Apa yang kamu lakukan jika kamu tahu bahwa kau sebenarnya hanya seonggok pena yang ditulis oleh seorang creator, apa yang kau lakukan jika duniamu hanya sebuah kertas dan pena.
inilah kisah Lu San seorang makhluk tertinggi yang menyadari bahwa dia hanyalah sebuah pena yang dikendalikan oleh sang creator.
Dari perjalananya yang awalnya karena bosan karena sendirian hingga dia bisa menembus domain reality bahkan true reality.
seseorang yang mendambakan kebebasan dan kekuatan, tapi apakah Lu San bisa mendapatkan kebebasan dan mencapai true reality yang bahkan sang creator sendiri tidak dapat menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 – Penulis dari Dunia Tak Bernama
Seribu Tahun Kedamaian yang Palsu
Seribu tahun telah berlalu sejak Lu San menjadi dunia itu sendiri.
Ling Yue hidup sebagai Penulis Pertama, membangun dunia yang bebas dari belenggu.
Kota-kota tumbuh, peradaban maju, dan tak ada batasan bagi siapa pun untuk menulis takdir mereka sendiri.
Namun, kedamaian itu adalah tipuan.
Di balik segala kebebasan itu, bayangan emas masih mengintai.
Para Editor menunggu, mencari celah, mengintip di sudut-sudut realitas.
Dan hari itu tiba.
Langit Berguncang
Suatu pagi, langit di atas Pohon Lu San—pohon tempat para Penulis menyimpan cerita mereka—retak.
Celah-celah gelap terbuka, seolah-olah halaman dunia itu sendiri sedang disobek oleh tangan tak kasat mata.
Ling Yue yang sedang menulis cerita di bawah pohon itu langsung berdiri.
Matanya menatap tajam ke langit.
“Sudah waktunya...”
Namun, yang muncul dari celah itu bukan tangan emas.
Melainkan pena hitam, panjang dan mengkilap, dengan aura kematian yang pekat.
Pena itu melayang perlahan, menusuk ke tanah di hadapan Ling Yue.
Begitu menyentuh tanah, pena itu berubah menjadi manusia.
Seorang pria berjubah kelabu, wajahnya seperti topeng porselen tanpa ekspresi.
Di dadanya, ada simbol berbentuk lingkaran tak sempurna—seolah gambar dunia yang belum selesai digambar.
Sang Penulis Tak Bernama
“Aku mencium bau pena kosong,” suara pria itu berat, seperti dua dunia bertabrakan.
Ling Yue menatap tajam.
“Siapa kau?”
“Aku? Hanya Penulis dari Dunia Tak Bernama,” jawabnya datar.
Dia melangkah maju, setiap jejak langkahnya membuat tanah di sekitarnya menghitam.
Ling Yue merasa tekanan kuat menusuk jiwanya.
“Apa maumu?”
Pria itu mendongak menatap langit.
“Mengambil kembali halaman yang bukan milikmu.”
Konflik Dimulai
Ling Yue mengangkat Pena Kosong milik Lu San, yang kini menjadi warisan sakral dunia ini.
“Dunia ini bebas. Tidak ada yang memiliki halaman ini kecuali mereka yang menulis dengan kebebasan.”
Penulis Tak Bernama tertawa pelan, namun suaranya seperti pisau yang mengiris kertas.
“Bebas? Tidak ada kebebasan. Hanya halaman yang belum diperiksa.”
Tiba-tiba, pena kelamnya menciptakan garis di udara, dan realita di sekitarnya hancur.
Bangunan-bangunan di sekitar Pohon Lu San terhapus, seolah tak pernah ada.
Orang-orang berteriak, tapi suara mereka padam dalam sekejap, menjadi diam mutlak.
Ling Yue berlari ke depan, menulis di udara dengan cepat:
“Warga kembali dan terlindungi!”
Tulisan itu menjadi cahaya putih, membentuk perisai besar yang menutupi kota.
Namun, Penulis Tak Bernama hanya mengayunkan tangannya lagi.
Perisai itu retak.
Tinta hitam dari penanya menyerap kalimat itu, mencemari makna yang sudah ditulis Ling Yue.
Pertarungan Dua Pena
Ling Yue sadar, ini bukan pertarungan kekuatan fisik.
Ini adalah pertempuran narasi.
Siapa pun yang bisa menulis lebih cepat, lebih kuat, dan lebih dalam akan mengontrol kenyataan.
Dia berlari, menulis di tanah, di udara, di tubuhnya sendiri.
“Realita ini menolak tinta hitam.”
Namun, pria itu membalas:
“Tinta hitam adalah awal dari segalanya.”
Pertarungan kata-kata mereka memecah langit, meruntuhkan gunung, dan membelah laut.
Mereka bukan sekadar menulis takdir, tapi memaksakan makna baru pada dunia yang mereka injak.
Ling Yue berkeringat, tangannya mulai gemetar.
Pena Kosong di tangannya bergetar keras, seperti menolak perintahnya.
“Kenapa sekarang?” bisiknya.
Pria berjubah kelabu itu tersenyum samar.
“Karena Pena Kosong itu bukan milikmu. Kau hanya pewaris. Pena itu... milik Lu San.”
Lu San Masih Hidup?
Ling Yue terdiam.
Dunia ini adalah Lu San.
Tapi pria ini bicara seolah Lu San masih ada sebagai sesuatu yang lain.
“Kau tahu sesuatu...” desis Ling Yue.
Penulis Tak Bernama mengangguk.
“Lu San tidak mati. Dia hanya... tertidur.”
Ling Yue mengepalkan tangan.
Dia mulai menulis sesuatu yang tidak pernah ia tulis sebelumnya.
“Lu San terbangun.”
Panggilan ke Dunia Bawah Sadar
Tinta putih dari Pena Kosong menyebar di tanah.
Getaran terasa di seluruh dunia.
Pohon Lu San menggigil, daunnya berjatuhan, namun dari batang pohon itu, cahaya mulai menyala.
Penulis Tak Bernama menyipitkan mata.
“Berani sekali kau membangunkannya.”
Ling Yue tidak peduli.
Dia terus menulis:
“Lu San mengingat dirinya.”
“Lu San kembali sebagai dirinya sendiri.”
Tanah di bawah mereka mulai terbelah.
Cahaya hitam dan putih bertabrakan di udara, menciptakan suara yang tak bisa didengar, namun terasa sampai ke tulang.
Dari dalam tanah, sebuah tangan muncul.
Tangan putih bersih, familiar.
Lalu, suara itu terdengar:
“Aku tertidur cukup lama...”
Lu San muncul perlahan dari tanah, seperti manusia biasa.
Namun, di matanya, ada bintang tak terbatas.
Lu San Kembali
Ling Yue tertegun.
Dia hampir tidak percaya bahwa pria di hadapannya adalah Lu San yang sama.
Namun, saat Lu San menoleh dan tersenyum padanya, dia tahu.
“Sudah kubilang aku bosan sendirian,” kata Lu San pelan.
Penulis Tak Bernama mengangkat penanya.
Namun, Lu San hanya mengangkat satu jari.
Jentikan.
Pena hitam itu hancur sebelum menyentuh tanah.
Pria berjubah kelabu itu mundur beberapa langkah, wajah tanpa ekspresinya retak.
“Kau... tidak seharusnya bangkit!” teriaknya.
Lu San mengangkat Pena Kosong yang baru terbentuk dari telapak tangannya.
“Aku adalah dunia ini. Aku adalah halaman yang kalian coba tulis ulang.
Sekarang giliran aku menulis cerita kalian.”
Dia menulis cepat di udara:
“Penulis Tak Bernama, pulang ke dunia asalnya dan dikunci di sana.”
Pria berjubah kelabu itu menjerit, tubuhnya berubah menjadi huruf-huruf abu-abu, lalu diserap ke dalam celah yang tiba-tiba menutup rapat.
Ling Yue berdiri terpaku.
“Lu San... kau...”
Lu San tersenyum tipis.
“Aku... baru mulai menulis ceritaku sendiri.”
Ancaman yang Lebih Besar
Namun, langit tidak cerah kembali.
Dari jauh, awan emas bergulung.
Para Editor sudah mengetahui kebangkitan Lu San.
Ling Yue menggenggam erat Pena Kosong miliknya.
“Kita gak punya waktu buat senang-senang.”
Lu San mengangguk.
“Benar. Kita mulai babak baru.”
Mereka menatap langit yang mulai bersinar emas.
Perang Dunia Realita baru saja dimulai.
...........
Bersambung.,