NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:675
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29

Suasana pinggir pantai di sore hari begitu menenangkan. Ombak yang tenang perlahan menyapu garis pantai dan membasahi pasir keemasan yang membentang sejauh mata memandang. Angin sepoi-sepoi berhembus pelan, hingga menggoyangkan dedaunan pohon kelapa yang berderai seperti menari mengikuti irama alam. Langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerahan, menandakan matahari akan segera beristirahat di ufuk barat.

Meskipun matahari masih menyinari dengan hangat, udara musim dingin tetap terasa menusuk tulang. Hawanya seolah tak tergantikan oleh sinar mentari yang mulai redup.

Di tengah ketenangan itu, seorang pria berjubah hitam terlihat sedang duduk santai di atas butiran pasir halus. Matanya menatap jauh ke arah laut untuk menikmati indahnya salah satu mahakarya alam semesta. Dia adalah Indra, pemimpin Monasphatika yang telah membawa kemenangan bagi Aliansi dalam perang Amlapura. Beberapa hari sebelumnya, ia juga berperan penting dalam penyusunan sumpah yang akan menjadi sebuah hukum baru di Pulau Bali. Segala perjuangan yang melelahkan itu membuatnya harus mengambil sedikit waktu untuk bersantai sendirian.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba, seorang pria berjubah hitam lainnya muncul untuk menemui Indra. Kakinya melangkah pelan, seolah mencoba agar tidak ada sebutir pasir pun yang memasuki sepatunya. Dia adalah Luthfi yang merupakan sahabat Indra, sekaligus salah satu panglima terkuat dalam kelompok Monasphatika.

“Yo, Indra. Menyendiri lagi, nih?” Sapa Luthfi dengan suara ramah, mencoba menarik perhatian sahabatnya.

Indra menoleh sambil menunjukkan senyuman kecil di bibirnya. “Yoi, dong. Udah lama aku nggak dapat me-time kaya gini.” Jawabnya dengan suara yang terdengar rileks.

Luthfi lalu duduk di sebelah Indra dan ikut menikmati pemandangan laut yang disinari cahaya senja. Untuk mengisi keheningan, ia berinisiatif untuk memulai percakapan. “Ngomong-ngomong, sebentar lagi kedamaian pulau ini akan berhasil kita wujudkan, ya.”

Indra menghela napas dengan mata yang tetap tertuju ke laut. “Nggak juga.” bantahnya pelan. “Hanya karena besok sumpah itu diresmikan, bukan berarti perdamaian akan datang seketika. Aryandra dan Aliansi masih harus menyebarkan sumpah itu ke seluruh penjuru Bali. Dan kabar buruknya, beberapa daerah mungkin akan menolaknya dengan cara yang kurang ramah.”

Luthfi mengangguk karena menyadari kebenaran dalam kata-kata Indra. “Kau bilang Aliansi masih harus menyebarkan sumpah itu, kan. Lalu, bagaimana dengan kita? Apa kita perlu ikut menyebarkannya juga?” Tanyanya lagi.

Indra menggeleng sambil tertawa masam. “Jelas nggak, dong. Kau tahu, kan, prajurit kita jumlahnya cuma 117 orang. Kalau terjadi penolakan yang sampai memicu perang, kita nggak bakal punya cukup kekuatan untuk melawan.” Jawabnya dengan ringan.

“Iya juga, ya.” Jawab Luthfi singkat, sambil sedikit terkekeh.

Sorot mata Luthfi kemudian teralihkan oleh dua ekor kepiting kecil yang berjalan di atas pasir. Pemandangan itu seketika mengingatkannya pada sebuah impian yang telah kandas karena bencana besar yang menimpa planet bumi.

“Kau tahu, Ndra, kalau dunia ini sudah stabil, aku ingin mewujudkan mimpiku untuk hidup bahagia bersama seorang istri dan dua anak.” Ujar Luthfi mengandung sedikit kesedihan dan harapan, sambil menggambar pola di pasir dengan jarinya.

Indra tertawa kecil karena ingatannya melayang ke masa lalu saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Waktu itu, Luthfi sering bercerita tentang impiannya yang sangat sederhana setiap kali mereka nongkrong di kafetaria kampus. “Lakuin aja sesukamu, Fi.” Kata Indra mencoba menyemangati sahabatnya.

Luthfi memandang Indra dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Selama ini, ia tak pernah mendengar sahabatnya bercerita tentang hal yang paling diinginkannya. “Lalu, apa yang ingin kau wujudkan kalau dunia sudah stabil nanti?” Tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Indra terdiam sejenak sambil menopang dagunya, seolah sedang merenung. “Aku belum bisa berpikir sejauh itu, sih. Tapi yang pasti,” ia menoleh ke arah Luthfi dengan wajah yang penuh tekad, “saat kembali ke Singaraja, aku akan mencoba jadi pemimpin yang lebih baik dan bertanggung jawab untuk kalian semua.”

...***...

Setelah mengobrol sebentar dengan Luthfi, Indra memutuskan untuk berjalan menyusuri pantai menuju tempat dimana ia memarkirkan kudanya. Kakinya melangkah dengan begitu santai, sambil sesekali berhenti untuk mengambil cangkang kerang yang indah. Suasana sore yang tenang ini berhasil membuatnya sedikit melonggarkan kewaspadaannya. Biasanya, Indra selalu berusaha untuk membuat pikirannya tetap siaga agar tidak mudah diserang oleh musuh yang datang tiba-tiba. Namun, hari ini, ia membiarkan dirinya sedikit menikmati momen yang indah ini.

Di tengah perjalanannya, pandangan mata Indra perlahan tertarik pada sosok perempuan yang berjalan dari arah berlawanan. Perempuan itu mengenakan mantel musim dingin berwarna putih yang membaur dengan pasir keemasan di sekitarnya. Dia adalah Sekar, seorang gadis cantik yang pernah ia selamatkan saat perang Amlapura beberapa waktu lalu.

“Sore hari yang indah, ya.” Sapa Indra dengan suara lembut yang cukup untuk menarik perhatian Sekar.

Sekar menoleh dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. “Iya, walaupun udaranya dingin, tapi suasananya nyaman banget.” Balasnya dengan mata berbinar saat menatap Indra.

Mereka lalu berdiri bersebelahan, sambil menatap pantulan cahaya matahari yang berkilauan di permukaan laut. Suara ombak yang tenang seolah menjadi latar musik yang sempurna untuk momen ini.

“Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menikmati sore hari yang damai seperti ini tanpa perlu merasa cemas atau khawatir sedikitpun. Semoga saja setelah kondisi dunia kembali pulih, aku bisa menikmati suasana ini setiap harinya.” Ujar Sekar dengan penuh harap.

Indra tersenyum karena merasa terhibur oleh optimisme Sekar. Tampaknya, gadis ini memiliki kecintaan yang sama seperti dirinya terhadap suasana matahari tenggelam. “Kau suka melihat sunset seperti ini, ya?” Tanyanya penasaran.

Sekar tertawa kecil. “Hahaha, nggak usah ditanya lagi. Dulu, saat pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk melepas penat di keramaian Pantai Kuta. Kadang-kadang, aku bahkan sampai ngobrol dengan turis-turis yang ada di sana.” Ceritanya dengan penuh antusias.

Indra mengangguk dengan senyuman kecil yang tetap mengembang di bibirnya. “Kalau aku justru lebih suka kesunyian. Makanya, aku selalu milih pantai-pantai sepi di sekitar kota Singaraja buat jadi tempat nyantai.” Ujarnya dengan nada yang ringan dan menenangkan.

Mereka terdiam sejenak untuk menikmati keheningan yang hanya diisi oleh suara ombak dan desiran angin. Namun, saat Indra melirik ke arah langit, ia menyadari bahwa malam akan segera tiba. “Kayanya kau harus segera kembali karena sebentar lagi akan gelap. Aditya pasti mengkhawatirkanmu kalau kau nggak pulang tepat waktu.” Ujarnya mengingatkan Sekar.

Sekar tiba-tiba tersentak, seolah baru menyadari waktu yang bergerak cepat di tengah lamunannya. “Ah, benar juga, ya. Apalagi aku nggak minta izin kepadanya sebelum pergi tadi, hehehe.” Ujarnya sambil tertawa kecil dengan wajah yang sedikit memerah.

Indra ikut tertawa bersamanya. “Kalau gitu, biar aku antar kau ke kereta kudamu.” Tawarnya dengan ramah.

Mereka pun berjalan beriringan menuju tempat parkir. Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di lokasi parkiran pantai. Kebetulan, kuda milik Indra dan kereta kuda milik Sekar terparkir bersebelahan. “Ah, jadi kendaraan kita bersebelahan, ya,” Celetuk Indra sambil menunjuk ke arah kudanya.

Sekar mengalihkan pandangannya ke kuda itu dengan mata yang berbinar penuh kekaguman. “Oh, ini punyamu? Pantas aku ngerasa familiar sama kuda ini.” Ujarnya sambil mengelus kepala kuda milik Indra dengan lembut.

Mata Sekar kemudian melirik ke arah Indra dengan senyuman nakal yang tersungging di bibirnya. “Kapan-kapan ajak aku naik dia lagi, ya?” Pintanya dengan nada yang penuh harap.

Indra terkekeh karena teringat kembali pada hari dimana ia membawa Sekar menjauh dari medan perang dengan kudanya. “Oke, kalau gitu, mau aku antar kembali ke kamp pasukan Bangli?” Tawarnya sambil tersenyum sumringah.

Mata Sekar terbelalak dengan kegirangan yang terpancar jelas dari raut wajahnya. “Beneran, nih?” Tanyanya untuk memastikan dengan penuh semangat.

“Beneran, dong.” Jawab Indra sambil menaiki kudanya dengan lincah. Ia lalu menjulurkan tangannya kepada Sekar untuk membantunya naik ke atas kuda. “Naiklah!” Ajaknya sambil tersenyum lebar.

...***...

Setelah membonceng Sekar menuju kamp Pasukan Bangli, Indra memacu kudanya kembali ke kamp miliknya. Perjalanan kali ini membawanya melewati berbagai bangunan terbengkalai yang masih berdiri kokoh, meski tampilannya sudah tidak enak dipandang. Dinding-dinding yang dulunya bersih, kini telah dipenuhi oleh noda hitam bekas kebakaran. Selain itu, terlihat juga pecahan kaca yang berserakan, pintu-pintu rusak yang menggantung di engselnya, serta kerusakan lain yang membuat pemandangan ini terasa suram.

Di tengah perjalanan, pandangan Indra tiba-tiba mengarah pada sebuah bangunan berlantai dua. Di atas rooftop-nya, terlihat dua sosok yang sedang asik mengamati langit dengan teropong. Mereka adalah Aryandra dan Alex, sepasang sahabat yang kuat dari Pasukan Badung.

“Oi, kalian ngapain di atas sana? Boleh ikutan, nggak?” Panggil Indra menggema di antara keheningan sore itu.

Aryandra menoleh ke bawah dengan senyum kecil yang muncul di wajahnya saat melihat Indra. “Oh, Indra. Kami lagi mantau langit, nih. Naik aja kalau mau gabung.” Ajaknya dengan ramah.

Indra mengikatkan tali kekang kudanya pada pagar bangunan itu, lalu naik menuju lantai dua. Meski bagian dalam bangunan itu kacau balau, rooftop-nya ternyata masih berada dalam kondisi yang tergolong bagus.

“Kalian random banget mantau langit sore-sore gini. Ada apa, emangnya?” Tanya Indra saat sudah sampai di atas.

Aryandra kemudian menunjuk ke arah selatan. “Coba kau lihat awan hitam di sana. Awan itu sepertinya adalah bibit awan hujan.” Ujarnya seperti seorang guru yang memberi penjelasan.

Indra menyipitkan matanya, seolah berusaha membedakan antara bibit awan hujan dengan awan debu sisa ledakan nuklir empat tahun silam yang masih menyelimuti langit. “Jujur, aku nggak bisa bedain antara bibit awan hujan yang kau maksud dengan awan debu sialan itu. Tapi, kalau itu beneran bibit awan hujan, aku bakal bersyukur banget sih.” Ujarnya dengan harapan kecil yang terpancar dari suaranya.

“Benar, udah lama banget sejak hujan terakhir di Bali.” Tambah Alex dengan mata yang masih tertuju ke langit.

Beberapa saat kemudian, Indra tiba-tiba teringat akan tragedi masa lalu yang membuat hatinya merasa tidak enak. Ia teringat pada sebuah kejahatan yang pernah dilakukannya terhadap wilayah Badung di masa lalu. Mereka sudah melalui banyak pertarungan bersama sampai berhasil mencapai titik ini. Karena itu lah, Indra merasa tidak etis jika terus menyembunyikan hal ini dari Aryandra.

“Aryandra, ngomong-ngomong, ada suatu hal yang ingin kuakui kepadamu.” Ujar Indra dengan suara yang serius.

Aryandra menoleh dengan mata yang penuh rasa penasaran. “Hmm? Kau membuatku penasaran saja. Apa itu?” Tanyanya sambil tetap memegang teropongnya.

Indra menarik napas dalam-dalam, lalu menatap tajam mata Aryandra. “Kau pasti ingat kalau Mall Bali Galeria, yang menjadi tempat kalian menyimpan senjata, obat, serta pakaian, itu dijarah, kan?” Tanyanya mencoba mengkonfirmasi.

Aryandra mengangguk dengan wajah yang tetap tenang. “Oh, ingat kok. Kau dan Monasphatika pelakunya, kan?”

Mata Indra seketika terbelalak. Ia tidak menyangka kalau Aryandra sudah mengetahui hal itu. “Kau sudah tahu kalau kami pelakunya?” Tanyanya dengan suara penuh keheranan.

“Tentu saja.” Jawab Alex tiba-tiba masuk ke pembicaraan. “Senjata api rakitan yang kalian pegang itu sama persis dengan yang kami pegang. Karena itu, Aryandra berkesimpulan bahwa Kelompok Monasphatika adalah penjarahnya atau setidaknya terafiliasi dengan penjarahnya.”

Indra masih terlihat keheranan. “Lalu, kenapa kalian tidak membalas kami akan hal itu?” Tanyanya penasaran.

Aryandra meletakkan teropongnya, lalu menatap Indra dengan senyuman menenangkan. “Karena aku merasa itu tidak perlu.” Ujarnya dengan tenang dan juga tegas. “Daripada balas dendam kepada kalian, aku justru lebih memilih untuk bersekutu dengan kalian. Itu akan memberi kita berdua keuntungan jangka panjang serta mencegah terjadinya pertumpahan darah lagi. Selain itu, barang-barang di MBG hanya sebagian kecil dari total persediaan kami. Makanya, aku nggak berminat untuk membalas.”

Aryandra kemudian menepuk pundak Indra dengan gestur yang santai. “Kau sendiri tahu kalau aku emang nggak suka balas dendam, apalagi sampai membunuh orang lain, kan? Rasanya, kejadian di penebel sudah bisa menjelaskan semuanya kepadamu” Tambah Aryandra sambil menyunggingkan senyuman tulus di wajahnya.

Indra terdiam sejenak karena merasa kagum dengan jawaban Aryandra. Ia terkekeh sebab Aryandra begitu mengingatkannya pada seorang sahabat lama bernama Aslan, yang juga membenci kekerasan serta suka mengampuni sesama.

“Hahaha, begitukah.” Ucap Indra sembari menggosok belakang kepalanya. “Kalau gitu, aku janji akan mengganti ruginya suatu saat nanti.” Ujarnya dengan tatapan penuh tekad.

Aryandra tertawa kecil saat mendengar ucapan Indra, lalu mengarahkan pandangannya kembali menuju bibit awan hujan yang semakin terlihat jelas di selatan. “Lakukan sesukamu saja, Ndra.” Ujarnya dengan suara yang ringan, seolah mencerminkan sifat pemaafnya.

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!