Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11.
Mumu melihat ada dua buah mobil di garasi dan tiga buah motor Tacker dan Ninja yang terparkir di halaman samping.
Berarti memang ada orangnya. Tapi rumah ini terkesan sangat sepi.
Tak ada suara terdengar dari dalam.
"Assalamu'alaikum...!"
Mumu mencoba mengucap salam. Sepi. Tapi sejurus kemudian, "Wa'alaikum salam." Seorang pria keluar dan berdiri di depan pintu.
"Ada perlu apa, Dik?" Tanyanya ramah. Pada hal menilai dari raut wajahnya, kelihatan sekali jika pria ini sedih dirundung duka. Meski begitu dia masih bisa bersikap ramah terhadap orang lain. Apa lagi terhadap orang yang lebih muda. Sikapnya sangat terpiji gumam Mumu.
"Maaf, Bang, ganggu. Cuma penasaran saja. Tadi pas kesasar di sini kelihatannya rumah sepi sekali seperti tidak ada orangnya."
"Ooo gitu. Ayo masuk. Kita ngobrol." Pria itu langsung duduk di kursi teras setelah mempersilakan Mumu untuk duduk di kursi yang lain.
"Memangnya kamu dari mana, Dik sampai kesasar di sini?"
"Anu, Bang tadi sempat dikejar-kejar preman jadi asal masuk gang, tahu-tau nyasar di sini." Mumu tersenyum malu.
Apa masalahnya?" Pria yang bernama Randi Sunandar itu terkejut.
Mumu lalu menceritakan garis besarnya tapi tidak mengungkapkan dugaan atas pelakunya. Karena nanti jadi panjang ceritanya hingga tentang hubungannya dengan Mirna.
Mendengar cerita Mumu, Randi mengernyitkan dahinya, "Jadi bagaimana caranya kamu bisa lepas dari mereka sedangkan menurut ceritanya kamu dalam keadaan terkepung?"
"Itu hanya keberuntungan saja, Bang. Entah bagaimana serangan aku pas kena ulu hati salah seorang dari mereka hingga tumbang separuh pingsan. Hal ini membuat yang lainnya ketakutan." Ujar Mumu.
Sulit Randi untuk mempercayai sepenuhnya dari cerita Mumu. Bukan karena dia meragukan integritas Mumu, cuma ceritanya seolah-olah preman itu ciut nyalinya hanya karena teman mereka roboh terkena serangan yang tidak disengaja.
Apakah nyali preman sekarang hanya semenir?
Mumu bisa menebak apa yang ada dalam fikiran Bang Randi, tapi ia tak berusaha untuk membuat Bang Randi percaya. Sebaliknya Mumu mengubah topik pembicaraan dengan bertanya, "Bang Randi tinggal sendiri? Tapi banyak pula kendaraan di halaman?"
Randi Sunadar sontak sedih. "Kami tinggal bertiga, Abang dan kedua orang tua Abang. Kami empat bersaudara, kebetulan ketiga abang dan kakak pulang ke sini karena ayah sedang sakit."
"Maaf, Bang..."
Randi Sunandar mengangkat tangannya, "Tak perlu minta maaf, Mumu! Ayah terkena penyakit sekitar sebulan yang lalu. Sakit bagian dadanya sehingga kesulitan bernafas. Abang sudah bawa ke RSUD Dorak, tapi hasil rontgen, ayah tidak mengidap penyakit apa-apa."
Mumu diam menunggu kelanjutan cerita Bang Randi.
"Lalu Abang membawa ayah berobat ke Jakarta tapi hasilnya masih sama. Seminggu yang lalu, Ayah kami bawa ke Singapura karena kebetulan kakak abang yang nomor dua memang tinggal di sana. Tapi pemeriksaan masih sama, ayah tidak mengidap pengakit apa-apa." Randi menarik nafas dengan berat.
"Mungkin bukan penyakit medis, Bang?!"
"Itu juga yand ada dalam fikiran Abang dan Ibu. Oleh sebab itu kami sudah mengundang paranormal yang terkenal di Selatpanjang ini, bukannya berkurang tapi penyakit Ayah bertambah parah. Makanya Ibu menyuruh anak-anaknya yang lain pulang ke rumah. Jadi waktu kamu datang, kami sedang berkumpul di kamar Ayah. Kebetulan saja waktu kamu mengucapkan salam, Abang baru saja ke luar kamar untuk ke kamar mandi."
"Maafkan saya karena dah menganggu Abang." Ucap Mumu sejurus kemudian.
Mumu sangat cocok dengan sifat Bang Randi yang baik ini.
"Bolehkah saya melihat kondisi ayah Abang sebentar? Kebetulan saya paham sedikit tentang ilmu pengobatan."
Randi menatap Mumu dari atas sampai ke bawah, lalu pandangannya berhenti di wajah Mumu seakan-akan menilai ucapan Mumu barusan.
Dia tahu Mumu masih sangat muda.
Jika Mumu pernah belajar tentang ilmu pengobatan dari sejak kecil pun sampai dimanalah kemampuannya?
Tak mungkin dia mampu mengobati penyakit yang Rumah Sakit ternama dalam dan luar negeri saja tak mampu mendeteksi penyakit Ayah.
Tapi melihat wajah Mumu, Randi melihat ketulusan di sana. Oleh sebab itu dia akhirnya berkata, "Mari Abang bawa ke kamar ayah. Tapi kamu jangan memaksakan diri atau pun berkecil hati nantinya." Pesan Randi.
Rumah ini sangat mewah. Jauh lebih mewah dibanding rumah Mirna. Tapi Mumu tak sempat menikmati pemandangan tersebut karena ia mengikuti Bang Randi yang melangkah dengan cepat menuju kamar ayahnya.
Saat mereka masuk, orang yang di dalam ruangan serempak menoleh. Lalu pandangan mereka terkunci ke wajah Mumu.
Beda orang yang berpendidikan dan punya adab, walaupun penasaran dan ada sedikit rasa tidak puas dengan Randi, adiknya karena telah membawa orang luar ke dalam kamar tanpa persetujuan mereka tapi mereka masih bisa menahan diri. Sebagai gantinya mereka hanya mengangguk dan melemparkan senyum ke arah Mumu.
Randi berjalan mendekati mereka, Bang, Kak, kenalkan ini Mumu temannya Randi. Teman Randi ini pernah belajar tentang ilmu pengobatan, jadi dia penasaran ingin melihat keadaan Ayah."
Randi tak mengatakan Mumu ingin mengobati ayah mereka karena pasti abang sama kakaknya tidak percaya, oleh sebab itu dia hanya mengatakan Mumu hanya penasaran.
Sudah lumrah bagi anak-anak muda yang ingin sedikit menyombongkan diri atas kebolehan mereka.
Walaupun Randi menilai Mumu bukanlah pemuda seperti itu, tapi dia juga masihlah seorang anak muda.
"Oh, apakah kamu yakin, Randi?" Tanya Mustafa Akmal saudara Randi yang sulung.
Sepengetahuan Mustafa, adik bungsunya bukanlah orang yang gegabah dan mudah ditipu dengan penampilan seseorang. Adiknya memang baik dan ramah tapi bukan berarti mudah mempercayai seseorang.
"Iya, bang. Sedikit." Randi tersenyum minta maaf.
Mustafa Akmal menoleh ke arah Mumu, "Silahkan kamu melihat keadaan ayah kami. Tapi jangan sampai menganggu istirahatnya. Ayah baru saja dapat tidur."
"Terima kasih atas kesempatannya, Pak." Mumu menanggukan kepalanya dan langsung menuju sisi pembaringan.
Ayah Randi memang sedang tidur, tapi melihat raut wajahnya yang pucat pasi dan sesekali mengernyit, Mumu paham bahwa dia tidak tidur dengan nyenyak.
Sakit apa yang bisa menyebabkan dalam keadaan tidur saja tapi masih terasa?
Mumu perlahan memegang tangan orang tua itu untuk merasakan nadinya.
Tapi denyut nadinya sangat lemah. Untuk menambah tingkat konsentrasinya Mumu perlahan memejamkan mata sambil menerapkan metode pernafasannya.
Sepuluh menit berlalu dalam sekejap. Dahi Mumu sudah dipenuhi dengan keringat. Begitu juga dengan tubuhnya yang lain.
Randi dan saudaranya awalnya tidak terlalu percaya dengan kemampuan Mumu tapi melihat keseriusan Mumu dalam mendeteksi penyakit ayah mereka, mau tak mau terselip juga rasa kagum di hati mereka.
Tak lama kemudian Mumu membuka mata dan menghembuskan nafasnya.
Ia menoleh ke arah Mustafa dan berkata, "Ini memang bukan penyakit jantung walaupun gejalanya hampir sama. Ada dua jaringan yang mengelilingi jantung. Saat ini kedua jaringan itu mengalami sedikit luka sehingga menyebabkan rasa sakit yang tajam di dada bagian kiri."