Milan selalu punya ide gila untuk selalu menggagalkan pernikahan Arutala. semua itu karena obsesinya terhadap Arutala. bahkan Milan selalu menguntit Arutala. Milan bahkan rela bekerja sebagai personal asisten Arutala demi bisa mengawasi pria itu. Arutala tidak terlalu memperdulikan penguntitnya, sampai video panasnya dengan asisten pribadinya tersebar di pernikahannya, dan membuat pernikahannya batal, Arutala jadi penasaran dengan penguntitnya itu, ia jadi ingin lebih bermain-main dengannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tyarss_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Like a Sign
Seperti rencana awal, kini Arutala sudah berada di kediaman keluarga Triawan. Bersama dengan Davina selaku putri bungsu mereka.
Davina terus menggandeng lengan Arutala sampai menemui ayahnya. Henry Triawan menyambut kedatangan Arutala penuh suka.
"Akhirnya kau datang juga. Apa kabar Aru? Lama kita tidak berjumpa." Henry lebih dulu mengulurkan tangannya. Dan Arutala menyambut baik.
"Kabar baik paman. Maaf aku baru bisa menemui mu hari ini. Apalagi membawa kabar yang sedikit yeahh... cukup merepotkan pastinya." Kekeh Arutala.
Henry tertawa. "Hahah.. aku tidak masalah dengan hal yang satu itu. Sungguh sebuah kejutan aku akan berbesan dengan keluarga Ganapatih. Suatu kehormatan bagiku."
"Sebuah kehormatan juga untukku karena menjadi menantumu paman." Balas Arutala.
Melihat begitu hangatnya interaksi yang terjalin antara ayahnya dan Arutala membuat Davina tidak perlu mengkhawatirkan apapun.
"Ayah, apa sekretaris ayah sudah menghubungi WO yang ku minta?" tanya Davina.
"Sudah sayang. Dia sudah menunggu di ruang tengah. Segeralah kalian menemuinya. Ayah ada pertemuan. Jadi harus pergi sekarang." Setelah itu, Henry pergi meninggalkan mereka.
"Ayoo sayang.." Davina begitu ceria mengajak Arutala. Dan di angguki oleh pria itu.
Pemilik Wedding Organizer yang mereka hubungi sudah duduk dengan manis. Tersenyum melihat kedua pasangan itu.
"Halo. Maaf sudah menunggu lama." Kata Davina menyapa.
Trissa berdiri. "Ah tidak juga. Lagi pula, ini sebuah kehormatan bagi saya. Karena bisa menyiapkan pernikahan untuk kalian berdua. Sebuah kabar yang menggembirakan yang saya terima bulan ini." Jawabnya seraya tersenyum.
Mereka duduk dengan santai sembari membahas apa saja yang di harapkan oleh Davina dalam pernikahan ini. Sedangkan Arutala cukup mendengarkan saja. Dan sesekali menimpali ketika Davina bertanya tentang pendapatnya.
"Jadi, Trissa. Saya ingin ini menjadi pernikahan yang mewah meski kau harus menyiapkannya dalam waktu singkat. Apa kau sanggup?"
"Saya akan berusaha sebaik mungkin. Seperti apa yang nona Davina harapkan, saya akan berunding dengan team saya. Mungkin tiga hari lagi, kita akan bertemu lagi untuk fitting baju pernikahan."
"Okay kalau begitu-" ucapan Davina terhenti karena dering ponsel Arutala menarik perhatiannya.
Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Arutala pamit untuk menerima panggilan itu sejenak.
"Aku tidak akan lama." Ucapnya pada Davina. Davinapun memahami kesibukan Arutala.
Setelah berada sedikit jauh, Arutala menerima panggilan itu.
"Ada apa Banu?"
"Kabar buruk Kak. Mobil yang di kendarai Milan saat akan menuju ke kantormu mengalami kecalakaan."
Mendengar kabar itu, dada Arutala bergemuruh. Memejamkan matanya kemudian menghela napas berat. Sedikit penyesalan dalam dirinya. Kenapa dia membiarkan Milan pergi sendirian setelah perdebatan itu.
"Bagaimana keadaan Milan saat ini?"
"Team medis sudah membawanya ke rumah sakit. Untungnya Milan tidak terluka parah. Pengawal yang ku suruh untuk menjaganya dengan cepat bertindak menghalangi mobil yang hendak menabrak mobil Milan dengan kecepatan tinggi."
"Kali ini aku akan menganggap pengawalmu itu lalai dalam menjaga Milan. Apa kau sudah tau siapa dalang dari balik kecelakaan itu?"
"Masih dalam penyelidikan ku. Apakah ini murni kecelakaan, atau sebuah kesengajaan."
"Bagus. Aku mau penjagaan untuk Milan setelah ini di perketat. Aku tidak membayar mu murah Banu." Ujar Arutala menekan kalimat terakhirnya. Rahangnyapun mengetat karena menahan kekesalan dalam dirinya.
"Baik kak."
Setelah Banura menutup panggilan, Arutala memukul tembok di belakangnya cukup keras. Hingga membuat tangannya memerah. Ia harus segera memastikan kondisi Milan dengan kedua matanya sendiri. Melihat kondisi Milan saat ini lebih penting.
Arutala kembali menghampiri Davina, tidak untuk melanjutkan pembahasan tentang pernikahannya, melainkan untuk berpamitan.
"Davina, maaf aku harus pergi sekarang. Kau tidak masalah untuk membahasnya sendiri bukan? Apapun yang kau pilih aku akan menyukainya."
Davina berdiri melihat Arutala yang tampak terburu-buru. "Hmm.. aku tidak masalah."
Berhenti sebentar, terlihtas di pikiran Arutala tidak mungkin dia pergi begitu saja meninggalkan Davina seperti ini, pastilah wanita itu sedikit kecewa. Alhasil, Arutala mendekat dan mengecup kening Davina.
Menerima perlakuan hangat dari Arutala memberikan rasa hangat dalam hati Davina. Setelah sebelumnya sempat terlintas di benaknya jika Arutala tidak menyukainya. Namun kini sirna lantaran kecupan yang di berikan Arutala.
"Hati-hati sayang." Ujar Davina.
...\~*\~...
Milan membuka kedua matanya setelah hampir dua jam tidak sadarkan diri. Nuansa putih serta bau khas rumah sakit menyapa indra penciumannya.
Di sampingnya, Lyra menunggunya dengan wajah cemas.
"Akhirnya kau sadar juga. Apa yang kau rasakan Milan? Apa ada yang sakit di tubuhmu? Bagaimana dengan kepalamu?" tanya Lyra bertubi-tubi.
Dengan lemah Milan menggeleng.
Kedua bahu Lyra yang sedari tadi tegang kini meluruh karena rasa lega.
"Haahh.. syukurlah. Aku sangat khawatir. Saat mendengar kabar jika kau mengalami kecelakaan, rasanya jantungku seperti terjatuh dari lantai dua tujuh."
Milan menarik sudut bibirnya. Kehebohan Lyra cukup menghiburnya. Tubuhnya memang sedikit sakit akibat benturan, tapi Milan merasa itu hal wajar.
"Aku ingin memberi tau mommy dan daddy, tapi aku tidak yakin kau akan menerima itu."
"Jangan beritau mereka please." Mohon Milan dengan suara lemahnya.
"Yeah aku tau. Tapi Milan, kecelakaan yang kau alami ini, aku merasa ini bukan kecelakaan biasa. Ada orang yang sengaja untuk mencelakai dirimu. Aku merasa ini kasus yang cukup serius Milan. Apa tidak sebaiknya kita memberitau daddy?"
"Tidak." Jawab Milan dengan tegas. Dan tetap pada pendiriannya. "Jika Daddy tau, kita pasti akan di suruh kembali ke rumah. Dan sudah dapat di pastikan aku tidak bisa melihat Arutala lagi."
Lyra hanya dapat menghela napas. Sudah dia duga. "Baiklah jika itu mau mu. Tapi mulai sekarang. Kau tidak boleh pergi sendirian lagi. Harus bersama ku."
"Oke. Kalau untuk hal itu, mungkin aku bisa menyetujuinya."
"Kau beristirahatlah. Aku akan mencoba mencari tau siapa yang berniat mecelakaimu."
"Hm.. berhati-hatilah Lyly. Jangan sampai kau ikut terluka karena ku." ucap Milan dengan tulus.
Dan Lyra mengangguk sebagai jawaban.
Setelah kepergian Lyra, seorang dokter datang memberikan sebuah suntikan pada infusnya. Dokter itu mengatakan, setelah ini mungkin Milan akan merasa mengantuk, tapi itu hal yang wajar. Karena Milan membutuhkan istirahat yang cukup. Dan benar juga, Milan langsung tertidur pulas.
"Sampai berapa lama obat itu bekerja?" tanya Arutala pada Dokter Erlan. Arutala berdiri di depan pintu ruangan tempat Milan di rawat. Dan kebetulan dokter yang menangani Milan adalah temannya.
Jadi Arutala meminta sedikit bantuan untuk menyuntikkan obat kepada Milan.
Erlan menatap penuh curiga pada Arutala. "Apa yang berniat kau lakukan pada pasien ku Aru? Kau tidak berniat untuk melecehkannya kan?" tudingnya.
Arutala mendengus. "Aku bisa melecehkannya saat dia sadar! Hanya saja saat ini kondisi kami sedang sangat rumit. Lagi pula yang kau sebut pelecehan itu sebenarnya kenikmatan."
"Kau gila Aru! Obat yang ku berikan bertahan selama dua jam. Setelah itu mungkin dia akan sadar."
"Itu cukup."
"Jangan macam-macam di rumah sakit Aru! Aku peringatkan sekali lagi." Setelah itu Erlan pergi.
Arutala masuk ke ruangan Milan. Wanita itu terbaring dengan jarum infus yang menusuk punggung tangannya. Wajahnya pucat. Membuat Milan terlihat begitu lemah. Perlahan Arutala mendekat. Menyentuh pipi Milan. Mengusapnya dengan lembut.
"Bertahanlah Milan. Aku akan menemukan orang yang melukaimu itu. Tidak akan ku biarkan dia menyutuhmu sedikitpun."
Arutala ikut berbaring di sisi Milan. Memeluk wanita itu dalam tidurnya.
"Andai saja kau wanita yang mudah dan tidak berbelit seperti ini, sudah ku pastikan kau yang berjalan di altar bersama ku. Tapi mau bagaimana lagi? Pikiranmu itu tidak bisa ku tebak."
"Maafkan aku jika hari pernikahan ku nanti, akan sedikit menyakitimu." Ucap Arutala sembari mengecup sisi wajah Milan cukup lama.