"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 4
Dasar orang kejam.
Setidaknya pria itu harus bertanggung jawab karena sudah menabraknya, meskipun itu kesalahan Ariella sendiri yang menyeberang tanpa melihat lebih dulu.
Para penagih hutang itu mendekati mobil mereka, dan mereka langsung mundur ketika Carlton menurunkan kaca mobil sampai wajahnya terlihat.
"Sial!"
Mereka anehnya langsung pergi.
"Mereka sudah pergi.'
Mobil melaju melewati jalan utama, lalu Carlton melihat para penagih hutang itu menghampiri sebuah mobil. Seorang pria keluar, berbicara dengan mereka sambil menghisap rokok.
Saat mobil melewati mereka, si pria yang merokok itu menatap ke arah mobil dan Carlton mengenali wajahnya.
"Ibumu berhutang dengan orang-orang Tora?
Hebat sekali."
"Aku tidak tahu ibuku berurusan dengan siapa. Tahu-tahu saja mereka datang padaku."
"Apakah mereka pernah melukaimu?"
Apa yang bisa Ariella jelaskan?
Tulang tangannya pernah retak gara-gara mereka menganiayanya, dan semakin hari hutang ibunya semakin besar karena bunga itu terus bertambah, sementara Ariella hanya pekerja paruh waktu. Ia tidak punya masa depan, tidak punya keluarga, tidak punya tempat berlindung selain dengan Maria.
"Mereka pernah datang, satu kali dan itu sangat buruk. Mereka menyita satu-satunya mobil yang aku miliki, mobil peninggalan nenek yang biasa digunakan untuk beraktivitas."
"Kemana ibumu sekarang?"
"Aku tidak tahu, mungkin saja dia sudah mati."
Kebencian di mata Ariella membuat Carlton merasa tidak asing. Mereka sama-sama membenci ibu mereka.
"Kau gadis yang lumayan menarik."
Ariella meringkuk lebih rendah.
Ketakutannya terlihat dengan jelas.
"Tuan? Kita sudah sampai."
Mobil berhenti, Carlton tidak segera memerintahkan Ariella keluar, ia justru berkata pada si sopir, "Lanjutkan saja, orang-orang Tora tahu gadis ini bersamaku. Kalau dia sampai terbunuh atau tertangkap, aku tidak suka mereka berpikir aku gagal memberi perlindungan."
Carlton menatap Ariella dengan sinis. "Kau sungguh beruntung, Nona."
Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil berbelok ke jalan yang lebih aman, akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan besar.
"Turun," kata Carlton singkat.
Ariella memandang ke luar jendela. Bangunan itu terlihat seperti hotel mewah, atau semacam mungkin kawan apartemen elit. Tunggu, memangnya berapa banyak apartemen yang pria itu miliki? Seingat Ariella, apartemen yang ia bersihkan kemarin itu berada di lokasi berbeda.
Oh, ayolah!
Pria ini jelas bukan orang miskin, dan dia bahkan punya sopir.
Punya beberapa apartemen pasti hal yang biasa dimiliki seseorang dengan uang banyak.
"Ini di mana?" tanyanya curiga.
"Tempat yang aman," Carlton menjawab dingin. "Kau bisa istirahat di sini. Mereka tidak akan mencarimu di tempat ini."
"Aku tidak bisa begitu saja mempercayaimu," Ariella menolak, tubuhnya tegang.
Carlton menoleh, matanya yang tajam menatap langsung ke mata Ariella.
"Dengar, aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Kalau kau ingin kembali ke jalanan dan dikejar lagi, silakan. Kalau kau punya otak dan sedikit lebih cerdas, kau akan masuk dan menghindari masalah."
Ariella merasa marah, tetapi ia tahu Carlton benar. Selama beberapa saat gadis itu terpana, wajahnya merah padam, tetapi semua protesnya segera tenggelam.
Pria ini memang jahat, tapi dia sudah menolong Ariella.
Setidaknya ia harus berterima kasih, bukan?
Hanya saja, Ariella terlalu waspada. Ia hidup di kota itu bagaikan buronan, mendapat bantuan dari seseorang selain Maria rasanya aneh sekali. Apalagi dari pria yang sempat didapati Ariella bercinta dengan seorang wanita, bercinta sangat kasar dan bahkan mengejek Ariella dengan menawarkannya permainan di sofa.
Dengan enggan, ia membuka pintu dan keluar dari mobil. Carlton berjalan lebih dulu, dan Ariella mengikutinya masuk ke dalam gedung.
Interior bangunan itu benar-benar mewah.
Lampu gantung kristal menggantung di langit-langit tinggi, sementara lantai marmer mengilap memantulkan bayangan mereka. Carlton berbicara singkat dengan resepsionis sebelum menyerahkan sebuah kunci kepada Ariella.
"Kamar 2103," katanya. "Istirahatlah. Aku akan memastikan tidak ada yang mengganggumu."
Ariella memandang kunci itu, lalu kembali menatap Carlton.
"Kenapa kau membantuku?"
Pria itu mengangkat bahu.
"Karena kau konyol dan menyedihkan."
Jawabannya membuat Ariella mendengus
kesal.
"Kau benar-benar menyebalkan."
"Tapi kau tetap menerima bantuanku," Carlton membalas dengan nada tenang, tetapi senyum kecil di sudut bibirnya membuat Ariella semakin jengkel.
"Bisakah aku... tahu namamu?"
Alis tebal Carlton terangkat.
"Apakah itu penting?"
"Ya, karena aku mesti menghubungi bosku dan memberitahukan padanya bahwa aku bersamamu."
"Kau lebih dulu."
"Aku Ariella Rosewood."
Pria itu menatap bibir Ariella penuh arti, lalu berkata, "Ariella...."
Mendengar namanya disebut seperti itu, Ariella merasakan sengatan kuat di sepanjang tulang punggungnya. Lalu, tahu-tahu saja pria itu mendekat, mulutnya tepat di telinga Ariella dan dia berbisik serak, "Carl Rutherford."
Ariella menelan ludah dengan susah payah.
Pria itu menyeringai.
"Kau bisa mencari namaku di internet, akan tahu lebih banyak."
kau
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ariella mengambil kunci itu dan masuk ke lift. Sepanjang perjalanan ke kamar, pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Siapa sebenarnya Carlton Rutherford? Dan kenapa pria kaya dan arogan seperti dia mengurungkan niat untuk membiarkan Ariella pergi? Padahal sebelumnya dia memutuskan untuk meninggalkannya di jalan.
Apakah karena rasa bersalah? Ataukah semua ada sangkut pautnya dengan anak buah Tora itu?
Sesampainya di kamar apartemen, Ariella terkesiap.
Ruangan itu lebih besar dari flat Maria, dengan jendela besar yang menghadap pemandangan kota di malam hari. Ada sofa empuk, tempat tidur king-size, dan kamar mandi mewah dengan bathtub marmer.
Sepanjang hidupnya, Ariella tidak pernah tinggal di sebuah kediaman seperti itu. Ia sering menginjakkan kaki di sana, memang, akan tetapi sebagai tukang bersih-bersih.
Sayangnya, keindahan kamar itu tidak mampu menenangkan pikirannya. Ariella duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengatur napas dan meredakan ketegangan.
Tak lama kemudian Ariella mendengar kedatangan seseorang dari bel apartemen. Ia melihat seorang wanita berpakaian rapi bersama seorang pria yang membawa tas tangan dari interkom.
"Siapa?"
"Kami diperintahkan Mr. Rutherford untuk mengirimkan pakaian dan juga memeriksa keadaan Anda, Nona. Boleh kami masuk?"
"Aku tidak apa-apa."
"Boleh kami masuk?"
"Ya, silakan."
Maka Ariella pun mempersilakan mereka masuk, benar saja. Wanita itu memberikan Ariella pakaian ganti, lengkap dengan celana dalam dan gaun tidur. Si pria yang merupakan seorang dokter panggilan, memeriksa keadaan Ariella. Gadis itu terlalu tegang dan ketakutan sampai-sampai tidak merasakan apa pun.
Terdapat lebam di beberapa bagian tubuhnya, dan itu lebam yang cukup parah.