Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Marini, yang tadinya tampak tenang dan tak terpengaruh oleh tuduhan Tiara, mulai kehilangan kesabarannya. Dia menoleh ke sekelilingnya, laku berdiri dan berjalan menghampiri Tiara.
Dengan suara rendah, dia menatap Tiara dengan tajam dan berkata, "Kalau kamu terus menuduh aku tanpa bukti, mungkin sudah waktunya kita bicara tentang hal-hal yang lebih... pribadi."
Tiara terdiam, tatapannya langsung terfokus pada Marini, merasa ada ancaman yang sedang mendekat. "Apa maksudmu?" tanyanya, meski dalam hati dia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres di balik kata-kata Marini.
Marini tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak menyenangkan. "Aku tidak berniat mencari masalah, tapi kalau kamu terus mendesak, aku tidak punya pilihan selain mengungkap sesuatu yang mungkin kamu tak mau orang lain tahu." Marini mendekatkan wajahnya, suaranya hampir berbisik. "Kita bicara tentang hubungan kamu dengan pak Surya."
Mata Tiara melebar, napasnya tertahan. Nama Surya terlintas di pikirannya, dan detik itu juga perasaan takut mulai menyelimuti. "Kamu tidak tahu apa-apa," bantah Tiara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Oh, aku tahu lebih dari yang kamu pikirkan Tiara" Marini menyahut dengan nada dingin. "Surya, ketua tim-mu, setahuku dia sudah menikah, dan memiliki dua orang anak yang beranjak remaja. Apa istrinya tahu soal hubungan terlarangmu dengannya. Kau tahu kan bagaimana kebijakan perusahaan, mengenai skandal diantara pegawai?"
Marini berjalan lebih mendekat ke arah Tiara, dan mendekatkan wajahnya untuk berbisik ke telinga Tiara, "Oh ya, satu lagi. Kudengar kau juga tinggal di gedung apartemen yang sama dengan apartemen yang ditempati oleh almarhum Bu Fifi, bukankah untuk apartemen semewah itu, gajimu tidak akan cukup meskipun hanya untuk menyewanya?... Pak Surya kan yang membayarnya? Kamu pikir aku tidak tahu?" bisik Marini.
"Kamu lupa, kalau aku adalah staff divisi keuangan? Aku tahu berapa besar gaji kamu Tiara, bahkan setiap sen terakhir" ucap Marini, seraya menegakkan kembali tubuhnya.
Tiara membeku di tempatnya, wajahnya memucat. Kenyataan bahwa Marini tahu tentang semua ini membuat dadanya sesak. Hubungannya dengan Surya selama ini adalah rahasia yang dia jaga mati-matian, terutama karena posisi Surya sebagai ketua tim. Jika ada orang lain yang tahu, apalagi di perusahaan, kariernya bisa hancur seketika.
Kebijakan perusahaan sangat keras menentang skandal diantara pegawai, meskipun perusahaan tidak melarang hubungan asmara antar pegawai, tetapi perusahaan tidak akan mentolerir hubungn terlarang terutama perselingkuhan. Resikonya adalah dipecat secara tidak hormat, dan dipastikan tidak akan ada perusahaan manapun yang akan menerima dirinya bekerja, karena perusahaan tidak akan mengeluarkan surat rekomendasi bagi pegawai yang dipecat secara tidak hormat.
Jika hal itu sampai terjadi, semua karir yang dia perjuangkan, akan berakhir sia-sia. Tiara tidak ingin hal itu terjadi.
"Aku tidak bermaksud mengancammu, Tiara," Marini berkata sambil mengelus bahu Tiara dengan nada santai yang penuh sindiran. "Tapi mungkin kamu perlu berhati-hati sebelum menuduh orang lain tanpa bukti. Karena bisa saja, orang yang kau tuduh justru memegang rahasia yang dapat menghancurkanmu dalam sekejap."
Tiara tak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa menatap Marini dengan campuran ketakutan dan kemarahan yang tertahan. Kakinya terasa lemas, seolah-olah semua kekuatannya telah terkuras habis oleh peringatan Marini.
"Jadi, aku sarankan, jika kamu ingin tetap berada di posisi aman, berhenti menuduh orang sembarangan," ujar Marini sebelum akhirnya melambaikan tangan dengan isyarat agar Tiara meninggalkan ruangannya.
Tiara, dengan perasaan terguncang dan hancur, hanya bisa mengangguk pelan sebelum akhirnya berjalan keluar dari ruangan Marini.
...***...
Sore itu, ketika Dina bersiap akan pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia merasakan getaran dari ponselnya. Ketika dia memeriksanya, dia melihat pesan dari Ferdi yang berbunyi,"Temui aku di ruanganku kalau kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu."
Dina merasakan jantungnya sedikit berdebar, dia bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan atasannya kali ini. Apakah terkait pekerjaan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih serius?
Dengan perasaan campur aduk, Dina membereskan mejanya dan bersiap menuju ruangan Ferdi. Sepanjang perjalanan, berbagai spekulasi berputar di benaknya. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Ferdi, Dina menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.
"Masuk," terdengar suara Ferdi dari dalam.
Dina membuka pintu dan masuk, melihat Ferdi yang sedang duduk di kursinya, tampak fokus dengan sesuatu di layar laptopnya. Tatapannya langsung terarah pada Dina saat dia masuk, dan dia memberi isyarat dengan anggukan agar Dina duduk di depan mejanya.
Selain itu, juga sudah ada Aldo disana yang langsung melambaikan tangan begitu melihat kedatangan Dina.
"Duduklah" ucap Ferdi sambil menutup laptopnya, fokus sepenuhnya pada Dina.
...***...
Ferdi menatap Dina dengan serius, lalu memulai pembicaraan, "Dina, aku ingin tahu... bagaimana perasaanmu tentang postingan anonim di buletin kantor itu?" Nada suaranya terdengar tenang, tapi jelas menunjukkan bahwa dia ingin mendengar langsung dari Dina tentang situasi yang menghebohkan itu.
Dina terdiam sejenak, matanya menunduk sebelum akhirnya menatap Ferdi. “Sebenarnya... saya merasa sangat kaget dan malu. Saya tidak tahu siapa yang tega melakukan ini, tapi rasanya tidak adil, Pak. Saya bekerja keras di sini dan anda sendiri tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa."
Ferdi mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, "Aku mengerti. Kau pasti merasa malu dan terkejut, aku sudah meminta bagian IT untuk melacak siapa yang sudah mengunggah postingan tersebut. Asal kau tahu, aku melakukan ini bukan karena untuk membelamu, tapi ini menyangkut reputasi perusahaan."
Mendengar hal itu, Aldo terbatuk berdehem menggoda Ferdi, "Bisa saja kulkas sepuluh pintu" batinnya.
Dina merasa sedikit lega mendengar kata-kata Ferdi, meski tetap tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran yang dirasakannya. "Terima kasih, Pak Ferdi. Saya hanya... tidak ingin ini mengganggu pekerjaan saya."
Ferdi mengangguk, "Jangan khawatir soal itu. Fokus saja pada pekerjaanmu, dan jika ada sesuatu yang lain, bicarakan padaku."
...***...
Ferdi menatap Dina dengan penuh perhatian. "Dina, kalau seandainya kamu tahu siapa yang mengirim postingan itu, apa yang ingin kamu lakukan?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Dina terdiam, memikirkan pertanyaan itu. Sebenarnya, amarah dan rasa sakit masih bergejolak di dalam dirinya, tapi ia tidak ingin memperpanjang masalah. Setelah beberapa saat, ia menjawab dengan suara tenang, "Saya... saya hanya ingin tahu alasannya. Kenapa dia melakukan itu? Kenapa harus mempermalukan saya dengan cara seperti itu? Walaupun dalam diri saya, ingin sekali saya membalas perbuatannya"
Ferdi mengangguk perlahan, memahami jawaban Dina. "Kamu tidak berpikir untuk balas dendam atau membalas perbuatannya?"
Dina menggeleng pelan. "Sejujurnya iya, tapi saya memilih untuk tidak melakukannya, Pak. Saya hanya ingin tahu siapa yang melakukan ini. Selain itu saya ingin fokus dengan masalah hak asuh anak saya, saya tidak ingin masalah ini membuat fokus saya jadi terpecah."
Aldo, yang sejak tadi menyimak percakapan mereka, akhirnya angkat bicara. "Dina, apa kamu tidak ingin menuntut orang itu secara hukum? Orang yang menyebarkan berita fitnah seperti itu sudah mencemarkan nama baikmu. Ini bukan masalah kecil," katanya tegas, tatapannya serius.
Dina menoleh ke arah Aldo, tampak ragu. "Semua saya serahkan bagaimana perusahaan ingin menyelesaikannya, saya akan ikut. Karena disini bukan hanya nama saya yang dicemarkan, tapi juga perusahaan. Ditambah lagi, jika saya menuntut, saya takut jika mantan suami saya mendengar soal ini, dan menjadikan ini alasan untuk semakin menjauhkan saya dari anak saya. Jadi lebih baik semua diproses seperti yang diinginkan oleh perusahaan saja."
Aldo tersenyum kecil, menenangkan. "Itu bukan masalah. Kita bisa menelusuri siapa yang mengunggahnya. Kamu punya hak untuk membela dirimu sendiri. Kalau dibiarkan, orang lain mungkin akan berpikir kalau kamu benar-benar melakukan hal yang dituduhkan di postingan itu."
Ferdi yang mendengar usul Aldo, memandang Dina, seolah menunggu tanggapannya. "Aldo benar," kata Ferdi pelan. "Kalau kamu mau, aku bisa membantumu mengurus semuanya. Aku bisa meminta pengacara perusahaan untuk mendampingimu."
Dina terlihat bingung, antara mengambil langkah hukum atau membiarkan semuanya berlalu. "Terima kasih untuk sarannya, Aldo," ucapnya akhirnya, meski dalam hatinya ia masih berat untuk menempuh jalur hukum.
...****************...
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina