NovelToon NovelToon
My Lecture, Like My Sugar Daddy

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Status: tamat
Genre:Tamat / Dosen / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Sugar daddy
Popularitas:15.1k
Nilai: 5
Nama Author: Licia Bloom

"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."

"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.

Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.

Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.

Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berkecil Hati

Kelas Om Lino akhirnya dimulai.

Aku tentu saja gak telat hari ini. Bahkan, aku sudah ada di kelas sebelum yang lain datang. Duduk manis di bangku, menunggu mahasiswa lain memenuhi ruangan.

Seharusnya aku merasa lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang bikin hatiku sedikit gelisah.

Padahal tadi pagi aku sudah berencana bakal aktif di diskusi hari ini. Sudah siap dengan jawaban, sudah pede buat angkat tangan lebih dulu kalau ada pertanyaan. Tapi sekarang? Semangat itu tiba-tiba lenyap begitu saja.

Aku jadi kepikiran sesuatu.

Ayyara tahu kalau aku sudah dapat bocoran materi dari Om Lino. Kalau nanti aku jawab pertanyaannya dengan lancar, dia pasti mikir ini gak adil. Dia mungkin bakal menganggap Om Lino pilih kasih.

Dan kalau dia berpikir begitu ... gimana dengan mahasiswa lain?

Duh, gimana kalau mereka juga mikir sama?

Pikiran itu bikin aku resah. Om Lino dosen yang profesional, aku tahu itu. Tapi kalau ada yang mulai gosipin soal ini, nama baiknya bisa kena. Apalagi Om terkenal cukup tegas dalam menilai mahasiswa. Kalau ada yang iri dan mulai menyebarkan omongan gak enak, bisa runyam urusannya.

Aku menarik napas pelan, berusaha membuang semua pikiran itu. Tapi tetap aja, gak bisa. Aku gak bermaksud berpikir negatif tentang sahabatku sendiri. Tapi tetap aja, kan, antisipasi itu perlu.

Di depan kelas, Om Lino akhirnya mulai berbicara dengan nada tegas. “Baiklah, karena pertemuan pertama kita sudah membahas kontrak perkuliahan, maka hari ini kita akan mulai masuk ke materi.”

Aku menegakkan punggung.

Beberapa mahasiswa buru-buru merapikan posisi duduk mereka, ada yang mulai menyiapkan buku catatan, ada juga yang hanya melipat tangan di meja, menunggu.

“Sebelum saya memberikan materi, saya ingin mengajukan pertanyaan kecil.” Om Lino menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya menyapu seisi kelas. “Sederhana saja. Apa itu bahasa?”

Ruangan mendadak sunyi.

Aku menelan ludah.

Om Lino mengedarkan pandangan, matanya tajam menyapu semua mahasiswa di ruangan ini—termasuk aku.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke buku catatan.

Jujur, pertanyaannya gampang. Aku tahu jawabannya. Tapi karena yang bertanya itu Om Lino—dengan ekspresi super serius dan sorot mata tajam—semua orang jadi enggan buka suara.

Ini beneran pada diem semua?

Aku melirik kanan-kiri. Beberapa mahasiswa saling pandang, seolah berharap ada yang cukup berani buat jawab lebih dulu. Ada juga yang pura-pura sibuk menulis sesuatu di buku catatan, padahal aku yakin mereka cuma coret-coret gak jelas buat menghindari kontak mata dengan Om Lino.

Wajah Om masih tetap tenang, tapi justru itu yang bikin suasana makin tegang.

“Biar saya ingatkan kembali kontrak perkuliahan yang sudah saya jelaskan minggu lalu.” Suaranya terdengar lebih dalam. “Penilaian saya terdiri dari kehadiran sepuluh persen, keaktifan di kelas lima belas persen, nilai dari tugas dua puluh persen, nilai UTS dua puluh lima persen, dan nilai UAS tiga puluh persen.”

Aku menelan ludah.

“Sampai sini kalian paham betapa pentingnya aktif di kelas?” lanjutnya.

Masih gak ada yang menjawab.

Aku meremas ujung buku catatanku. Keringat dingin mulai muncul di telapak tangan.

“Percuma hadir jika hanya menyumbang nama di presensi.”

Beberapa mahasiswa mulai bergerak gelisah di tempat duduknya.

“Kalian sudah mahasiswa.” Suaranya terdengar makin dingin. “Berhenti bersikap pasif. Belajarlah mengutarakan pendapat. Berani menjawab meski ragu.”

Aku bisa melihat beberapa mahasiswa melirik satu sama lain. Seolah berharap ada yang cukup gila buat mencoba menjawab pertanyaan tadi.

“Jangan takut salah.” Om Lino mengangkat alis. “Saya lebih menghargai orang yang sudah memberanikan diri menjawab walau salah daripada orang-orang pengecut yang hanya bisa diam menyimak di pojok kelas.”

Aku ternganga.

A-an-jir...

Jujur, aku tahu Om Lino di rumah dan di kampus itu beda. Tapi ... woi!

Gak nyangka dia semengerikan ini pas ngajar?!

Aku mencuri pandang ke arah Ayyara yang duduk gak jauh dariku. Dia juga tampak sedikit menegang, kedua tangannya terlipat di atas meja. Tatapannya mengarah lurus ke depan, tapi aku tahu pikirannya gak sepenuhnya di sana.

Di belakang, aku bisa mendengar beberapa mahasiswa berbisik pelan.

“Gila, sih ....”

“Omongan nih dosen tajem banget.”

“Gue udah gak minat ngomong kalau suasananya kayak gini.”

Aku menggigit bibir bawah.

Om Lino tetap diam di depan kelas. Tatapannya masih sama. Tegas, tajam, dan tanpa ampun.

Jujur, ini pertama kalinya aku ngelihat dia dengan ekspresi kayak gini.

Di rumah, meskipun dia ketat soal belajar, dia gak pernah sekaku ini. Kalau pun ngomelin aku, nadanya tetap terdengar lebih santai—meski tetap menusuk sih. Tapi di sini? Parah ... serem banget!

Tanganku sedikit gemetar di atas meja. Aku gak yakin harus angkat tangan atau tetap diam seperti yang lain.

Tapi kalau aku gak angkat tangan, Om bisa makin marah karena gak ada yang jawab.

Tapi kalau aku jawab, Ayyara mungkin bakal curiga.

Duh!

Aku berusaha menarik napas dalam-dalam.

Gimana, nih?

Harus jawab atau enggak?!

“Sekali lagi saya tanya, apa itu bahasa?

Suara Om Lino bergema di dalam kelas. Aku menggigit bibir, hampir saja mengangkat tangan, tapi keraguanku menahanku.

Ternyata, sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, seseorang sudah lebih dulu mengacungkan tangan.

Eh, bukan seseorang. Aruna?!

“Ya, silakan,” kata Om Lino, memberi isyarat padanya.

Aruna menegakkan punggung. Ada sedikit kegugupan di wajahnya, tapi dia tetap mencoba tenang.

“B-baik, Pak.” Dia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, “Saya Aruna Rinjani dengan NIM 2214116220014, izin menjawab ....”

Aku memperhatikan ekspresinya yang semakin tegang.

“Bapak bertanya apa itu bahasa.” Suaranya sedikit bergetar. “Menurut saya, bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan.”

Dia menggigit bibir, lalu menambahkan dengan lebih pelan, “I-itu saja, Pak ....”

Aku melirik Om Lino. Dia mengangguk singkat, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh kelas lagi.

“Ada lagi?” tanyanya, kali ini dengan nada lebih menekan.

Tidak ada yang menjawab. Aku melirik Aruna sekilas. Wajahnya tampak sedikit lega, tapi tetap ada ketegangan yang tersisa.

“Saya menginginkan jawaban yang tidak mencomot hasil pencarian dari Google,” lanjut Om Lino dengan nada datar.

Wow…

Aku menoleh ke Aruna. Wajahnya seketika berubah. Aku gak tahu pasti, tapi ekspresinya kayak … tertohok.

Jangan-jangan dia beneran tadi nyari di Google?

Aku menghela napas. Sekarang gimana? Aku angkat tangan gak, ya?

Belum sempat aku mengambil keputusan, Om Lino kembali berbicara. “Ya, silakan.”

Lah?

Aku menoleh dan melihat tangan Ayyara sudah terangkat lebih dulu.

“Terima kasih sebelumnya, Pak,” ucapnya dengan tenang. “Saya Ayyara Azkadina dengan nomor induk mahasiswa 2210116220013.”

Dia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, “Izin menjawab. Bahasa itu adalah bunyi. Lebih tepatnya, bunyi yang bermakna yang diucapkan oleh manusia dan digunakan dalam komunikasi antarindividu ataupun kelompok. Adapun kajian ilmiah yang mempelajari bahasa itu sendiri disebut ilmu linguistik.”

Aku terdiam.

Ini…

Om Lino mengangguk, ekspresinya sedikit lebih lunak. “Baiklah, bisa saya terima.”

Tapi sebelum suasana sempat mencair, dia kembali berbicara, “Karena ada yang menyebutkan linguistik, maka saya akan kembali mengajukan pertanyaan. Kalian tahu apa itu linguistik?”

Aku menegang.

Tatapan Om Lino kali ini benar-benar tertuju padaku. Seolah dia ingin aku mengajukan diri untuk menjawab.

Tapi sebelum aku sempat bereaksi, Ayyara kembali berbicara.

“Linguistik adalah ilmu tentang bahasa itu sendiri, Pak.”

Om Lino mengangguk kecil, tapi ekspresinya masih menunggu lebih. “Bahasa apa?”

Ayyara tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Setahu saya, linguistik terdiri dari langage, yang berarti bahasa secara umum. Maksudnya, manusia memiliki bahasa sementara hewan tidak.”

Dia berhenti sejenak, menatap lurus ke depan sebelum melanjutkan, “Lalu langue, yang berarti bahasa tertentu seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ataupun bahasa Jawa.”

Aku menahan napas.

“Dan parole, yang berarti bahasa dalam wujudnya yang konkret. Maksudnya berupa ujaran langsung, Pak.”

Hening.

Aku bisa merasakan perubahan ekspresi di wajah Om Lino. Sekilas, dia tampak … terkesan.

“Kamu ternyata mengetahui banyak hal tentang linguistik, ya,” komentarnya akhirnya.

Ayyara tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Saya memang tertarik dengan hal-hal yang bersangkutan dengan bahasa dan sastra. Tapi walaupun begitu, pengetahuan saya masih sangat minim.”

Om Lino memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Mengetahui pengertian dari istilah langage, langue, dan parole, padahal kamu bukan anak bahasa, sudah cukup membuat saya terkesan.”

Aku menunduk, meremas buku catatan di tanganku.

Sebuah perasaan aneh muncul dalam dadaku.

Entah kenapa, aku merasa … gak nyaman.

“Baiklah, saya akan melanjutkan pembahasan kita tadi.

Suara Om Lino kembali mengalun, tegas dan tanpa ragu. Aku masih menunduk, mencoba mengabaikan perasaan gak nyaman yang terus bersemayam dalam dada.

“Seperti yang sudah teman kalian jelaskan, bahasa adalah bunyi. Bunyi yang bermakna yang diucapkan oleh manusia.”

Aku bisa merasakan beberapa teman sekelas mulai menulis di buku catatan mereka. Aku sendiri? Nggak. Mataku tetap menatap meja, enggan untuk ikut serta dalam antusiasme mereka.

“Lalu bagaimana dengan bunyi tiruan hewan seperti suara kucing yang mengeong?” tanya Om Lino tiba-tiba.

Beberapa orang tampak bingung, tapi aku bisa mendengar suara pena Ayyara yang masih sibuk mencatat.

“Itu disebut onomatope,” lanjutnya sebelum ada yang sempat menjawab.

Aku menghela napas pelan.

Seperti biasa, Om Lino selalu punya cara untuk membuat mahasiswa berpikir, sekaligus membuktikan kalau pengetahuan mereka belum seberapa.

“Yang dikatakan Ayyara tadi, bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, benar. Dan bahasa yang dikaji tentunya tidak hanya satu, tidak hanya bahasa Indonesia.”

Dia berjalan pelan ke arah papan tulis, mencoretkan sesuatu dengan spidol hitam.

“Linguistik bersifat umum. Tidak hanya membahas ini bahasa Indonesia, itu bahasa Inggris, tapi juga seluk-beluknya. Bagaimana bunyi suatu kata, bagaimana pembentukan sebuah kata menjadi klausa ataupun kalimat, dan bagaimana memaknai kata tersebut dengan benar.”

Tangan Om Lino masih sibuk menulis beberapa istilah di papan.

Fonologi. Morfologi. Sintaksis. Semantik. Pragmatik.

Aku diam. Gak bisa bohong, beberapa istilah itu terdengar asing di telingaku.

“Linguistik luas cakupannya,” katanya lagi. “Beberapa yang saya sebutkan itu, saya yakin kalian sangat asing mendengarnya.”

Tepat.

Tapi luar biasanya, saat dia berbicara, aku bisa mendengar suara pena Ayyara masih terus bergerak. Aku melirik ke arahnya dari ekor mata. Ekspresinya serius. Matanya menelusuri papan tulis dengan penuh ketertarikan.

Aku mendesah pelan.

“Namun, karena tugas saya di sini hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bukan Linguistik, maka saya tidak akan membahasnya lebih lanjut.”

Akhirnya.

Aku menegakkan punggung sedikit, berharap penjelasannya akan segera berakhir.

“Saya hanya ingin menyampaikan pada kalian, bahwa bahasa itu sangatlah luas.”

Aku kembali menunduk.

“Tanpa pengetahuan yang memadai, kalian mungkin akan kesulitan karena bahasa adalah satu-satunya alat komunikasi terbaik yang dimiliki oleh manusia. Bahkan dalam dunia keilmuan lain juga mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Seperti ilmu susastra, ilmu sosial, psikologi, dan fisika.”

Sial. Om Lino belum selesai. Padahal aku mau cepat keluar.

“Jadi jangan menganggap remeh mata kuliah ini karena berpikir bahasa Indonesia ya bahasa Indonesia. Apa yang sulit dengan itu?”

Kelas mendadak sunyi.

Aku menelan ludah, sedikit terusik dengan caranya menyampaikan itu karena teringat perkataannya saat di kamarku waktu itu.

“Jika kalian mengira materi yang kalian dapatkan akan sama seperti saat SMA, yaitu teks prosedur, teks eksposisi, cerpen dan segala macamnya, maka kalian salah besar.”

“Karena sebagai mahasiswa, kalian memang sudah seharusnya mengetahui semua itu. Tidak perlu diajari lagi.”

Suara Om Lino terdengar semakin tajam di telingaku.

“Di sini, kita akan membahas materi bahasa Indonesia yang lebih dalam lagi.”

Aku diam saja, berusaha terlihat biasa-biasa saja seperti mahasiswa lain.

“Untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan kalian tentang bahasa dan sastra, maka saya akan memberikan tugas pertama untuk kalian.”

Beberapa orang mulai bergumam. Aku hanya menarik napas panjang.

“Tugasnya mudah. Silakan pilih salah satu novel untuk diulas dan dibedah isinya.”

Novel?

“Tugas ini bersifat individu. Silakan kirimkan ke surel saya jika selesai. Batas waktunya hingga besok.”

Beberapa mahasiswa mengerang pelan. Aku? Aku cuma terdiam.

“Ada yang ingin ditanyakan?”

Ayyara langsung mengangkat tangan. “Saya, Pak!”

Om Lino menatapnya. “Ya, silakan, Ayyara.”

“Apakah genre untuk novelnya bersifat bebas? Kami boleh memilih novel bertema apa saja, Pak?”

“Ya, bebas. Tapi saya akan terkesan jika kalian mengambil novel yang termasuk dalam sastra lama mengingat sastra lama sudah mulai ditinggalkan.”

Aku menghela napas. Kenapa gak kaget? Tentu saja Ayyara bakal tertarik dengan itu.

“Apakah seperti sastra angkatan Balai Pustaka dan sastra angkatan Pujangga Baru, Pak?” tanyanya lagi.

Aku melirik ke arahnya. Dia terdengar terlalu antusias.

Om Lino menatapnya dengan ekspresi terkejut yang jelas. “Kamu mengetahui itu juga?”

Ayyara tersenyum kecil. “Eum ... iya, Pak. Itu karena selama ini saya memang suka membaca karya-karya sastra zaman dulu daripada yang sekarang.”

Aku menggigit bibir. Ah, mereka bener-bener satu frekuensi, ya?

“Saya benar-benar baru bertemu mahasiswa seperti kamu. Bahkan di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia saja, banyak yang masih belum tahu semua hal yang kamu sebutkan tadi.”

Tolong.

“Saya harap yang lain bisa seperti kamu juga.”

Berhenti.

Ayyara menunduk sedikit. “Ah, terima kasih, Pak ....”

Aku mengepalkan tangan di atas paha.

Gak suka.

Aku gak suka.

Entah kenapa ... aku gak suka dengan situasi ini.

Aku tiba-tiba merasa kelas ini menyesakkan. Aku mau keluar. Tapi aku gak berani. Alhasil, aku cuma bisa diam membisu sambil menunduk dalam. Kuharap kelas ini cepet selesai.

1
Muhammad Gibran Haikal Rizky
belum ada cerita baru ya kak
Licia: belum ada kak
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
yah end deh, please buat yg baru Thor TPi yg ada hareudangnya dikit gak apalah ya dan yg lebih2 lagi deh pokoknya,/Silent/ ditunggu karya barunya thor
Muhammad Gibran Haikal Rizky
knp GK update min
Licia: iya maaf kak, kemarin² ada kesibukan😭 ini otw update
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kok belum ada update sih, aku nungguin lho
Muhammad Gibran Haikal Rizky
ikut nangis aku nya Tpi up nya dikit bnget/Grimace//Grimace/
Dewi Maharani
plot twist nya,gak ketebak Daebak....
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kan aku syedih pdahal selalu ditunggu ini ceritanya
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kok sehari cuman up 1 bab doang
Licia: Maaf ya kak lagi agak sibuk soalnya 😭🙏
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kurang bnyk up nya, aku kan syedihhh/Smug//Smug/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
up lagi donk, ceritanya seru tauuu/Applaud/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
ternyata Lino tidak sebaik yg di bayangkan/Panic/ lanjut lagi yg bnyk donk up nya min
Muhammad Gibran Haikal Rizky
wah wah makin seru/Grievance/, update lagi donk min
Licia: siapp otw double up hati ini
total 1 replies
Nurul Jannah
bagus banget . no debat. semangat nya
Licia: Terima kasih banyak sudah baca dan berkomentar 🥹🩷
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
lanjut lanjut lanjut part 2 dan 3 min/Pray/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
aduhh pemasaran bed Thor,
Jung Hasanah
jangan bilang lino jg udah nikah sama dania sebelumnya
Muhammad Gibran Haikal Rizky
aku suka karyamu Thor, plisss lebih bnyak lagi donk updatenya 3 lembar judul kek,biar pun karyamu baru ini doang TPI aku langsung love sekebon coklat Thor. plis update bnyak ya,/Pray//Heart/
Licia: Aaaa terima kasih banyak, yaaa🤩 jadi semangat update kalo kayak gini🥰
total 1 replies
Rian Moontero
lanjooott thoorr💪💪🤩🤸🤸
Sakura Jpss
seruuu! Lucu, gemess, baperrr🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!