Gadis muda, bernama[Resa anggraini], yang haus kasih sayang dan perhatian,pertemuan dia dengan seseorang yang bernama [Hari ramadhan],berusia 32 tahun mempersatukan dua insan itu dalam sebuah ikatan di usianya yang masih 18 tahun.Konflik muncul ketika [Resa] berusaha menemukan kebahagiaan dan kasih sayang dalam pernikahan tersebut,berawal dari perkataan frontal gadis itu membawanya pada takdir yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babb 29 Speknya pria idaman banget
"Mmmm... Gimana ya, Bu? Saya gak yakin bisa handle keduanya?" tanya Resa mempertimbangkan, karena tak mungkin dia bisa menyelesaikan dua pekerjaan sekali gus dalam sepekan.
"Tenang aja, nanti Susi yang hendle kerjaan kamu untuk sementara. Gak banyak, cuman 10 kodi yang memakai aksesoris. Nanti saya bantuin deh, biar saya juga tau dan belajar cara pembuatannya," jelas Amelia.
"Ya udah, Bu. Boleh," jawab Resa dengan ramah.
"Gak usah formal gitu, panggil Teteh aja. Gak papa, ko, sebentar lagi kan kamu jadi bagian dari keluarga kami," jelas Amelia, dan di tanggapi dengan acungan jempol dari Susi yang duduk bersebrangan dengan dia.
Haduh, Mak. Rasanya aku gak sanggup menghadapi tingkah si Wati. Dia kekeuh ingin segera dinikahkan sama tuh laki," keluh Komala pada ibunya saat sedang membuatkan minuman di dapur.
"Yah, terus mau gimana lagi, Kom? Nikahkan saja mereka,dari pada jadi bahan omongan orang dan jadi dosa juga tuh anak bawa-bawa laki mulu ke rumah," jawab Nenek Nur memberi usul.
"Ya, gak secepat ini juga, Mak. Apa lagi laki-laki itu pan masih kerabat jauh bapaknya si Wati. Aku ko jadi parno. Takut kisahku dulu terulang lagi," kata Komala dengan khawatir.
"Ya, gak mungkin lah, Kom. Jangan samain dengan kejadian di masalalu mu. Emak liat dia laki-laki yang baik. Dan Bapak juga setuju-setuju aja jika Wati sama dia," kata Nenek Nur.
"Haduh, tau lah, Mak. Pusing aku! Mana dia minta sebelum Ramadhan udah mau akad aja. Padahal Pan Maunya sebelum si Wati nikah ya, harus si Resa duluan yang nikah."
"Cek, kamu mah, Kom. Hidup ko di bikin ribet. Kalau jodohnya si Wati yang duluan mah ngapain di menghalang-halangi. Di segerakan saja biar gak jadi fitnah. Kalau kalau tuh anak nekat bawa-bawa lagi tu laki kemari," kata Nenek Nur.
"Iya, iya deh. Nanti tak diskusikan lagi sama Kang Nurdin lah, Mak. Mumet kepalaku. Rasanya mau pecah mikirin tingkah anak-anak," kata Komala dengan lelah.
Sedangkan Ika masih dengan mode marahnya, menatap tak suka dengan percakapan kedua orang di sampingnya. Ketegangan di tempat Resa bekerja masih berlanjut.
Sedangkan di rumahnya, Komala sedang kalang kabut karena anak sulungnya.Wati, membawa seorang pria yang pernah menyambangi rumah mereka pekan lalu.
***
Teriknya matahari di siang hari
Begitu panas menyengat raga.
Jalanan yang dilalui bagai bara api
Tak seindah waktu senja di pagi hari.
Walaupun angin berhembus sepoi-sepoi
Belum mampu memanjakan diri
Beranjak pergi dari aktivitas terkini
Hilir mudik orang berlalu lalang terlewati.
Di ambang tangga seorang gadis imut dengan bola mata ceria menunggu tak sabar diri
Menerobos orang yang berdesakan.
Pertanda bahwa tak bisa menunggu lagi
Kekesalan yang akhirnya berbuah emosi.
Teriknya siang hari boleh dirasa saat ini.
Namun, panasnya terik jangan membakar hati.
Demi kepuasan ego yang ada dalam diri.
Terdengar menghembuskan nafas yang ngos-ngosan karena berdesakan dengan ratusan pengunjung yang sama-sama ingin menyaksikan festival marawis yang diadakan di aula plaza tersebut.
"Huh.. Hah.. Huh... Akhirnya nyampe juga," ucap Tina setelah tiba di aula tempat festival berada.
"Iiih....rame bener, Tin. Sampe mudeng ini kepala, liat orang berlalu-lalang kesana kemari," keluh Wina. Matanya memutar ke segala arah mengamati setiap sudut ruangan.
"Waaaahh... Kejutan, Tin! Liat itu!" tunjuk Wina sambil mengguncangkan tangan Tina yang berada di sampingnya. Sedangkan Tina hanya mendelik kesal ke arah temannya yang heboh tak tahu tempat.
"Ko, diem diem, bae, Tin. Liat itu...peserta yang memakai seragam biru muda itu. Kang santri idaman para hawa... Dia, dia ikut lomba juga," tunjuk Wina histeris.
Beuuh, anak ini rempong bener. Sepertinya gadis barbar ini naksir juga. Lah, iyah... Gadis mana yang gak klepek-klepek mendengar suaranya yang merdu mendayu-dayu? Tst, kala ia tersenyum... bikin salting yang lihat. Speknya, pria idaman banget. Mana pintar ngaji, udah pasti paham agama pula. Siapa yang gak mau?
Tina tersenyum lebar kala matanya menangkap pada orang yang ditunjuk temannya. Telah maju ke depan, menuju panggung..
Tina melambaikan tangan saat pemuda itu menengok dan tersenyum ke arahnya. Lalu berhenti untuk sekedar menyapa. Apa gak meleleh hati si Tina? Dari ratusan orang yang teriak histeris, memanggil, cuman pada si Tina dia merespon. Bukan karena Tina spesial, bukan! Tapi di antara kerumunan orang banyak, ya, cuman dia yang Hasan kenal, dan itu juga. Tina udah ia anggap sebagai adiknya. Iyah, cuman sebatas sayang kakak ke adik, gak lebih.
Setelah turun dari panggung, pria itu menghampiri Tina dan menyapanya, "Assalamu'alaikum, Tin. Apa kabar?"
Tina tersenyum lebar dan menjawab salam dari pria yang sudah berdiri tak jauh dari sampingnya, "Waalaikumsalam, Kang. Alhamdulillah, kabar baik. Akang gimana? Udah lama gak ketemu!"
"Alhamdulillah baik juga. Seperti yang kamu lihat, Tin. Eh... Tunggu. Ko, kamu bisa berada di sini? Bukannya kamu kerja ya?" tanya Hasan.
"Ah, iya, Kang. Ini lagi jam istirahat. Makanya aku bisa liat festival dulu, bentar lagi ini udah mau masuk, kayanya, deh," jelas Tina sambil menggeser layar HP untuk melihat jam di layar ponselnya.
Sedangkan teman yang satunya hanya bengong, terkesima, memandang lekat pria yang sedang tersenyum manis. Mengagumi dalam diam. Sok, soan dia, mendadak jadi pendiam. Padahal aslinya dia ceriwis bener, gak bisa diam mulutnya. Liat aja ntar! Sekarang dia lagi di mode kalemnya. Atau semi kecewa kali. Gak tahu juga, yah!
Berharap banget di kenalin sama si Tina, lalu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. Kali aja dia bisa jadi kekasih atau setidaknya jadi teman dekat gitu. Lah, dia malah di cuekin habis-habisan. Bahkan setelah menyenggol nyenggol tangan Tina pun gak di gubris dia, malah anteng aja ngobrol berdua. Apa gak dongkol hati si Wina? Udah berharap banget... Tapi di cuekin.
Kalau gak malu, mungkin si Wina udah mau guling-guling di lantai saking udah berharapnya. Tapi tak kesampaian.
"Oh, yah. Padahal, banyak yang ingin Akang tanyain sama kamu, Tin. Tapi momennya lagi gak pas kayaknya," ucap Hasan sambil mengamati sekitar, apa lagi teman-temannya udah memberi kode agar segera kembali.
"Hehehe... Gitu, yah, Kang. Soal apa dulu nih... Pasti gak jauh dari Teh Resa, ya? Pasti iyah? Udah ketebak, sih," jawab Tina berusaha santai, padahal beuuuuuh... Udah mati-matian berusaha biar gak nunjukin kalau dia hatinya lagi gak baik-baik aja. Secara kan dia udah ke gengsian kalau si Hasan suka sama dia. Padahal dia cuman di jadiin pelantara biar Hasan bisa deket sama kakaknya. Apa gak sakit hati si Tina? Cuman dia sok tegar. Sok-sokan biasa aja. Padahal hatinya jumpalitan buat ngilangin rasa yang selama ini dipendamnya.
"Udah ketebak, yah? Emang keliatan banget, Tin? Akang udah lama loh gak liat Resa. Sebenarnya, Akang yang berusaha menghindar dulu, gak ketemu sama kakak kamu. Bukan karena mundur. Tapi hanya memberi ruang agar Resa tak merasa risih dengan Akang yang terlalu berlebihan mengejar dia," jelas Hasan setengah berbisik.