--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 18
Rencana bertolak ke Kerajaan Mávros tiba-tiba urung.
Kaisar Bjorn memanggil Xavier ke istana walau tugas pelatihan keprajuritan tidak terjadwal di hari ini.
“Saya menghadap Yang Mulia Kaisar." Membawa segala hormat, Xavier sudah berdiri di hadapan Bjorn.
Tidak di singgasananya, Kaisar mengajak bicara di tempat pribadi, serupa ruang tamu di dalam kamar. Pemimpin ini bahkan mengenakan pakaian santai yang dipakai di luar tugas kekaisaran.
Anehnya, “Ashiana tidak perlu diikutsertakan,” kata Bjorn saat mengabari undangan pribadinya melalui telepon.
“Maaf memanggilmu dengan cara seperti ini, Kapten,” kata Kaisar, sudah duduk di kursinya, bersebrang dengan Xavier terhalang meja.
“Tidak masalah, Yang Mulia. Aku tetap merasa terhormat,” tanggap Xavier. Tidak lagi menghambakan diri, hormatnya sekarang bernilai seorang keponakan kaisar dan suami Asha.
“Terima kasih atas pengertianmu." Kaisar menuang teh dari dalam poci emasnya ke dalam gelas. “Aku senang kau tidak sungkan lagi. Kita sudah jadi keluarga. Akan lebih baik bicara santai apalagi di saat tidak ada siapa pun di sini selain kita. Benar, 'kan?”
Xavier hanya mengangguk tipis, tapi dalam mata merah itu, tetap penuh dengan pengamatan lekat.
“Ada keinginan besar.” Dia bisa menebak dari gelagat dan sorot mata.
Asap yang masih mengepul dengan aroma teh hijau segar menyeruak ke penciuman, Xavier menerima lekas cangkir teh dari tangan Kaisar. “Terima kasih.” Untuk tehnya. “Saya mengerti.” Untuk tanggapan kalimat akhir Bjorn.
Mulai Bjorn menuang teh untuk dirinya sendiri. “Nikmati tehnya dulu sebelum kita masuk ke pembicaraan."
“Baik, Yang Mulia.”
Ritual sederhana itu berlangsung hanya kurang dari satu menit. Dalam gelas masih bersisa setengah volume.
Kaisar mulai mengutarakan tujuannya mengundang Xavier.
“Begini ... Arion dalam keadaan fisik yang tidak stabil akhir-akhir ini. Dia dalam penanganan dokter. Tapi ada sebuah tugas yang harus diembannya sebagai Putra Mahkota. Ada pengembangan kawasan hutan di ujung kepulauan Seth.”
Sedikit banyak Xavier langsung paham kemana pembicaraan ini akan mengarah.
Dan benar, sesuai dugaannya.
“Aku ingin kau menggantikan Arion pergi ke sana. Tidak sebagai panglima, tapi sebagai sepupunya, perwakilan istana Kaisar.”
Kepulauan Seth ....
Xavier tentu sangat tahu wilayah itu, dia pernah berperang di sana melawan para perompak bajak laut yang ingin menguasai.
Mengingat itu, dia jadi punya ide cemerlang.
“Aku bersedia saja menggantikan Putra Mahkota. Tapi mohon maaf, Yang Mulia, karena sepertinya ini bukan tugas yang ringan dan lumayan menyita waktu, aku ingin mengajukan syarat.”
Kaisar melengak, sedikit terkejut dengan keberanian itu, lalu bertanya, “Syarat?”
“Ya!” jawab lekas Xavier. “Anggap saja seperti pertukaran bisnis yang saling menguntungkan.”
Kening Kaisar masih berkerut. “Baik,” katanya, sedikit bernada ragu, lalu bertanya, “Apa syaratnya itu?”
Sesaat Xavier diam, sedikit mempermainkan Bjorn.
Lalu ....
“Aku meminta kebebasan untuk Grim Hills!”
Kaisar terheran dan melengak. “Grim Hills?” ulangnya.
“Ya! Aku ingin Yang Mulia membebaskan apa pun yang akan aku lakukan berkaitan dengan Grim Hills.”
Belum ada yang mengejutkan. Pemberian Grim Hills memang adalah kebebasan untuk Zorg, karena wilayah itu sama seperti Xavier, dianggap sampah.
“Ya! Aku bebaskan apa pun. Wilayah itu sudah jadi milikmu. Apa kau akan mengelolanya kembali?” tanya Kaisar.
“Sepertinya begitu. Karena itu hadiah berharga dari Anda, aku ingin memanfaatkan sebaik-baiknya.”
“Itu bagus, Kapten. Apa yang akan kau lakukan dengan wilayah itu?” Kaisar langsung tertarik dan penasaran, sampai menegakkan tubuh dari sandarnya.
“Aku belum memastikan," jawab Xavier, Kaisar diam jadi pendengar baik.
Ekspresi Xavier dibuatnya penuh angan, matanya menatap searah guci besar di samping nakas. “Tapi aku mulai berpikir untuk membangun bisnis di sana. Seperti peternakan domba, kebun sayuran, budidaya ikan ... atau mungkin pabrik makanan.”
Terdengar bahagia dan bersemangat.
Akan tetapi Kaisar ... mendengar cetusan itu, dia sungguh ingin tertawa, tapi ditahannya sekuat hati untuk tak menampakkan singgungan nyata. “Itu bagus! Kau pasti bisa melakukannya," katanya penuh dukungan.
Namun dalam hatinya, “Mustahil!
Grim Hills yang kelam itu ... tidak ada padang rumput untuk menggembala domba, tanahnya tandus dan sangat tak cocok untuk sayuran, dan pabrik makanan ....
“Haha!”
Manusia mana yang mau bekerja di sana sedang air saja sulit didapat? Akan mengelola dengan cara apa mereka?!
“Tapi untuk melakukan itu, tentu aku membutuhkan bantuan Anda.”
PATS!
Perhatian Kaisar terenggut lagi.
“Bantuanku? Seperti?" Gesturnya ada getaran. Dia sudah cemas saja menebak kemana konteks kalimat Xavier mengarah, sampai tak ragu melontar tanya, “Apakah keuangan?”
Xavier tersenyum, menyesap tehnya lagi lalu menjawab, “Bukan, Yang Mulia.”
Akhirnya bukan uang, Kaisar bisa bernapas lega. “Jika bukan uang, lantas?”
Ini dia. Inti dari tujuan Xavier yang sebenarnya dari negosiasi dadakan ini, dia mulai sangat serius.
“Untuk memulai sebuah skala bisnis, aku membutuhkan orang-orang pendukung."
Kening Bjorn mulai mengerut dalam keseriusan.
Beberapa saat Xavier terdiam mengolah pikir, lalu mengungkap, “Pinjamkan aku lencana kekuasaan Anda untuk menarik kembali para penduduk Grim Hills dari kerja paksa Kerajaan Mávros.”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/