Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Membenci Diri Sendiri (b)
Besoknya, Meta pergi ke sekolah dengan perasaan lega. Sebab semalam tidak terjadi keributan apa-apa saat Beni pulang. Beruntung lelaki itu langsung tidur dan tidak membentak atau memukul Risa. Atau bahkan menarik paksanya keluar dari kamar, meminta ini-itu dan menyalahkan semua tindakannya.
Jujur Meta lelah menghadapi Beni, ia pernah berpikir ingin melarikan diri, tapi niat itu urung karena Risa. Jadilah sampai sekarang ia bertahan, tidak bisa kemana-mana selagi Risa terjebak dalam dunia yang Beni ciptakan.
Ngomong-ngomong Meta datang sangat pagi untuk menghindari tatapan menghina teman-teman sekolahnya, tapi usahanya itu seperti tidak berhasil. Lantaran teman sekelasnya lebih terang-terangan menatapnya, menyudutkannya di antara siswa yang lain.
"Males banget gue ke sekolah," gumam Meta kecil, memutar malas bola matanya.
Ingatannya tentang komentar-komentar semalam melayang jauh, bertabrakan dengan kuat sampai membuat kepalanya memanas. Hingga tepukan di bahunya menyadarkan Meta, ia terkejut melihat ketiga sahabatnya tersenyum padanya.
"Hai, Ta!" Itu Wulan, gadis penakut dan manja. Menyengir gembira melihat kehadirannya di kelas ini. "Lo kenapa?"
Meta tersenyum canggung, melihat ketiga sahabatnya bergantian. Renata dan Kayla sudah curiga bahwa terjadi sesuatu, karena sikap Meta tidak terlihat seperti biasanya.
"Ada masalah, Ta? Mereka ganggu lo?" Kali ini giliran Kayla yang maju, duduk tanpa beban di bangku Aksel yang kosong.
Meta menggeleng, sungguh tidak ingin kepikiran lagi perihal cocokologi siswa yang kenyataannya memang benar. "Gue nggak apa-apa. Kalian yang aneh!" ujarnya.
"Jangan bohong, Ta! Gue liat, kok, pas masuk kelas anak-anak pada ngeliatin lo."
Kayla memasang wajah kesal, menolehkan kepalanya dan menatap seluruh siswa yang ada di kelas. Yang kebanyakan dari tim inti Destroyer, membuat cowok-cowok itu geleng kepala melihat tingkah ganas Kayla. Terutama Nauval, yang langsung menyunggingkan senyum seolah meremehkan.
"Kurang ajar itu orang!" geram Kayla.
"Siapa, Kay?" tanya Wulan penasaran, diikuti oleh tatapan ingin tahu Renata. "Makanya jangan digalakin, udah tau tim inti Destroyer kriminal semua."
"Ta, jangan dipikirin, ya. Mereka mungkin khawatir sama lo." Permintaan lembut Renata mendapat anggukan lesu dari Meta. "Maaf, ya, kami bertiga nggak bisa menghentikan rumor yang menyebar di sekolah."
"Lo udah tau, ya, soal rumor dan komentar nggak ngotak mereka?" Kayla bertanya serius.
Meta mengangguk lemah, ia ingin pergi dari tempat ini, rasanya sangat menyesakkan.
"Nggak ada yang perlu minta maaf, nggak ada yang salah. Gue cuma nggak suka tatapan mereka ke gue sekarang. Dan gue benci sama diri gue sendiri."
"Benci apanya, Ta!" bentak Kayla. "Lo harus bangga bisa berjuang sejauh ini, bahkan bisa membanggakan sekolah, jangan benci diri lo, Ta."
Wulan dan Renata pun mengangguk serempak, kini Meta yang mereka kenal telah berubah. "Jangan ikutin kemauan mereka untuk menjatuhkan lo, Ta. Gue nggak mau lo ditertawakan dan diinjak-injak sama mereka," papar Wulan dengan mata berkaca-kaca, ia pernah berada di posisi ini. Waktu dirinya dicap sebagai anak seorang narapidana.
Renata tidak bisa menahan sedih, tapi ada hal yang ingin ia tanyakan. "Gue boleh nanya sama lo, Ta?"
"Apa? Kenapa lo semua mendadak serius gini? Gue nggak apa-apa kali. Bencinya mungkin nggak akan lama."
"Rumor itu bener, kan? Sampai bikin lo sesakit ini?"