Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Estella dan Sean benar-benar menghabiskan waktu yang cukup, hingga harus tiba malam hari di rumah. Selain harus berbasa-basi untuk tata krama, mereka juga harus terkendala dengan evakuasi kecelakaan yang cukup lama.
Masalahnya selain menghubungi Victoria akan keterlambatannya, setelah itu Estella sudah tidak memegang ponsel lagi. Dia sibuk melihat proses evakuasi dengan rasa penasaran, memuaskan keingintahuannya sebagai seseorang yang bercita-cita menjadi Dokter. Tidak tahu, bahwa ada banyak pesan dan panggilan masuk dari Remi.
Jadi begitu mobil memasuki gerbang, begitu juga Remi turun dengan terburu-buru ke bawah.
“ESTE!”
Estella mengangkat alisnya tidak senang, dengan nada tinggi yang diberikan Remi.
“Rem kau ini kenapa sih, datang—”
“Kau ini yang dari mana saja? Aku menelponmu berkali-kali tapi tidak kau angkat. Sebenarnya dari mana, dan apa yang kau lakukan bersamanya hah!?” Tunjuk Remi pada Sean dengan berapi-api.
Sean yang ditunjuk, hanya bisa menghembuskan nafas panjang.Tidak ingin menjadi bagian remaja yang bertengkar, dia segera menyingkir meninggalkan dua orang itu di garasi.
Berbeda dengan Sean, Estella tidak bisa menjadi santai dengan kalimat bersayap dari Remi.
“Rem, apa maksudmu sebenarnya! Apa kau sadar apa yang kau katakan?”
“Ya apalagi? Kau seharian keluar dengan seorang pria tanpa tahu kemana dan tanpa bisa dihubungi. Lalu pulang-pulang menolak untuk ditanyai!”
“Bukan menolak ditanya, tapi tanyakan dengan baik, bukan datang dengan nada tinggi.”
Estella tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. Kekecewaan merayapi hatinya, karena tuduhan dari seseorang yang dia sayangi.
Remi pun meremas kuat kepalan tangannya mencoba mencari sesuatu untuk meng-handle dirinya. Tapi bahkan peluh sudah jatuh, dia masih tidak bisa mengendalikan perasaan menggebu yang tidak tahu darimana datangnya.
“Baiklah katakan, kau sebenarnya dari mana saja dengan si Se-Sean itu?”
“Ah itu anu, itu ….” Pada akhirnya, semua perempuan sama. Tidak peduli seberapa lihainya Estella berbohong, tapi saat menghadapi orang yang dekat dihatinya dia kehilangan kemampuan.
“Lihat, kau bahkan ragu-ragu!” Remi mengusap wajahnya dengan tidak percaya. “Este ada apa sebenarnya denganmu? Aku adalah sahabatmu dan kau merahasiakan sesuatu dariku? Kenapa? Apa bersama dengan Sean, membuatmu melupakan aku!?”
Estella menyapu rambutnya ke belakang sambil menggigit bibir bawahnya. Bingung antara membuat alasan, dan kesal karena tuduhan berulang yang selalu membawa nama Sean.
“Rem kau ini kenapa? Aku bahkan belum mengatakan apapun, tapi kau terus memojokku dengan membawa nama Sean! Dia hanya pengawal Kakakku, itu saja.”
“Pengawal kakakmu tapi bersamamu terus, begitu? Este ... apa kau pikir aku tidak memperhatikan?” Remi mengambil langkah mendekati Estella, menciptakan ketegangan ada di dua pihak sekarang. Karena bagaimanapun Estella mempertahankan diamnya.
“Kau selalu bersamanya, kau berduaan dengannya, dan entah kemana dan apa saja yang kalian lakukan.”
Pelan ucapan Remi tapi menembus tepat di jantung Estella. Membuat degupan yang luar biasa cepat, sampai-sampai rasanya dia akan pingsan karena tidak tahan. Ingin sekali dia berteriak pada Remi, karena meragukan sikap kegadisan-nya. Tapi pada akhirnya Estella hanya terdiam. Lidahnya kelu ,dan yang keluar adalah kekehan mengejek.
“Lalu kenapa apa kau cemburu?”
DUARRR.
Untuk sesaat Estella menyesali apa yang dikatakannya, tapi begitu dia hanya tersenyum. Senyum yang tak bisa dijelaskan.
“Este, apa kau gila?” Adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Remi.
Kini giliran Estella mengepal tangan hingga kuku-kuku panjangnya menembus daging. Tapi dia tidak menarik kembali perkataannya. Kali ini, antara cinta dan harga diri.
“Kenapa aku gila? Kenapa bukan kau? ... Remi, setiap katamu seolah menuduhku berhubungan dengan Sean. Kalaupun itu benar memangnya kenapa hah? Kau memiliki masalah dengan itu?”
Estella benar-benar tipikal antagonis yang sesungguhnya. Meski sakit hati dan terluka, dia masih siap untuk bergesekan dengan orang lain.
Sementara itu Remi menatap Estella dengan tidak habis pikir. Tapi begitu jantungnya berdegup dengan sangat kencang, hingga untuk sesaat, dia pikir dia yang gila disini.
“Este apa kau sadar kepada siapa kau menanyakan hal ini? Kepadaku, kepadaku Remi Hain, adik Raphael Hain.”
Remi menepuk dadanya keras, ingin menekankan kepada Estella bahwa mereka bukan hanya sahabat, tapi juga adalah saudara sekarang.
Mata Estella berkaca-kaca dengan cepat, dia sampai gemetar saat ini. Membuat Remi yang melihat mengalami penurunan emosi yang drastis.
“Este jangan menangis. A-aku terlalu berlebihan. A-aku a-aku mengerti, kau pasti hanya bercanda tapi aku yang terbawa serius, maafkan aku.”
Tanpa aba-aba Remi menarik Estella masuk ke dalam pelukannya, meminta maaf berkali-kali.
“Maaf, maaf Este. Jangan menangis, jangan khawatir, selamanya kita saudara apapun yang terjadi.”
Remi yang tidak tahu bahwa Victoria dan Raphael sudah bercerai, dan mengira itu masih dalam proses, berpikir bahwa Estella sedih karena hal ini, karena mereka mungkin tidak akan menjadi saudara lagi.
“Este dengar, ... selamanya kau adalah saudariku. Kau adalah adikku. Maafkan aku hari ini, aku hanya terlalu khawatir.”
Tubuh Estella bergetar hebat dalam pelukan Remi, dia menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku tidak mau jadi saudara atau sahabatmu saja.”
DEG. Remi mendorong Estella dengan syok, tapi masih tidak melepaskan tangannya dari bahu rapuh gadis itu.
“Este, kau bicara apa nah?!”
Estella menggeleng putus asa. Cara Remi mendorongnya dari pelukan telah memberikan Estella jawaban. Dia tahu, cintanya telah bertepuk sebelah tangan saat ini.
“Tidak, lupakan saja.”
Estella menurunkan tangan Remi dari bahunya, dengan cepat mendapatkan ketenangan di tengah rasa sakit yang hebat. “Soal tadi, aku dan Sean hanya pergi ke kampung halamannya, karena dia ada urusan dan aku hanya ingin jalan-jalan.”
Dahi Remi mengernyit khawatir, merasakan perubahan emosi Estella dan begitu cepat. Dari menangis begitu perih, kepada bicara tanpa ekspresi. “Este, kau ini ada—”
“Rem aku lelah. Itu perjalanan yang panjang, mari bahas besok.”
Estella mengambil langkah meninggalkan Remi terlebih dahulu. Tapi begini, kecanggungan dan jarak telah bertambah diantara mereka.
“Sepertinya tidak ada harapan ….” gumam Estella.
•
•
Di dalam kamar serba merah muda, Viona menyapu air matanya sambil memandangi langit-langit kamar.
Seharusnya dia hanya perlu bersikap biasa saja pada orang tuanya, tapi tidak mengerti dengan batasan yang diberikan Ibu Maia, sebagai Ibu angkatnya.
TUK, TUK, TUK
Viona terlonjak dari tempat tidur dan dengan cepat menyeka wajahnya. Menghapus sisa-sisa sembab di wajahnya.
“Viona sayang, apa bisa Ibu masuk?”
Viona mengernyit, mendengar Maia yang belakangan ini terus menyebut diri sebagai Ibu, tanpa embel-embel nama lagi di belakang.
“Ah iya Ibu Maia, masuk saja.”
KLEK.
Pintu dibuka dan menampilkan Maia dengan sahajanya yang seperti biasa. Dia melangkah dengan senyum terbaik, langsung ke tempat tidur dan membelai rambut Viona.
“Sayang, sudah jam begini tapi belum keluar dari kamar juga. Ada apa? Apa kau sedang tidak enak badan?”
Viona menggeleng lemah. “Tidak Bu Maia, a-aku ha-hanya bangun terlambat tadi.”
Maia masih mempertahankan senyumannya, bisa merasakan kekakuan datang dari Viona.
“Viona, apa Ibu membuatmu tidak nyaman? atau mm, ... apa kau sedang marah kepada Ibu?”
Viona dengan cepat menggeleng. Apapun yang dirasakannya, dia tahu masih ada batasan untuk apa yang harus dia katakan. Tapi Maia tidak mau membiarkan kecanggungan ini begitu saja, walaupun dia tahu dari mana itu berasal.
Viona sedikit tersentak ketika tangannya digenggam Maia. Dia hendak menariknya, tapi kalah cepat dengan Maia.
“Sayang, bagaimana kalau jujur saja. Apa permintaan Ibu kepadamu soal kemarin terlalu berat?”
Viona tertunduk untuk sementara, tapi akhirnya mengangguk dengan sisa keresahan hatinya. Hanya berharap Maia akan mengerti dia.
Tapi sayangnya tidak. Tidak ada yang bisa mengerti Maia, dan Maia tidak ingin mengerti siapapun.
“Sayang, Ibu tampaknya tidak menjelaskan dengan baik. Maksud dari Ibu itu semata-mata untuk kebaikanmu saja. Bukannya Ibu ingin kamu berpisah dengan orang tua mu, tapi Ibu hanya ingin kau lebih fokus dengan pelajaran. Tidak lama lagi ujian akhir, … kalau kejadian seperti kemarin terulang lagi, yah kamu tahu sendiri, kan?”
Viona tidak setuju. Karena Maia berbicara dengan lembut, dia juga mengutarakan pendapatnya. Dia pikir bahwa itu terlalu tidak masuk akal. Bagaimanapun tidak mungkin bagi teman-temannya, untuk mengetahui hal itu bukan.
Tapi Maia tidak kehabisan cara untuk menolak perkataan Viona. Kali ini dia menggunakan trik yang paling Viona inginkan.
“Belum terlalu lama, kamu bicara tentang temanmu Remi bukan? Yang kaya dan baik itu?”
“Mmmm,” Viona mengangguk dengan cepat. Pembicaraan mengenai Remi membuatnya antusias tanpa sadar. Hal ini pun membuat Maia menarik sudut bibirnya.
Dia memberikan kiasan, bahwa seorang seperti Remi pasti dibesarkan dalam keluarga yang baik. Dan mengukur dari kerendahan hatinya, itu pasti sebuah keluarga kaya yang telah berdiri lama. Memberitahu, bahwa orang-orang seperti ini cukup baik, tapi tidak, saat orang lain dari kasta yang berbeda mencoba masuk ke dalam keluarga mereka.
Viona yang mendengar ini jelas tidak mengerti apapun.
“Sayang, apa Ibu salah? Ibu pikir kamu tertarik pada temanmu itu?”
BLUSH. Semu merah dari pipi Viona naik sampai ke telinga. Membuatnya hanya bisa menundukkan kepala sambil tersenyum, sampai jari jemari Maia mengelus rambutnya.
“Ibu akan anggap ini sebagai ya. Tapi sayang, ... bahkan jika dia menjadi temanmu, dia tidak bisa menjadi kekasihmu. Bahkan jika dia mencintaimu apa adanya, belum tentu keluarganya akan menerimamu—”
“Bu Kau—”
“Shut! jangan memotong. Kamu mungkin berpikir Ibu berbicara terlalu jauh, tapi jangankan Remi, dengan siapapun kamu menjalin hubungan di masa depan, jika mereka berasal dari keluarga kaya, maka itu akan sulit bagimu jika kamu mempertahankan latar belakangmu. Lagipula Viona, ... setelah menjalani gaya hidup seperti ini, tidak mungkin kamu mau menikahi pria biasa, kan?”
DEG. Jantung Viona seolah dipukuli. Kepalanya tanpa sadar mengangguk. Dia bisa merasakan perubahan yang begitu besar dalam dirinya. Kali ini dia memiliki kesempatan untuk menikmati masa remajanya tanpa harus banyak beban akibat ekonomi.
Dahulu, bersama dengan orang tuanya dia masih harus membantu sedikit pekerjaan sepulang sekolah. Tapi disini tidak. Dia menjalani kehidupan putri kaya sepenuhnya, dan mendapati kehidupan ini cukup menyenangkan. Ya, Viona ingin hidup seperti ini terus.
Melihat mata polos Viona berkedip-kedip setuju, Maia tahu, bahwa dia telah mendapatkan seorang putri.
“Ibu. Kalau begitu kamu harus membiasakan memanggilku Ibu, agar orang lain tidak pernah tahu dan curiga di masa depan,” kata Maia meyakinkan.
Dengan ini walaupun lidahnya masih kelu, Viona mencoba. “Mm baik, I-Ibu ….”
Maia tertawa kecil dan menangkup wajah Viona. Teringat bagaimana gadis itu telah menolongnya dan sang suami, saat kecelakaan. Maia pun membawa Viona dalam pelukannya dengan penuh kasih sayang.
Bertahun-tahun lalu -- Putriku harusnya sebesar ini, batin Maia.
“Ibu Ma- eh, Ibu, apa ini?”
“Ambil kartu ini dan belanjakan, gunakan juga untuk mentraktir teman-temanmu sayang.”
Viona menatap kartu di tangannya dengan sedikit gemetar. Matanya membulat sempurna dengan mulut membentuk huruf O besar. Benar-benar bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.
•
•
Hari berganti, keesokan paginya di sekolah Viona datang dengan keceriaan yang berkali lipat dari biasanya. Beberapa barang baru dan mahal sedang dipakainya sekarang, setidaknya itulah yang dipindai mata Estella saat ini.
Cih, dia benar-benar menikmati kehidupan orang kaya rupanya. Estella sedikit terkekeh memikirkan hal ini. Estella bukan orang yang rendah hati, jadi dia mengenali jika orang lain berperilaku sama dengannya, seperti Viona sekarang.
“Hai Estella,” Viona menyapa.
Estella yang biasanya dingin, kali ini bersikap baik dengan menyapa balik.
“Hai Viona. Bagaimana kabarmu?”
Viona sedikit terkejut dengan tanggapan ini. Was-was berpikir apakah Estella bersikap baik, karena mengira dia adalah orang kaya juga? Sama seperti yang lain.
“Eh aku, … baik sekali.”
“Ya, aku bisa melihatnya. Setidaknya dari tas dan jaket barumu.”
BLUSH. Viona merona malu hanya dengan mendengar itu, padahal jelas tidak ada unsur pujian disana.
“Ah kau ini bisa saja.”
Kedua mereka masih dalam percakapan kecil, ketika tiba-tiba sosok Remi muncul. Viona secara alami menyapa dan mendatangi Remi. Tapi begitu, mata Remi sedang tertuju pada Estella.
Lagi-lagi jarak di antara mereka semakin terasa dibuat, manakala pagi ini Estella berangkat bersama Sean alih-alih dengannya. Sebenarnya Remi bisa saja mendatangi Estella lebih awal tadi pagi, tapi perbincangan mereka terakhir kali sedikit memberatkannya. Yang sebenarnya, Remi bahkan tidak tahu di mana bagian yang memberatkannya.
Jadi kali ini tidak ingin lebih runyam, dia memilih untuk langsung mengajak Estella berbicara seperti tidak ada apa-apa sebelumnya. Remi juga memilih menghindar membicarakan Sean, karena ini akan membuatnya sedikit tidak terkontrol.
“Este, maaf tadi pagi aku sedikit terlambat bangun.”
Estella yang mendengar ini sedikit gemetar hatinya. Walaupun dia melihat hampir tidak ada harapan diantara mereka, namun jika Remi berusaha sekecil ini saja untuk berbicara padanya, Estella merasa dia akan jatuh semakin dalam pada sahabatnya itu.
Juga dihadapan dengan saingan cintanya, tidak mungkin Estella memperlakukan Remi dengan dingin.
“Tidak apa-apa. Aku sedikit terburu-buru tadi jadi diantar Sean.”
Remi mengangguk dengan canggung tapi sedikit kesal, karena Estella harus membawa nama Sean. Tapi begitu, kini dia yang tidak tahu harus menanggapi apa. Sementara Viona, dia bisa merasakan kecanggungan diantara dua orang itu tapi masih tidak memiliki petunjuk apapun.
Pemikiran ini sedikit menggerogoti kecil hatinya, membuat Viona menyadari, dia mungkin telah menyukai Remi lebih dalam dari yang dikira.
“Remi apa kau bisa menemaniku?” tanya Viona.
Remi mengernyit mendengar permintaan yang tiba-tiba ini. Walaupun canggung dan tidak bicara apapun, dia hanya ingin dekat Estella saja saat ini. Dia tidak ingin pergi jauh dari Estella.
“Menemani untuk apa?”
“Tolong temani aku untuk pergi ke ruang wali kelas, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Ini berurusan dengan administrasi.”
Remi mengangguk perlahan. “Oh administrasi. Ketua?”
Ketua kelas pun langsung menengok kepada Remi.
“Ada apa?”
“Tolong antar Viona keruang wali—”
“REMMMIII … eh tidak, tidak tidak jadi.” Viona sangat terkejut, sampai tidak sadar sudah berteriak tadi. Dia benar-benar tidak menyangka akan reaksi Remi.
Remi yang idenya di tolak, mempertanyakan hal ini pada Viona. “Ada apa? bukankah kau—”
“Rem, aku meminta tolong padamu tapi masa kau menyuruh orang lain.”
Remi menyandarkan punggungnya ke kursi, dengan tangan yang masih di saku celana, sebelum menggeleng.
“Tidak Viona, aku justru sedang menolongmu. Hal seperti administrasi harus dibantu oleh seseorang seperti ketua kelas.”
“Benar Viona.”
Estella juga tidak melewatkan kesempatan untuk mengantar Viona pada sedikit kepanikan. Dia tahu, Viona hanya ingin berdua keluar dengan Remi.
Tapi seperti kata Victoria, bahkan jika dia tidak bisa memiliki Remi, dia tidak rela jika Viona yang memilikinya.
Sementara pada akhirnya, Viona tidak bisa mencuri kesempatan berduaan dengan Remi. Tapi begitu dia masih tidak menyerah. Pada waktu istirahat, dia mengajak seisi kelas untuk di traktir di kantin secara bebas. Berharap dengan ini, penilaian teman-temannya akan semakin bagus begitu pula dengan Remi.
“Wow Viona, kau benar-benar kaya rupanya,” puji Estella, yang palsu tentu saja.
Tapi Viona yang sedang diliputi kesenangan, tidak bisa melihat hal itu. “Kau berlebihan Estella. Ini bukan apa-apa bagiku.”
Estella hampir muntah dengan kerendahan hati pura-pura ini. Dia penuh serapah di dalam hati sebelum berujar. “Baiklah. Persiapkan dirimu. Aku takut kau terkuras.”
Viona yang tidak mengerti arti sebenarnya dari kata-kata Estella, mengira berbicara tentang uang. “Jangan khawatirkan aku. Uang bukanlah masalah.”
Gotcha....