Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5
Viona duduk di depan kamar Merlia, menekuk lutut dan memeluknya, membenamkan wajah di atasnya, memikirkan nasib sang anak di masa depan. Satu harapannya adalah, apa yang dia takutkan yang akan membuat Merlia semakin hancur, tak akan terjadi.
Ia mengangkat kepala, menatap piring berisi nasi bekas makan Merlia. Sungguh, ia tidak merasa lapar. Yang menimpa Merlia sudah membuatnya merasa kenyang.
"Mungkinkah Merlia mengenali pelakunya? Apakah aku harus melapor ke kantor polisi? Akankah mereka percaya padaku? Bagaimana dengan ketua?" Viona menghela napas panjang, membenturkan kepala pada dinding.
Membayangkan wajah orang-orang yang disebutnya satu per satu. Dia harus tahu terlebih dahulu siapa saja pelakunya. Baru akan mengambil tindakan perlu tidaknya melapor kepada pihak berwajib.
"IBU!"
Suara teriakan Merlia menyentak lamunan Viona, dia berdiri cepat dan membuka pintu kamar.
"Ibu, tolong Lia! Jangan!"
"Merlia!"
Di atas ranjang, Merlia mengigau. Meracau ketakutan, peluh membanjiri wajah, dahi mengernyit. Viona berlari mendekati ranjang, memeriksa dahi sang anak. Demam.
"Lia! Bangun, sayang. Ini Ibu!" Viona menggugah tubuh Merlia, membangunkannya dari mimpi buruk.
"Ibu!" Dia masih meracau dengan mata terpejam.
"Merlia, ini Ibu!" Suara Viona meninggi, air matanya jatuh melihat trauma yang dialami sang putri.
"Lia! Buka matamu, sayang!" ucap Viona lagi sembari mengusap kepalanya. Menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Merlia.
"Ibu! IBU!" Merlia tersentak bangun, ia duduk dalam keadaan menangis. Lalu, menoleh dan menatap Viona yang berlinang air mata.
"Sayang, Ibu di sini. Kau tidak perlu takut apapun!" ucap Viona membingkai wajah Merlia yang dibanjiri keringat.
Napasnya memburu, sesak merebak dalam dada.
"Ibu!" Merlia berlabuh ke dalam pelukan sang ibu, menangis sejadi-jadinya. Mimpi buruk atas kejadian yang menimpanya hari itu.
"Aku takut, Bu. Aku takut. Mereka menyiksaku, memukuliku, menyeret ku jauh, Bu. Aku takut! Aku tidak ingin tinggal di sini lagi, Bu. Aku ingin pergi!" rengek Merlia di sela-sela tangisannya yang histeris.
Viona menitikkan air mata, mengusapnya segera. Hatinya sakit mendengar segala derita yang dialami putrinya. Ia melepas pelukan, menangkup wajah Merlia.
"Jangan takut! Ibu di sini. Ibu tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi. Tenangkan dirimu, tarik napas dalam-dalam! Ibu di sini," katanya seraya kembali memeluk Merlia dan mengusap-usap punggungnya.
Dia sangat ingin bertanya tentang siapa saja yang sudah melakukan itu. Apakah Merlia mengenalnya? Perlahan-lahan tangis gadis itu mulai mereda. Mereka mengurai pelukan, Merlia tak berani mengangkat wajah di hadapan sang ibu.
Tangan kokoh nan lembut milik wanita itu mengusap air matanya yang jatuh. Viona sama terlukanya seperti Merlia.
"Minumlah, sayang. Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Jika kau ingin bercerita, ceritakan semuanya kepada Ibu," ucap Viona sembari memberikan segelas air kepada Merlia.
Ia juga memberikan sebutir obat penurun demam yang diambilnya dari laci meja di samping ranjang Merlia.
Dengan tangan gemetar, gadis itu menerima gelas tersebut dan menenggak airnya. Perlahan, tapi tandas air di gelas untuk menelan obat. Ia merasa sedikit tenang berada di dekat sang ibu. Merlia memeluk Viona, tapi tak lagi menangis histeris meski air mata terus saja mengalir. Sapuan lembut pada rambutnya, memberikan rasa aman untuk Merlia.
"Apa kau tahu siapa saja pelakunya? Mungkin kau bisa bercerita sekarang kepada Ibu, sayang?" tanya Viona setelah memastikan keadaan Merlia.
Gadis itu jauh lebih tenang meski isak tangis masih terdengar lirih. Merlia mengangkat wajah, menatap sang ibu dengan linangan air mata. Ia menggelengkan kepala karena setiap mengingat wajah pelakunya, Merlia selalu ketakutan.
"Aku takut, Bu! Aku takut," katanya yang kembali menangis dan membenamkan diri ke dalam pelukan Viona.
"Tidak apa-apa, sayang. Tidak apa-apa. Kau bisa menceritakan kepada Ibu setelah kau berani melawan rasa takutmu itu," ucap Viona sembari menepuk-nepuk lembut punggung Merlia yang berguncang.
Viona tak akan memaksa Merlia untuk bercerita. Dia akan mencari tahunya sendiri di sekolah, terutama di bagian belakang bangunan.
Setelah beberapa saat berlalu, Merlia tertidur di pelukan ibunya, satu-satunya tempat teraman di dunia ini. Pelan-pelan Viona meletakkan Merlia di atas ranjang. Memeriksa suhu tubuhnya. Ia menarik selimut dan berbaring di sana. Memeluk Merlia, memberikan ketenangan.
****
Merlia membuka mata, tersenyum bibirnya saat melihat wajah damai sang ibu yang masih terlelap. Ia merangsek, memeluk Viona lebih dekat. Lalu, terpejam kembali tak ingin berakhir.
Cahaya matahari yang menelusup masuk dari celah jendela, membangunkan Viona. Ia membuka mata, hal yang pertama dia periksa adalah keadaan Merlia yang memeluk dirinya. Demam sudah turun, keadaan Merlia pun sudah sedikit membaik.
Viona melepas pelukan anaknya, beranjak pelan turun dari ranjang. Ia pergi ke dapur, memasak air untuk membersihkan tubuh Merlia. Membuat sarapan untuk mereka berdua, sebelum menjalankan rencananya pagi itu. Dia harus kembali ke sekolah untuk mencari tahu apa yang terjadi di bangunan paling belakang di sana.
"Ibu!" panggil Merlia lemah. Dia sudah berdiri di ambang pintu yang berhadapan langsung dengan dapur.
"Duduklah, sebentar lagi sarapan akan selesai," sahut Viona yang menoleh sambil tersenyum manis.
Namun, ketika tak bertatapan dengan Merlia, wajahnya berubah dingin dan kejam. Merlia berjalan pelan, duduk di bangku dan menunggu Viona menyuguhkan sarapan.
"Ibu, apa Ibu akan pergi bekerja hari ini?" tanya Merlia saat Viona menyuguhkan sarapan ke hadapannya.
Wanita tangguh itu tersenyum, kemudian duduk berseberangan dengan anaknya.
"Bukankah kau ingin pergi dari kota ini?" Viona balik bertanya dengan lembut.
Merlia mengangguk, keadaannya tak seburuk yang dibayangkan Viona. Merlia gadis yang kuat hingga trauma yang dialami tak membuatnya terpuruk. Hal tersebut sedikit membuat hati Viona merasa lega. Ia yakin ada harapan cerah di sama depan Merlia.
"Ibu harus menyelesaikan sesuatu sebelum kita pergi. Lagi pula, kau belum pulih. Luka-luka di tubuhmu masih basah. Apa kita perlu ke rumah sakit?" ujar Viona sembari tersenyum manis meski hatinya terluka melihat lebam di wajah Merlia.
Gadis itu menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak perlu ke rumah sakit. Aku sudah memiliki dokter terhebat di dunia ini. Ibu adalah obat bagiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku seandainya bukan Ibu yang menjadi ibuku."
Terenyuh hati Viona mendengar penuturan putrinya. Terlebih senyum itu, senyum yang tak dilihatnya seharian kemarin. Pagi ini kembali bersinar, memberikan harapan pada hatinya.
"Makanlah!" katanya.
Sekuat mungkin Viona tidak menangis di hadapan Merlia. Dia tidak boleh terlihat lemah karena itu hanya akan membuat anaknya semakin tak berdaya.
****
"Ibu harus pergi. Kau pastikan semua pintu dan jendela terkunci. Ingat, jangan melakukan hal bodoh. Jangan! Ibu tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirimu," ungkap Viona mengusap pipi Merlia yang masih lebam.
Merlia mengangguk seraya memeluk ibunya. Ia menangis, tapi segera ditepisnya.
"Ibu harus berhati-hati! Ada banyak orang jahat di luar sana yang tidak menyukai kita," pesan Merlia.
Viona mengangguk seraya berbalik dan pergi. Merlia mengunci pintu, menatap kepergian sang ibu lewat jendela. Air matanya luruh, isak tangis tak dapat ia tahan saat sendirian. Viona luruh di lantai, menjambak rambutnya sendiri. Ingin dia mengakhiri hidup, tapi kata-kata Viona mengiang keras di telinganya.
"Apakah aku sanggup menjalani semua ini! Kenapa aku tidak mati saja?" keluhnya penuh sesal.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻