Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Upnormal
Ketika pagi menyapa, Nara bergegas untuk pulang. Dengan diantar oleh Dissa, akhirnya Nara tiba di depan pekarangan rumahnya. Setelah melambaikan tangan kepada Dissa yang mulai melajukan mobil, Nara pun masuk dan menyapa Pak Tono, sang Satpam yang berjaga.
"Assalamu'alaikum, Pak."
"Waalaikumsalam, Non. Pagi sekali. Dari mana?" tanya Pak Tono basa-basi.
"Habis menginap di rumah Dissa, Pak. Saya masuk dulu ya." Lalu, Nara meninggalkan Pak Tono setelah mendapatkan anggukan sebagai jawaban.
Pintu rumah sudah dalam kondisi terbuka yang berarti jika Teh Arum telah selesai membersihkan rumah. Nara pun berjalan, berniat menaiki anak tangga. Namun, tatap matanya tertuju pada setumpuk hadiah yang berada di atas meja makan.
Tanpa mendekat, Nara jelas tahu jika barang-barang tersebut merupakan hadiah dari Mama Azni dan orang tua Nadya. Seperti handuk bayi, alat makan, pakaian, sepatu bayi, dan segala sesuatu yang berurusan dengan bayi termasuk stroller.
Nara menghembuskan napasnya pelan. "Semoga kelak aku bisa hamil. Selama tes kesuburan ku bagus, aku percaya jika aku bisa hamil," gumamnya berdoa.
Setelah itu, Nara bergegas menuju kamarnya. Tinggal beberapa langkah lagi untuk Nara tiba di pintu kamarnya, tetapi suara di pintu sebelah membuat Nara penasaran karena terbuka sedikit.
Nara melangkah beberapa meter lagi untuk tiba di kamar milik Nadya. Lalu, suara orang yang sedang muntah pun terdengar disusul suara Arjuna yang berusaha menenangkan.
Merasa khawatir, Nara mendorong pintu hingga terbuka seluruhnya. Tatapan Nara tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka. Awalnya Nara sempat ragu untuk mendekat. Namun, ketika kakinya baru satu kali melangkah, orang yang berada di dalam toilet keluar.
Nara mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia bagai maling yang sudah ketahuan mencuri. "Eum—" Keadaan mendadak canggung karena Arjuna juga Nadya ikut terdiam.
"Hem. Kamu sudah pulang, Ra?" tanya Arjuna berdehem lebih dulu untuk membasahi tenggorokannya.
"Sudah. Aku mendengar Nadya muntah-muntah dan itu cukup menarik perhatian ku," jelas Nara tidak ingin Nadya salah paham karena memasuki kamarnya.
Arjuna mengangguk sebagai jawaban sedangkan Nadya masih pada posisi awal, yaitu membeku dengan menatap Nara dalam.
"Aku pamit untuk berganti pakaian terlebih dahulu." Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Nara berlari kecil menuju kamarnya.
Setibanya dalam kamar, Nara menarik dan menghembuskan napasnya beberapa kali untuk menetralisir degup jantungnya yang berdetak upnormal.
Bukan karena terkejut melihat Arjuna dan Nadya yang muncul tiba-tiba, melainkan karena melihat keadaan Arjuna yang tidak mengenakan atasan. Hanya celana kerja panjang sebagai penutup tubuh bagian bawahnya.
"Kenapa aku harus bersikap seperti ini sih? Bukankah Nadya juga istri Mas Arjuna? Harusnya, semua itu wajar saja bagiku," gumam Nara mencoba meyakinkan diri.
Tidak ingin berlarut-larut memikirkan hal tersebut, Nara segera berjalan menuju lemari pakaiannya. Dia harus segera berganti karena nanti siang akan ada interview ke kantor penerbitan. Setelah berganti pakaian, Dia berniat untuk memberitahukan perihal pekerjaannya.
Setelah melepas kerudung dan gamis, Nara menarik hanger dimana abaya miliknya digantung. Belum sempat abaya itu dipakai, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba hingga membuat Nara refleks menyilangkan lengan di depan dada.
Ternyata, Arjuna muncul dengan keadaan yang masih sama. "Mas? Kenapa tidak mengetuk pintu terlebih dahulu sih?!" kesal Nara yang justru membuat Arjuna terkekeh kemudian menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya.
"Maaf. Mas juga terburu-buru. Mas baru saja mandi dan belum sempat mengenakan baju ketika mendengar suara Nadya yang muntah-muntah," jelas Arjuna yang kini sudah berdiri di hadapan Nara.
Nara harus menahan napas ketika lengan Arjuna melewati samping tubuhnya untuk mengambil kemeja di atas lemari hanger. Tubuh bagian depannya sampai menempel pada tubuh suaminya bagai tak berjarak.
Cup.
Nara melotot lebar ketika suaminya tiba-tiba mencium pipinya. "Mas!" protesnya tidak terima dengan tangan yang masih menyilang di depan dada.
"Kenapa sih, galak sekali," ucap Arjuna gemas sambil mencubit hidung Nara pelan.
"Ini kan waktunya kita bersama. Hari ini Mas berangkat siang," beritahu Arjuna tersenyum miring.
Nara berdecak dan berniat melepaskan diri. Namun, secepat kilat suaminya itu menahan lengan Nara agar tidak pergi. "Kenapa menghindar sih? Mas rindu kamu," bisik Arjuna lalu menghidu rambut Nara yang saat itu tak tertutup hijab.
"Jangan aneh-aneh, Mas. Ini sudah siang," geram Nara menatap tajam suaminya.
Tawa Arjuna pun meledak lalu segera menyingkirkan diri dari dekat Nara. "Galak sekali sih."
Baru setelahnya, Nara bisa bernapas lega dan mengenakan abaya pilihannya. Beruntung, dia sudah mandi ketika berada di apartemen Dissa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jangan lupa dukungannya ya🥰...