Pengantin Pengganti Sahabatku

Jam dinding sudah menunjukan pukul delapan pagi saat Zahira menyibak selimut. Sejak kemarin sore sesaat setelah Shaka pergi ke Singapura, ia mengurung diri di kamar tanpa ingin diganggu oleh siapa pun termasuk Shakeela, adik kandungnya sendiri. Ada rasa kecewa atas sikap Shaka yang seakan tengah menyembunyikan sesuatu sampai ia tidak diberitahu kalau hari itu juga sang pengacara pergi keluar negeri selama beberapa hari.

Sulit tidur, itu sudah pasti. Membolak balikan badan, menghitung domba di atas langit-langit kamar bahkan membaca novel online karya author senja_90 tak mampu membuat Zahira memejamkan mata. Ia terus terjaga hingga dini hari dan baru tertidur saat menonton kembali video saat pengacara muda mengikrarkan janji suci pernikahan di hadapan semua orang.

Mata Zahira menatap sebuah nakas di samping kanan tempat tidur. Ada sebuah foto berwarna putih keemasan yang diambil saat ia dan Shaka duduk di pelaminan. Sebuah foto dengan backdrop warna putih lalu di bagian tengah terdapat inisial nama kedua mempelai membuat hati gadis itu merasa berbunga-bunga. Namun, saat teringat inisial Z ditujukan kepada Ziva mendadak Zahira teringat bahwa ia hanyalah seorang pengantin pengganti.

Entah kenapa, kilasan kejadian beberapa hari lalu saat Zahira menemani Shaka bertemu dengan Nicholas kembali terlintas dalam benaknya. Mungkinkah Shaka pergi ke Singapura untuk menemui Ziva? kata gadis itu dalam hati. Namun, ia segera mengenyahkan pikiran buruknya. Yakin bahwa Shaka tidak mungkin membohonginya.

"Selamat pagi!" Suara lembut mama mertua menyambut kedatangan Zahira di ruang makan. Tersenyum manis sama seperti saat si cantik jelita masih berusia empat tahun.

"Mama Rini, kok bisa di sini?" tanya Zahira dengan bola matanya yang indah melebar sempurna.

Shakeela berdecak kesal saat mendengar jawaban sang kakak. Alih-alih membalas sapaan Rini, Zahira malah mengajukan pertanyaan tak bermutu.

"Kalau ada orang menyapa dijawab juga dong, Kak. Jangan balik bertanya! Terlebih orang itu adalah mertua Kakak sendiri," ucap Shakeela. Gadis itu sedang membantu Rini mencuci buah-buahan yang baru saja dibeli di toko buah.

Rini hanya terkekeh mendengar keributan kecil yang terjadi antara dua gadis cantik berwajah oriental sedangkan Zahira menggigit bibir bawah, merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada mama mertuanya.

"Maafkan aku, Ma. Aku tidak bermaksud begitu," kata Zahira lirih. Terduduk lemah di kursi bar yang menghadap langsung ke dapur.

Rini memindahkan bubur dari panci ke sebuah mangkok beling kemudian menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan meletakkannya di atas meja. "Nope, Sayang. Mama bisa maklum kenapa kamu begitu terkejut akan kedatangan Mama ke sini."

Wanita paruh baya itu menarik kursi, menimbulkan decitan di antara kesunyian pagi. Kemudian duduk berhadapan dengan keponakan dan menantu kesayangan. "Mama sengaja datang ke sini pagi-pagi sekali karena ingin membuatkan sarapan untukmu. Selain itu Mama juga ingin memberitahu kalau siang nanti akan datang asisten rumah tangga yang kelak membantumu mengurusi apartemen ini. Jadi, kamu tidak perlu capek-capek nyapu, ngepel, masak, cuci piring ataupun melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya seorang diri sebab sudah ada Budhe Erna yang mengerjakan semuanya."

Zahira menyendokan bubur buatan mama mertua ke dalam mulut. "Iya, Ma. Kemarin Shaka sudah memberitahuku. Aku mengucapkan banyak terima kasih karena Mama dan Papa begitu perhatian kepadaku." Anak ketiga Arumi mendongakan kepala seraya tersenyum tulus ke arah Rini. "Terima kasih banyak, Ma."

Rini mengalihkan pandangan pada salah satu daun pintu yang tertutup rapat. "Loh, Shaka ke mana? Tumben sekali jam segini belum bangun."

Pertanyaan Rini membuat Zahira terkejut, hingga sendok yang digunakan untuk menyuapkan bubur terjatuh di dalam mangkok dan menyipratkan sebagian isinya ke dress yang dikenakan. Sementara Shakeela menatap cengo ke arah kakak dan tante kesayangannya.

"Loh, memangnya Aunty Rini tidak diberitahu Kak Shaka kalau dia diminta Uncle Rio pergi ke Singapura dalam rangka urusan pekerjaan?" celetuk Shakeela polos.

Ibu tiga orang anak menggelengkan kepala cepat. "Tidak! Uncle Rio pun tidak cerita kalau dia menugaskan Shaka ke Singapura. Kalaupun ada, sudah pasti Uncle kalian juga ikut. Toh Shaka tidak mungkin pergi sendirian menghadapi kasus dari sang klien."

Mendadak wajah Rini berubah pucat. Tingkahnya terlihat gugup. "Oh, mungkin memang Uncle kalian lupa memberitahu Aunty," ucapnya mencoba menenangkan Zahira. "Sudahlah, sebaiknya kalian habiskan makanan ini. Setelah itu makan pudding yang Aunty bawa dari rumah."

***

Usai sarapan Zahira kembali ke kamar. Ia belum bisa terlalu lama meninggalkan pembaringan. Kepala masih terasa pusing dan kleyengan.

Pikiran Zahira kembali berkecamuk saat melihat foto pengantin yang ada di atas nakas. Apa Shaka benar-benar pergi ke Singapura untuk urusan pekerjaan? Atau memang Rini yang tidak tahu kalau anak bungsunya ditugaskan ke negara tetangga.

Papa Rio! Sebaiknya Zahira menghubungi pria itu dan menanyakan kebenaran yang sesungguhnya.

"Halo, Papa!" Bibir Zahira gemetar saat sambungan telepon terhubung. Ia belum siap jika kebenaran terungkap.

Di seberang sana Rio tertawa. "Halo, Ra. Bagaimana kabarmu, Nak? Mama mertuamu sudah sampai di apartemen kalian, 'kan?"

"Alhamdulillah, kabarku jauh lebih baik dari sebelumnya. Mama Rini baru saja pulang. Mungkin saat ini sedang mampir dulu ke rumah Bunda untuk mengantarkan puding yang baru dibuat semalam."

Rio tertawa lagi. "Ah ... ya. Puding itu merupakan kreasi Mama mertuamu. Entahlah bagaimana rasanya, kamu sendiri bisa menilainya."

"Oh ya, Ra. Di mana Shaka? Apakah dia berada di sebelahmu? Papa ingin berbicara dengannya, membahas urusan pekerjaan tapi nomornya tidak aktif."

Lemas sudah tubuh Zahira. Badan lemah itu terperosok ke belakang sofa. Jika Rio menanyakan di mana Shaka, itu artinya pria paruh baya itu tidak menugaskan suaminya pergi Singapura.

"Shaka sedang di kamar mandi, Pa. Mungkin daya ponselnya habis dan semalam dia terlalu sibuk merawatku hingga lupa mengisi daya," bohong Zahira. Ia tidak tahu akibat kebohongannya itulah sebuah bencana besar akan menimpa rumah tangga mereka.

"Ya sudah, Pa. Aku tutup dulu teleponnya. Selamat pagi."

Sambungan telepon terputus. Zahira melemparkan sebuah vase bunga di atas nakas hingga pecahan beling berserakan di mana-mana. "Tega sekali kamu membohongiku, Ka! Kupikir, perhatian yang kamu berikan kepadaku kemarin merupakan awal baik bagi hubungan kita. Namun, ternyata semua itu tak mempunyai arti apa-apa bagimu. Kamu jahat, Shaka! Jahat!" ucapnya lirih. Hati gadis itu hancur berkeping-keping bagaikan sebuah vase bunga yang baru saja ia lemparkan.

"Kalau memang kamu ingin menemui Ziva, kenapa tidak jujur saja kepadaku. Aku bisa mengerti seandainya kamu berterus terang kepadaku. Bukan malah berbohong dan menutupi sebuah kebenaran yang sewaktu-waktu bisa terungkap."

.

.

.

Halo semua yuk mampir ke karya teman author. Kisahnya dijamin seru nih. Judul karya dan nama pena ada di bawah sini. 👇