Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Rayyan
Pagi yang cerah, sinar mentari menyapa setiap penghuni bumi di kawasan Garut, memberi kehangatan untuk menyongsong hari baru menuju harapan baru.
Inayah membuka daun jendela kamarnya, semilir angin segar memasuki kamar, menyegarkan udara di sekitarnya. Jam di dinding masih menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Tapi semburat jingga telah nampak dengan jelas di ufuk timur.
Wilayah tempat rumah Inayah berada masih terdapat area pesawahan, walau pun halaman rumahnya dekat dengan jalan raya tetapi bagian belakang rumah itu masih terhampar pesawahan sepanjang mata memandang.
Salah satu tempat favorit Inayah ketika waktu libur di rumah adalah dengan menghabiskan waktu di teras belakang rumahnya. Hari ini dia kembali melakukannya, setelah hampir satu tahun bahkan lebih dia tidak menginjakkan kakinya di tempat itu.
Secangkir teh sudah ada di genggaman tangannya. Tidak lupa tangan kirinya pun memegang sebuah buku untuk dibacanya sembari menikmati secangkir teh.
"Bu, kalau cari Inay ada di teras belakang ya." ucap Inayah, sebelum menuju teras belakang, dia terlebih dahulu ke dapur memberitahukan keberadaan dirinya.
"Iya Teh." jawab Ibu sedikit berteriak.
"Teh, ini singkong gorengnya mumpung masih panas." Inayah yang hendak ke dapur untuk menyimpan gelas dan berniat membantu sang ibu menyiapkan sarapan, urung ketika lebih dulu berpapasan dengan ibu yang akan menuju teras belakang. Ditangannya sepiring singkong goreng siap dinikmati dengan teh hangat yang terasa nikmat dan wangi.
"Terima kasih Bu, tadinya teteh mau bantu ibu masak."
"Gak usah Teh, buat sarapan sebentar lagi siap. Teteh duduk santai aja di bale-bale belakang." Inayah pun menurut, dia kembali mengisi ulang cangkirnya dengan teh yang masih mengepulkan asapnya ke udara, menyerbak wangi ke setiap indra penciuman orang-orang.
Inayah kembali duduk di teras belakang. Buku yang tadi sudah sempat dia bereskan kembali dibukanya. Secangkir teh kembali dia sesap wanginya sebelum dia seruput, sengaja dia cium dengan lama baru kemudian menikmati sepotong singkong goreng yang terasa begitu renyah di mulutnya sambil tangan kirinya membuka lembar demi lembar buku yang tadi sempat dia tinggalkan ke dapur untuk membantu sang Ibu.Namun karena permintaan sang Ibu dia kembali duduk di teras itu dan menikmati singkong goreng sambil membaca buku.
"Teh!" Indira datang. Adik perempuannya itu masih menggunakan baju tidur kerudung yang disampirkan di kepalanya asal.
"Baru bangun?" tanya Inayah menatap sang adik yang tampak masih bermuka bantal.
"Iya Teh, habis salat subuh ketiduran lagi di atas sajadah." Indira menjawab seadanya
"Jam berapa kira-kira mereka datang?" Inayah menyimpan buku dia masih menikmati singkong goreng dan mulai membuka percakapan dengan adiknya itu.
Tujuan kepulangan Inayah adalah untuk membersamai sang ibu menerima pinangan dari kekasih adiknya itu.
"Kata A Adi, habis dzuhur, Teh."
"Insya Allah kita sudah siap sebelum mereka tiba." Ucap Inayah menenangkan.
"Irfan kemana?" Inayah mengalihkan topik.
"Ada di depan, lagi nyapu halaman."
"Teh, ada yang mau aku obrolin ke Teteh."
"Ada apa, Dir? Serius amat." seru Inayah, melihat wajah sang adik yang secara drastis berubah sendu dan nampak serius, dia coba kembalikan keceriaan sang kakak.
"Kata A Adi, kedatangan keluarganya ke sini nanti ..." Indira menghentikan bicaranya, ditatapnya wajah teduh sang kakak, rasa bersalah kembali menyelinap dalam hatinya.
"Nanti apa?" Inayah yang sedang mendengarkan sambil tatapannya mengagumi hamparan sawah dengan padi mulai menguning sontak mengalihkan pandangannya kepada sang adik.
"Nanti ...mau sekalian menentukan hari pernikahan kami." lanjut Indira akhirnya, tatapannya tak lepas dari sang kakak, ingin menangkap sekecil apapun perubahan raut wajah kakak tersayangnya itu.
Sayangnya, Indira gak menemukan apapun. Inayah justru terlihat tersenyum dan bahagia mendengar kabar yang baru saja dikatakan sang adik.
"Alhamdulillah atuh, jadi tenang kan kalau semuanya sudah ada ketentuan mah. Jadi kita tinggal mempersiapkannya sebaik mungkin." sahut Inayah dengan antusias.
Indira bernafas lega, kekhawatirannya yang mengira sang kakak akan tersinggung jelas tidak terbukti.
Waktu yang ditunggu pun tiba, dua buah mobil terparkir di halaman rumah keluarga Inayah. Kekasih Indira dan keluarganya sudah tiba.
Pertemuan dua keluarga pun penuh dengan kehangatan. Inayah sangat bersyukur melihat perlakuan keluarga kekasih adiknya itu pada mereka, begitu hangat dan ramah.
"Sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa tujuan kedatangan kami sekeluarga ke rumah Ibu Ani adalah untuk mengantar putra kami melamar kekasih hatinya, yaitu Nak Indira Rahmi." Ayah dari Adi kekasih Indira yang langsung menjadi juru bicara keluarga itu.
Dari pihak keluarga Inayah, kakak laki-laki almarhum Bapak yang menjadi wakil keluarga untuk menerima pinangan itu.
Pertemuan dua keluarga berjalan lancar, setelah saling memasangkan cincin oleh kedua ibu masing-masing acara berlanjut pada diskusi penentuan hari untuk pernikahan keduanya.
Mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan satu minggu pasca idul fitri tentunya setelah terlebih dahulu meminta persetujuan Inayah sebagai anak tertua dan juga Irfan. Keluarga Adi sedikit banyak sudah mengetahui perihal Inayah. Kakak Indira yang kemungkinan besar akan didahului oleh sang adik.
Keluarga Adi pun memastikan kembali dengan bertanya pada Inayah secara langsung, apakah tidak apa-apa jika Indira lebih dulu menikah. Jawaban Inayah begitu lugas jika dia ikhlas dan ridho, mengingat di kampung mereka istilah melangkahi itu menjadi hal yang sering jadi gunjingan, Inayah juga menegasnya jika dirinya baik-baik saja dan memang belum terpikir untuk kembali menjalin hubungan dengan siapapun apalagi untuk menikah. Dia justru sangat senang jika sang adik akhirnya sudah menemukan jodohnya.
"Huft ..." Inayah menghembuskan nafasnya lega, rangkaian acara telah usai, para tamu juga sudah pulang. Inayah baru saja selesai membantu membereskan rumah. Selepas salat maghrib sejenak dia istirahatkan raganya.
Ting ...notifikasi pesan masuk di ponselnya membuat Inayah kembali terbangun. Dia takut itu adalah pesan penting dari teman atau rekan kerjanya. Besok subuh dia harus sudah kembali ke Jakarta dan langsung bekerja shift siang.
"Assalamu'alaikum Nay, katanya kamu pulang? Kenapa gak bilang-bilang? Aku kangen tahu, pingin ketemu."
Ternyata pesan masuk dari Ulfah, rekan sesama guru di tempat Inayah mengajar dulu. Inayah pun memutuskan untuk meneleponnya. Dia pun sama, merindukan sahabatnya itu.
"Ayo masuk!" Inayah mempersilakan Ulfah dan Fikri masuk. Saat di telepon tadi dia meminta sahabatnya itu untuk datang ke rumah dan Ulfah dengan senang hati menyanggupi, dia sekalian mengajak Fikri lebih tepatnya meminta rekan guru yang sudah berubah status menjadi kekasihnya itu untuk mengantarnya.
"Assalamu'alaikum" kompak Ulfah dan Fikri mengucap salam dan dijawab oleh Inayah dan Ibu Ani yang juga menyambut kedatangan mereka.
Berbagai obrolan dengan aneka tema terutama seputar sekolah, guru-guru, kegiatan dan juga tentang murid-murid menjadi bahan obrolan mereka selama satu jam ini. Inayah senang, rindunya benar-benar terobati.
"Oya Nay, satu lagi ..."
"Apa?" tanya Inayah antusias,
"Kata si Hendra, kamu ingat Hendra?"
"Anak Rohis?"
"Iya."
"Kenapa dia?"
"Dia bilang Rayyan hampir aja balik ke stelan semula saat tahu kalau Bu Inayahnya ternyata resign. Mana perginya tanpa pamit lagi."
"Bu Inayahnya, bisa aja kamu." protes Inayah.
"Eh emang gitu kata si Hendra. Bu, kasih tahu dong dimana Bu Inayahnya Rayyan sekarang? Katanya ke Jakarta ya? Cariin alamatnya dong Bu, kasihan besti aku merana." Ulfah memperagakan Hendra saat dengan serius datang menemuinya untuk mencari informasi tentang Inayah.
"Hahaha ..." gelak tawa pun tercipta, selain cerdas murid mereka yang satu itu memang selalu melankolis.
"Tapi aman kan? Rayyan juara juga di nasional?"
"Alhamdulillahnya aman, si Hendra bilang, dia yang berhasil memotivasinya dengan menjual nama kamu, Nay."
"Nama aku?"
"Iya, katanya kalau Rayyan juara lagi, Bu Inayah pasti bangga dan ketika nanti bertemu Rayuan bisa menunjukkan itu."
"Keren emang Hendra." puji Inayah tulus.
"Sekarang dia dimana kuliahnya?"
"Siapa? Hendra atau Rayyan?"
"Dua-duanya."
"Hendra mah di Bandung, dia ngambil keguruan di UPI kalau Rayyan katanya melanjutkan kuliah ke Amerika."
"Amerika?"
"Iya, katanya sih dia calon penerus keluarga yang sangat diandalkan makanya pendidikannya gak kaleng-kaleng. Banggakan lulusan sekolah kita ada yang melanjutkan kuliah di Amerika?"
"Tentu, sangat membanggakan." jawab Inayah, entah mengapa mengetahui Rayyan berkuliah di Amerika ada sisi hatinya yang merasakan kehampaan.
Inayah jg harus tegas, kl suka bilang suka jgn merendah trs,, kamu jg berhak bahagia nay
kak Laila jgn jahat2 ya dg menjodohkan Inayah dg yg lain😡😅