"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Antara Batu Part.4 (Lanjutan)
Langkah kaki Rangga, Larasati, dan Ki Jayeng Larang menggema di lorong sempit yang membawa mereka menjauh dari ruangan altar tadi. Udara terasa lebih berat, seakan-akan beban tak kasat mata menekan bahu mereka. Suara angin yang sebelumnya membisikkan pesan misterius kini berganti menjadi sunyi, meninggalkan mereka hanya dengan suara detak jantung yang tak teratur.
“Rangga,” Larasati memulai, suaranya pelan tetapi tegas. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apa yang angin itu katakan padamu?”
Rangga tidak segera menjawab. Ia terus melangkah dengan pandangan lurus ke depan, tetapi tangan kanannya tampak meremas pelan tongkat kayu yang ia bawa. Akhirnya, ia berbicara, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. “Angin itu... mengajukan pertanyaan. Tentang niatku. Tentang apa yang mendorongku untuk terus maju.”
Larasati menatap Rangga dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Dan kau menjawab apa?”
Rangga berhenti, menatap lurus ke dalam kabut yang menghalangi jalan mereka. “Aku bilang aku siap untuk belajar,” gumamnya. “Tapi dalam hati, aku tahu bahwa aku masih membawa dendam. Dan itulah yang membuatku lemah.”
Larasati mendekat, menempatkan tangannya di bahu Rangga. “Dendam itu wajar, Rangga. Kau telah kehilangan keluargamu, desamu dihancurkan. Tidak salah jika kau ingin membalas mereka.”
“Tapi dendam tidak akan membawaku ke mana-mana,” jawab Rangga cepat. Suaranya sedikit gemetar, mencerminkan konflik batin yang terus berkecamuk di dalam dirinya. “Jika aku terus membiarkan kebencian menguasai, aku hanya akan menjadi seperti mereka yang aku benci.”
“Rangga benar,” sela Ki Jayeng dari belakang mereka. “Hate anu euweuh tungtungna bakal ngahasilkeun karuksakan. Tapi ieu perjalanan teu gampang. Mertahankeun haté bersih téh leuwih hese tibatan ngagunakeun kekuatan.”
Larasati ingin membalas, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara retakan keras terdengar dari atas mereka. “KRAK!” Batu besar meluncur turun, menghantam jalan beberapa langkah di depan mereka dengan suara yang memekakkan telinga.
“Larasati, mundur!” Rangga berteriak, menarik gadis itu ke belakang dengan satu tangan sementara tubuhnya sendiri bergerak sigap ke sisi kanan lorong. Ki Jayeng melompat ke samping dengan ketangkasan yang tidak biasa untuk seorang tua.
Debu tebal memenuhi udara, membuat mereka terbatuk-batuk sambil mencoba mencari posisi aman. Ketika debu perlahan mereda, mereka melihat bahwa batu besar tadi telah sepenuhnya memblokir jalur di depan mereka. Jalan satu-satunya kini adalah lorong sempit di sisi kanan, jalur yang tampak gelap dan jauh lebih berbahaya.
“Astaga,” Larasati bergumam, mengusap debu dari wajahnya. “Sepertinya gunung ini benar-benar tidak ingin kita melanjutkan.”
“Bukan gunungnya,” kata Ki Jayeng sambil mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya di lantai. “Musuh urang anu nyieun ieu. Ieu rencana keur ngeureunkeun urang.”
“Mereka sudah sangat dekat dengan kita,” gumam Rangga. Ia memandang ke arah lorong gelap yang kini menjadi satu-satunya pilihan mereka. “Kalau begitu, kita tidak punya waktu untuk ragu.”
“Rangga,” Larasati memanggilnya dengan suara penuh kecemasan. “Apa kau yakin kita harus lewat sana? Jalur itu... terlihat seperti jebakan.”
“Aku tahu,” jawab Rangga, menatap gadis itu dengan mata penuh tekad. “Tapi jika kita berhenti sekarang, mereka akan menang. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
Ki Jayeng berjalan ke depan, berdiri di sisi Rangga sambil memeriksa lorong sempit dengan pandangan tajam. “Hati-hati, Rangga. Tempat sempit sapertos kieu sok jadi tempat pikeun nu disumputkeun. Musuh bisa jadi geus nyiapkeun jebakan lain.”
Rangga mengangguk. Ia mengencangkan genggamannya pada tongkat kayu di tangannya, lalu melangkah masuk ke dalam lorong. Langkahnya pelan, tetapi mantap, dengan Larasati mengikuti di belakangnya. Ki Jayeng berjalan paling akhir, menjaga agar mereka tidak diserang dari belakang.
Lorong itu semakin gelap, dan dinginnya udara membuat napas mereka terlihat seperti asap. Suara langkah kaki mereka bergema aneh, seolah-olah ada orang lain yang mengikuti di belakang, meskipun mereka tahu itu hanya bayangan pikiran.
Di tengah perjalanan, Rangga berhenti tiba-tiba. Ia mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar Larasati dan Ki Jayeng berhenti juga. “Dengar,” bisiknya.
Mereka berdiri diam, telinga mereka mencoba menangkap suara apa pun di tengah keheningan. Awalnya hanya ada suara napas mereka sendiri, tetapi kemudian terdengar suara gemerisik dari depan, seperti sesuatu yang bergerak pelan di kegelapan.
“Nu naon éta?” tanya Larasati dengan suara bergetar. Ia mendekat ke Rangga, matanya berusaha menembus kegelapan.
Ki Jayeng menyipitkan matanya, mencoba mengenali suara itu. “Aya nu ngalih... mungkin eta musuh urang.”
Rangga menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. “Apa pun itu, kita harus siap.”
Dengan gerakan perlahan, ia melangkah lebih dalam ke lorong, tongkat kayunya terangkat, siap untuk digunakan sebagai senjata. Suara gemerisik semakin dekat, membuat setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Ketika mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan kecil di ujung lorong, mereka menemukan sumber suara itu.
Seekor makhluk besar, berbulu hitam pekat dengan mata merah menyala, berdiri di tengah ruangan. Tubuhnya seperti perpaduan antara serigala dan beruang, dengan cakar tajam yang menggores lantai batu. Ia menggeram pelan, giginya yang runcing terlihat mengintimidasi.
Larasati terhuyung mundur, tubuhnya gemetar. “Apa itu...?”
“Eta penjaga,” gumam Ki Jayeng, suaranya tenang tetapi penuh kewaspadaan. “Gunung ieu teu saukur dijaga ku urang. Penjaga sapertos ieu dijieun keur nguji saha waé nu datang.”
Makhluk itu maju selangkah, menggeram lebih keras. Rangga berdiri tegak, menatap makhluk itu tanpa gentar. “Jika ini ujian,” katanya pelan, “maka aku akan melewatinya.”
Sebelum ada yang bisa mencegahnya, Rangga melangkah maju, tongkatnya siap untuk bertarung. Makhluk itu mengaum, suaranya menggema di seluruh ruangan. Dalam sekejap, ia melompat ke arah Rangga dengan kecepatan yang mengejutkan.
“Rangga, hati-hati!” teriak Larasati, tetapi pemuda itu telah bergerak.
Rangga memutar tubuhnya, menghindari serangan pertama makhluk itu dengan jarak tipis. Ia membalas dengan ayunan tongkatnya, menghantam sisi tubuh makhluk itu dengan keras. Makhluk itu menggeram kesakitan, tetapi tidak mundur. Ia berputar cepat, menyerang lagi dengan cakarnya.
Pertarungan itu berlangsung sengit, dengan suara dentingan kayu melawan cakar dan auman makhluk itu memenuhi udara. Rangga menggunakan gerakan cepat yang diajarkan oleh Ki Jayeng, memanfaatkan aliran udara untuk menghindari serangan dan membalas dengan akurat. Tetapi makhluk itu tidak mudah dilumpuhkan.
“Rangga, jangan hanya menyerang!” teriak Ki Jayeng dari belakang. “Gunakan pikiramu, bukan hanya ototmu!”
Rangga mengangguk, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Ia memerhatikan gerakan makhluk itu, mencoba menemukan pola atau kelemahan. Dan ketika ia melihat cara makhluk itu melompat—dengan beban tubuh yang berat pada kaki depan—ia tahu harus apa.
Ketika makhluk itu melompat lagi, Rangga bergerak ke samping, membiarkan cakar makhluk itu menghantam tanah. Dalam sekejap, ia mengayunkan tongkatnya ke kaki belakang makhluk itu, membuatnya kehilangan keseimbangan. Makhluk itu terjatuh dengan suara keras, dan sebelum ia bisa bangkit, Rangga mengarahkan ujung tongkatnya ke leher makhluk itu.
Makhluk itu berhenti bergerak, matanya yang merah menatap Rangga dengan intensitas yang menakutkan. Tetapi kemudian, perlahan-lahan, cahayanya memudar, dan tubuhnya menghilang menjadi angin yang berputar di sekeliling mereka.
“Kau berhasil,” gumam Larasati, suaranya penuh kelegaan.
Rangga menurunkan tongkatnya, napasnya masih memburu. “Ini baru awal,” katanya, menatap ke arah lorong berikut
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya