itu? Dan ya, sikapmu kali ini sudah keterlaluan. Di saat ibu saya sudah memperlakukanmu dengan sangat baik, tapi apa yang kau berikan padanya, hah?" ujar Ryan dengan nada tinggi yang membuat Raya terkejut.

"Itu bukan kemauanku, kak! Aku dipaksa untuk berpura-pura menjadi tunangan kak Arka di hadapan keluarganya! Aku tidak memiliki pilihan lain selain melakukan ini!" ujar Raya dengan nada terbata-bata, suaranya penuh dengan penyesalan dan ketakutan.

Plak... plak...

Dua tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi kanan dan kiri Raya. Pipi Raya terasa perih, panas, dan sakit yang luar biasa.

"Sakit, kak..." ujar Raya dengan suara pelan, matanya berembun dengan air mata. Namun, Ryan belum selesai. Ia mendekat, tangan terangkat tinggi, seolah siap untuk melayangkan tamparan ketiga.

Plak... plakkkk...

Satu tamparan keras kembali mendarat di pipi Raya. Desisan sakit terdengar dari bibir Raya yang tersungging sedikit, tubuhnya akhirnya terjatuh terduduk di lantai. Sudut bibirnya berdarah akibat tamparan yang begitu keras, tubuhnya terasa berat dan lelah menghadapi semua ini.

"Bagaimana? Masih kurang? Masih ingin mengatakan jika kamu tidak menginginkan pertunangan itu? Kamu kira saya bodoh begitu? Semua ucapan wanita rendahan seperti dirimu ini sama sekali tidak pantas untuk dipercaya!" ujar Ryan dengan suara penuh kebencian.

Sejak pertama kali melihat Raya bersama Arka di jalan itu, Ryan sudah merasa bahwa apa yang dikatakan Arka tentang pertunangan mereka adalah benar. Namun entah mengapa, mendengar Raya mengucapkan hal tersebut justru menambah rasa tidak suka yang semakin menguat dalam dirinya.

"Tapi aku serius, kak. Aku memang dipaksa untuk bertunangan dengan dia," ujar Raya sekali lagi, suaranya masih terbata-bata, mencoba meyakinkan Ryan meskipun rasa sakit dan ketakutan menghantuinya.

Plakk...

Kali ini, tamparan keras kembali dilayangkan oleh Ryan untuk wanita yang ada di hadapannya itu. Pipi Raya terasa panas dan perih, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, namun Ryan tampaknya tidak peduli.

"Kamu ini manusia bodoh atau bagaimana? Jadi, ketika kamu dipaksa, kamu akan diam saja begitu? Tidak berontak? Bodoh. Kamu bukan sedang dipaksa, tapi kamu sedang menikmatinya. Orang yang merasa terpaksa akan melakukan apa pun agar dia bebas dari paksaan itu. Sedangkan kamu? Kamu hanya diam dan menurut pada pria sialan itu!" ujar Ryan dengan nada penuh amarah, sambil mendorong tubuh Raya hingga terhuyung ke belakang.

Drtttttttt... Drtttttttt

Ponsel yang dibawa oleh Ryan berdering, menandakan ada panggilan masuk. Tanpa ragu, Ryan langsung melihat layar ponselnya dan menjawab panggilan itu begitu tahu bahwa itu adalah ibunya yang menelepon.

"Ya, hallo mah," ujar Ryan, suaranya tetap tenang meskipun matanya masih fokus pada Raya yang tengah menahan sakit akibat perbuatannya.

"Where are you, Ryan?! Did it take that long just to bring Raya here?" tanya Liu dengan nada tidak percaya dari seberang telepon.

"Kami masih di sini, mah. Raya masih bersiap-siap. Mama, seperti tidak tahu saja kalau wanita sudah makeup lama seperti apa," ujar Ryan, berbohong kepada ibunya dengan santai.

"Are you really at Raya's house, Ryan?" tanya Liu lagi, tampak ragu dengan penjelasan Ryan.

"Iya, mah... lalu di mana lagi? Yasudah, aku tutup dulu. Sebentar lagi Raya selesai," jawab Ryan, sambil mematikan telepon tanpa menunggu balasan dari pihak lain.

"Cepat bangun dan bersiaplah. Tidak usah membuat drama di hadapan saya. Saya bukan orang bodoh yang mudah lupa, Raya. Saya masih ingat saat kamu berada di dalam satu mobil dengannya dan dalam keadaan tenang. Bukankah itu terlalu tenang untuk seseorang yang sedang berada dalam sebuah paksaan?" ujar Ryan, berjalan tanpa beban menuju sofa. Sementara itu, Raya bangkit dengan perlahan, tubuhnya masih terasa lemah dan nyeri. Ia berjalan tertatih-tatih menuju lantai dua, menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Ia tidak ingin mendebat pria itu lebih lama. Bagaimanapun, pada akhirnya, dialah yang akan menderita.

Ryan tidak menghiraukan Raya yang kesakitan. Dia memilih duduk dengan tenang di sofa, menunggu Raya selesai bersiap-siap sambil memainkan ponselnya. Wajahnya masih keras dan dingin, seolah tidak peduli dengan apa yang sedang dialami oleh wanita di hadapannya.

KEDIAMAN SUDRADJAT...

"Kamu pintar berbohong, kan? Sekarang berakting lah dengan baik di hadapan keluarga saya. Gunakan wajah lugu itu untuk menipu orang-orang baik seperti keluarga saya," ujar Ryan dengan nada penuh penekanan, matanya menatap tajam ke arah Raya.

Raya merasakan sakit hati yang menyusup, dan tentu saja malu. Dikatakan seorang pembohong oleh pria yang mungkin saja akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, apalagi dengan segala perlakuan yang diterimanya.

Ryan berjalan memasuki mansion mewah keluarganya, diikuti oleh Raya yang ada di belakangnya. Langkahnya terasa berat, seiring tatapan mata Raya yang hanya tertuju pada punggung besar milik Ryan. Pikiran Raya melayang jauh, kembali ke kejadian tadi, dan juga peristiwa di kamar Arka yang sampai kapanpun tidak akan dia lupakan. Meskipun dia mencoba untuk menenangkan diri, perasaan hancur itu selalu kembali menghantui.

"Akhirnya kalian sampai juga," ujar Liu dengan antusias seperti biasanya saat melihat Raya. Raya, yang baru menyadari kehadiran Liu, hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya terasa kosong, seolah segala kebohongan yang dipaksakan menutupi segalanya.

"Raya, ayo masuk, nak," ujar Liu, melihat Raya yang terdiam di tempatnya. Ryan, yang mendengar ucapan ibunya, ikut menoleh ke arah Raya. Matanya seakan memberi perintah agar Raya segera ikut tanpa menunda.

Raya tersadar mendengar ucapan Liu dan perlahan mendekat, membalas pelukan yang Liu berikan. Senyum manis tercetak di bibirnya, namun tak ada yang tahu bahwa di dalam hati, dia ingin berteriak, ingin mengungkapkan yang sebenarnya. Namun, Raya cukup sadar diri. Dia bukan siapa-siapa di hadapan keluarga ini. Semua itu terasa seperti beban yang harus dia tanggung seorang diri.

"Kamu baik-baik saja, sayang? Kenapa Tante rasa matamu sedikit bengkak? Apa terjadi sesuatu sebelum kamu ke sini?" tanya Liu dengan tatapan penuh perhatian, matanya melirik ke arah Ryan seolah meminta jawaban dari putra nya itu. Ia berbicara sambil mengajak Raya untuk duduk di meja makan yang telah dipenuhi berbagai hidangan menggugah selera. Namun, Raya sama sekali tidak tertarik. Suasana makan malam yang seharusnya hangat terasa berat baginya.

"Aku baik, Tante. Ini mungkin efek kurang tidur saja," jawab Raya, sembari duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Liu. Ryan duduk di samping Raya, memperhatikan dengan seksama.

"Apa kamu pergi ke kampus hari ini, Raya? Bagaimana harimu?" Liu terus saja melemparkan pertanyaan basa-basi kepada Raya, namun Raya hanya tersenyum tipis dan tidak terlalu merespons. Sebelum obrolan itu bisa berlanjut, suara seorang pria yang datang menghampiri mereka menginterupsi.

"Sudah menunggu lama?" ujar Rudianto, sambil mengusap kepala sang istri dengan lembut. Senyumnya hangat, namun Raya hanya bisa menunduk, merasa semakin canggung di tengah keluarga ini.

"Tidak, duduklah... mereka juga baru sampai," ujar Liu dengan senyuman manisnya, memperkenalkan sang suami. Ini pertama kalinya Raya melihat orang yang memiliki gelar Tuan Sudrajat secara langsung. Biasanya, ia hanya melihatnya di televisi atau media-media lain, dan kini ia merasa begitu kecil di hadapan orang yang tampaknya sangat berwibawa ini.

"Raya, kenalkan, ini Om Rudianto, dia ayahnya Ryan," ujar Liu, memperkenalkan suaminya kepada Raya. Liu menatap Raya dengan harapan bahwa wanita ini akan menjadi calon menantunya.

"Iya... halo, Om," ujar Raya dengan suara pelan, mencoba untuk tersenyum meski hatinya terasa cemas.

"Halo, Raya. Ini pertama kalinya saya bertemu dengan kamu dan ternyata benar apa yang dikatakan oleh istri saya, kamu memang cantik. Oh ya, berapa usiamu sekarang?" tanya Rudianto dengan senyum ramah.

"23, Om... Januari nanti aku 24 tahun," jawab Raya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

"Sudah dewasa juga. Ada hal yang ingin Om dan istri Om bicarakan setelah ini, Raya. Begitu juga dengan kamu, Ryan. Jangan pergi dulu, papa ingin bicara," ujar Rudianto dengan nada tegas, menatap putra pertamanya itu.

Raya tidak menjawab, namun Ryan hanya mengangguk sebagai jawaban atas permintaan sang ayah. Mereka mulai makan, namun Raya hanya menyentuh sedikit makanan di piringnya. Sebelumnya, dia sudah makan masakan Arka, jadi perutnya tidak merasa lapar sama sekali. Meskipun begitu, ia merasa terpaksa ikut makan hanya untuk menghormati Liu yang sudah susah payah menjamunya.

Liu yang menyadari bahwa Raya tampak enggan menyentuh makanannya, langsung berbicara dengan nada penuh perhatian, membuat Rudianto dan Ryan ikut menoleh ke arah Raya. Tatapan mereka seolah menunggu penjelasan dari gadis itu.

"Ada apa, sayang? Apa makanannya tidak enak?" tanya Liu dengan lembut, matanya menatap piring Raya yang hanya diaduk-aduk tanpa benar-benar disentuh. Raya yang merasa bersalah buru-buru menggeleng, mencoba tersenyum meski hatinya masih berat.

"Ah... tidak, Tante. Makanannya enak, sungguh. Maafkan aku," ujarnya pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Ah, syukurlah kalau begitu. Tante kira kamu tidak menyukai masakannya. Kalau ada yang kamu tidak suka, bilang saja, ya? Nanti Tante ganti dengan yang lain," ujar Liu dengan senyum ramah, menunjukkan perhatian tulusnya.

"Iya, Tante. Terima kasih," balas Raya sambil mengangguk sopan.

Suasana kembali hening setelah itu. Hanya terdengar bunyi denting sendok dan garpu yang bertemu piring di meja makan besar itu. Rudianto terlihat serius menyantap makanannya, sementara Ryan diam saja di samping Raya, seolah tidak peduli dengan apapun selain makanannya sendiri.

Raya mencoba memaksakan diri untuk makan beberapa suap, meski perutnya sama sekali tidak merasa lapar. Kepalanya masih penuh dengan kejadian-kejadian yang terus berputar tanpa henti. Dia berharap makan malam ini segera berakhir.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!