Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Gara-gara Suami
Aylin membuka pintu lemari dengan kasar, menggerutu sejak terbangun tadi. Tangannya langsung meraih seragam sekolahnya yang sudah disiapkan. Namun, begitu ia mengangkat rok dari gantungannya, matanya langsung membelalak.
“Apa-apaan ini?! Kok panjang banget?!”
Ia memeriksa ulang, memastikan kalau ini benar-benar rok sekolahnya. Tapi setelah menimbang-nimbang, ia yakin ini bukan roknya yang biasa. Rok itu terlalu panjang! Hampir menyentuh betisnya.
Aylin mendengus keras. “Jangan-jangan ini kerjaannya Akay! Dia pikir aku anak pesantren apa?! Ini sekolah, bukan pondok!”
Dengan kesal, ia membolak-balik rok itu, berharap ada yang bisa diakali. Tapi tidak ada. Ukurannya sudah pas di pinggang, hanya saja panjangnya yang berlebihan.
Aylin menggeram, menatap lemari dengan tatapan membunuh seolah benda mati itu bisa disalahkan. “Sialan! Kenapa aku nggak ngecek dari semalam sih?!”
Ia merutuki dirinya sendiri, sementara pikirannya mulai memikirkan cara bagaimana menghadapi hari ini dengan rok super panjang tanpa terlihat seperti anak hilang. Atau… bagaimana caranya membalas Akay yang pasti sengaja melakukan ini untuk mengerjainya.
Saat ia keluar dari kamar, Akay sudah duduk di meja makan, menyantap sarapannya dengan tenang. Ia melirik sekilas ke arah Aylin yang berjalan menghampirinya, ekspresinya langsung berubah saat melihat raut tak puas di wajah istrinya.
"Kenapa mukamu begitu?" tanya Akay sebelum menyeruput kopinya.
"Kenapa roknya panjang sekali?" Aylin menduduki kursinya dengan kasar, lalu melipat kakinya naik ke atas kursi. "Aku nggak suka."
Akay menghela napas, meletakkan sendoknya. "Karena kau bukan anak bandel yang harus memamerkan paha ke seluruh dunia."
Aylin mendelik. "Ini sekolah, bukan pasar malam! Lagipula, setidaknya rok harus selutut. Kenapa kau pilih yang sepanjang ini? Aku jadi kayak anak baik-baik!"
Akay menatapnya datar. "Memangnya kau bukan?"
Aylin mendecakkan lidah, lalu mulai makan. Tapi dengan sengaja menegakkan lututnya di kursi, duduk dengan santai seperti di warung kopi.
"Turunkan kakimu!" tegur Akay.
Aylin tetap cuek, menyuap makanannya seolah tak mendengar.
"Aylin." Nada suara Akay lebih tegas.
"Aku nggak suka rok panjang," balas Aylin tanpa menurunkan kakinya.
"Aku juga nggak suka istriku duduk seperti preman saat makan," ujar Akay santai, tapi tatapannya tegas. "Kita sudah sepakat, kamu bakal nurut. Kalau nggak... kamu masih ingat konsekuensinya, 'kan?"
Aylin memutar bola mata, tapi tetap menurunkan kakinya. "Kenapa sih kau sok mengatur?"
Akay terkekeh pelan, menyantap makanannya lagi dengan tenang. "Karena aku suamimu."
Aylin mendengus kesal, tapi entah kenapa, dadanya terasa sedikit hangat.
***
Aylin keluar dari taksi dengan wajah masam. Ia masih kesal dengan Akay yang seenaknya memilihkan rok sekolah super panjang. Tapi yang lebih menyebalkan, begitu turun dari mobil, ia langsung disambut tatapan aneh dari teman-temannya.
Begitu kakinya menginjak halaman sekolah, suara tawa langsung terdengar dari arah gerbang.
“Buset! Rok lo kenapa jadi panjang banget, Lin?” Rena yang pertama kali bersuara, menatap Aylin dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan ekspresi terkejut.
Sinta yang berdiri di sebelahnya langsung memicingkan mata curiga. “Lo yakin masih sekolah di sini, Lin? Jangan-jangan lo salah masuk madrasah.”
Aylin mendengus kesal. “Kampret lo pada!” Ia menjewer lengan Sinta, tapi gadis itu malah makin ngakak.
“Serius, ini siapa yang nyuruh lo pake beginian?" tanya Linda menahan tawa.
Rena tiba-tiba menepuk dahinya sendiri. "Jangan-jangan ini gara-gara si 'calon suami' yang lo omongin semalam?!”
Mata Aylin membulat. Baru ia ingat, tadi malam ia membalas chat teman-temannya dengan kalimat singkat, “Dia calon suami gue.” Setelah itu, ia sudah terlalu malas untuk melihat balasan mereka.
Aylin mengembuskan napas keras. “Siapa lagi? Orang ngeselin itu tuh! Ngatur banget, padahal gue yang sekolah, tapi dia yang milihin baju!”
Linda tertawa semakin keras. “Astaga! Ratu jalanan yang suka tawuran mendadak alim karena calon suami.”
Sinta menepuk bahu Aylin dengan ekspresi iba tapi jail. “Sabar, Lin. Mungkin dia cuma nggak mau calon istrinya jadi pusat perhatian.”
Aylin melipat tangan di dada dengan wajah semakin kesal. “Gue bukan pusat perhatian! Lagian, harusnya gue yang protes karena semua mata ngeliatin gue gara-gara ini.”
Ketiga temannya makin ngakak, sementara Aylin hanya bisa merutuki nasibnya yang harus punya suami se-posesif itu.
Sinta melipat tangan di dada. “Eh, Lin, lo beneran punya calon suami? Kok tiba-tiba?”
Linda mengangguk dengan ekspresi penuh selidik. “Dan kenapa dia bisa ngatur lo gini?”
Aylin mendecak kesal. “Udah, deh, nggak usah dibahas! Kesel gue!"
Sinta terkikik. “Gue cuma pengen tahu, nih ‘calon suami’ lo beneran ada atau lo lagi ngibul?”
Aylin terdiam sejenak. Jika ia membantah terlalu keras, teman-temannya pasti makin curiga. Ia akhirnya menghela napas, mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Terserah lo mau percaya atau nggak.”
Linda menggeleng dramatis. “Gue makin curiga, jangan-jangan ini cuma taktik lo biar kita berhenti kepoin cowok misterius semalam?”
Rena menyenggol Aylin dengan sikunya, menyeringai jail. "Kalau emang beneran calon suami lo, kenalin dong secara resmi ke kita-kita."
"Setuju!" Linda langsung menimpali. "Lo belum pernah pacaran, tapi tiba-tiba punya calon suami? Harus banget kita liat orangnya dari dekat!"
"Iya, nih! Dari kemarin lihat dari jauh doang." Sinta menambahkan dengan tatapan penuh harapan. "Siapa tahu dia punya temen yang sekeren dia dan tertarik sama kita."
Aylin hanya bisa menghela napas panjang. Hari ini benar-benar terasa lebih menyebalkan dari biasanya!
***
Setelah bel sekolah berbunyi, Aylin langsung naik taksi dan menyebutkan alamat apartemen tanpa berpikir panjang. Begitu sampai di depan pintu, baru kesadaran itu menghantamnya.
Kenapa dia malah pulang ke sini?
Aylin menghela napas kasar, mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Sial, kenapa aku refleks balik ke sini?" gerutunya. Ia merasa seperti terhipnotis oleh Akay, atau mungkin… tanpa ia sadari, hatinya sudah dicuri pria itu? Karena entah bagaimana, kakinya selalu membawanya kembali ke tempat di mana Akay berada.
Setiap hari melihat pria itu bertelanjang dada, malah diam-diam mengaguminya. Setiap malam bertekad menjaga jarak, tapi tetap saja bangun dengan posisi memeluknya. Setiap kali berniat membantah, tanpa sadar tetap mengikuti kata-katanya.
"Aku kayak anak ayam yang ngikutin induknya," Aylin mengomel sendiri, menendang udara seolah bisa menendang ketergantungannya pada Akay.
Tidak bisa terus begini! Ia harus menemukan cara agar bisa lepas dari kendali pria itu dan kembali menjadi Aylin yang bebas.
Saat Aylin sedang bersantai di sofa, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Akay muncul di layar.
"Aku pulang agak larut. Tak usah menunggu."
Aylin mendengus, mengetik balasan dengan cepat.
"Siapa juga yang nungguin situ? GeEr!"
Tak lama, sebuah tanda centang dua berubah biru. Akay sudah membaca pesannya.
Di tempat lain, Akay yang baru saja keluar dari ruang rapat melirik layarnya dan tersenyum tipis. Gadis itu selalu punya cara menyembunyikan perasaannya. Ia bisa membayangkan Aylin mengetik dengan ekspresi kesal, mungkin sambil merutuki dirinya sendiri.
"Jangan tidur terlalu malam."
Pesan singkat itu ia kirimkan sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku, meninggalkan Aylin yang kini hanya bisa memelototi layar dengan ekspresi sebal.
***
Malam telah larut. Akay membuka pintu apartemen dengan hati-hati. Hari ini melelahkan, dan yang ada di pikirannya hanya mandi, lalu tidur. Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok Aylin yang tertidur di sofa dengan posisi tidak karuan. Tidur miring dengan sebelah kaki di sofa dan sebelahnya lagi di meja.
Ponselnya masih menyala, tergeletak di sampingnya, sementara jempol Aylin masih menempel di layar. Akay menghela napas, berjalan mendekat, dan mengambil ponsel itu sebelum baterainya habis.
Matanya tanpa sengaja menangkap isi grup chat Aylin.
Rena: Lo udah punya calon suami, mending Jordi buat gue aja, Lin.
Linda: Jordi kayaknya naksir sama Aylin.
Sinta: Gue denger dia anak orang tajir.
Rena: Dia kepoin lo, Lin. Katanya pengen balapan ulang sama lo.
Mata Akay menyipit. Jordi? Si brengsek yang sempat balapan dengan Aylin itu?
Rahangnya mengeras saat membaca chat-chat itu. Anak itu tidak hanya ingin balapan ulang, tapi juga terang-terangan tertarik pada Aylin.
...🌟...
..."Rasa memiliki adalah benih cinta, namun cemburu adalah hantu yang mengintai di baliknya."...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ada ketidak sukaan yang Akay rasakan..secara terang²an si Jordi suka sm Aylin