(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Pulang
Rayhan hanya menatap Marchel tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang dokter kepadanya, membuat Marchel mengepalkan tangannya. Jika saja Rayhan bukan anak di bawah umur, mungkin Marchel sudah menghadiahinya kepalan tangan.
Tanpa permisi, Marchel meninggalkan Rayhan yang masih mematung di sana.
Sedangkan ibu menerbitkan senyum kemenangan. Wanita paruh baya itu bagaikan mendapatkan senjata ampuh untuk membuat putranya membenci Sheila.
Sementara Marchel sudah masuk ke rumah, laki-laki bertubuh tegak itu melangkahkan kakinya menapaki satu persatu anak tangga dengan perasaan emosi. Pikirannya melayang kemana-mana, mengingat sang istri pulang dalam keadaan sangat kacau.
Hingga akhirnya, Marchel tiba di depan kamar Sheila yang tertutup rapat. Dia mengetuk pintu kamar itu dengan sedikit keras.
"Sheila... Buka pintunya! Kita harus bicara," ucap Marchel dengan mengeraskan suaranya.
Tidak ada sahutan. Marchel akhirnya memutar gagang pintu kamar itu. Dan, terbuka... Kamar itu tidak dikunci. Marchel pun menyeret langkahnya memasuki kamar sang istri.
Terdengarlah suara isakan memilukan yang berasal dari sudut kamar itu. Marchel mengarahkan pandangannya pada sumber suara. Hingga matanya menangkap Sheila terduduk di sudut kamar itu dengan posisi telungkup.
Marchel segera mendekat pada istri kecilnya itu dan berjongkok di depannya.
"Sheila, kita harus bicara!" ucap Marchel melembutkan suaranya. Entah mengapa, ada perasaan tidak tega melihat Sheila dalam keadaan seperti itu. Namun, Sheila tidak menjawab. Gadis kecil itu hanya terus terisak.
"Sheila..." panggil Marchel sekali lagi.
Akhirnya, Sheila memberanikan diri mengangkat kepalanya, lalu menatap bola mata suaminya itu dengan deraian air mata yang membanjiri wajah tirusnya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau pulang dalam keadaan seperti ini? Kau dan temanmu tadi dari mana?"
Selama beberapa menit, Sheila terdiam. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, hingga muncullah keberanian yang entah darimana asalnya.
"Kak Marchel, tolong izinkan aku pulang ke rumahku saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku mau tinggal di rumahku... Kak Marcel bisa kan, menceraikan aku..." Sheila berbicara dengan nada yang bergetar.
Marchel mematung, entah mengapa hatinya merasa diremas mendengar ucapan Sheila.
"Kenapa? Kenapa kau ingin aku menceraikanmu? Kau ingin bebas dengan temanmu tadi?"
Mendengar ucapan Marchel yang menusuk ke hatinya itu, Sheila hanya mampu menundukkan kepalanya. Jika bukan karena ditolong Rayhan, mungkin Sheila masih terkurung di dalam gudang penuh debu itu.
"Lambat laun Kak Marchel juga akan menceraikan aku kan? Kenapa bukan sekarang saja?" Sheila menyeka air matanya yang berjatuhan tanpa izin, "dan aku akan pulang ke rumahku. Di sini, aku hanya menjadi beban semua orang."
Marchel memejamkan matanya mendengar ucapan Sheila. Laki-laki itupun menyadari sikap dinginnya selama ini kepada istri kecilnya itu.
"Kau tahu Sheila, pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Tidak asal menikah, lalu bercerai. Aku sudah berjanji pada Shanum akan menjagamu. Jadi aku tidak bisa menceraikanmu," ucap Marchel menekan. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau darimana? Kenapa kau pulang dalam keadaan seperti ini?"
"Tentu saja keluyuran tidak jelas dengan temannya," Ibu datang menyela pembicaraan Marchel dan Sheila.
Seketika, Sheila kembali menundukkan kepalanya, gadis polos itu begitu takut melihat raut wajah sang mertua yang selama ini bersikap sangat kasar padanya.
"Bu, aku mohon, tinggalkan kami berdua. Aku ingin bicara berdua dengan Sheila," ucap Marchel tanpa mengalihkan pandangannya dari Sheila.
"Apalagi yang mau kau bicarakan dengannya, Marchel... Sudah jelas dia anak yang tidak benar. Pulang malam-malam dengan diantar seorang laki-laki. Coba lihat penampilannya yang acak-acakan itu. Entah dia darimana." Ibu menatap tajam pada Sheila seraya berdecih menambah ketakutan di hati Sheila.
"Ibu... Aku mohon! Sheila adalah istriku! Biarkan masalah Sheila aku saja yang mengurusnya."
Wanita paruh baya itupun semakin kesal, menatap Sheila dengan tajam dan penuh kebencian. "Kau sudah mengambil keputusan yang salah karena menikahi anak liar ini, Marchel! Ibu heran, bagaimana Shanum mendidiknya selama ini. Kenapa dia menjadi anak yang sangat liar?"
Marchel menghela napas kasar mendengar ucapan sang ibu, lalu berdiri dari posisi berjongkoknya.
"CUKUP, BU!" Marchel mengeraskan suaranya membuat ibu tersentak kaget. Untuk pertama kalinya, anaknya itu mengeraskan suara di hadapan wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu.
"Apa?" Ibu tampak sangat terkejut, "Marchel, kau sama sekali tidak pernah membentak ibu sebelumnya. Dan sekarang, kau mengeraskan suaramu di hadapan ibu hanya karena anak itu."
Marchel memejamkan matanya, frustrasi menghadapi keadaan sulit ini. Menyadari ibunya sangat tidak menyukai Sheila.
"Aku minta maaf, Bu! Aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja aku ingin menyelesaikan masalah ini dengan Sheila. Bu, aku mohon... Aku ingin bicara berdua dengan Sheila."
Karena merasa kesal, anaknya lebih memilih Sheila, ibu keluar dari ruangan itu dengan raut wajah penuh kemarahan. Tinggallah Marchel berdua dengan Sheila di kamar itu.
Sheila belum beranjak dari posisi duduknya di lantai dengan memeluk lututnya dan menelungkupkan wajahnya. Laki-laki itu kemudian kembali mendekat pada sang istri dan kembali berjongkok di depannya.
"Sheila..." panggil Marchel.
Sheila tak bergeming dan tak juga menyahut, dia diam mematung. Dan, saat Marchel menyentuh lengannya, tubuh Sheila hendak tersungkur ke lantai. Beruntung, Marchel dengan sigap menangkapnya. Laki-laki itupun menyadari sang istri sedang pingsan.
Dengan paniknya, Marchel menggendong Sheila dan membaringkannya ke tempat tidur. Lalu melepas jaket yang dipakai Sheila. Marchel menepuk wajah Sheila dengan lembut beberapa kali namun gadis itu masih tak bergeming.
Dengan segera dokter itu kembali ke kamarnya mengambil tas kerjanya, lalu kembali ke kamar sang istri. Duduk di bibir tempat tidur, menatap lekat-lekat wajah Sheila, lalu melepaskan kacamata tebal yang melekat di sana. Lalu kemudian, Marchel memeriksa denyut jantung dan tekanan darah sang istri.
Buru-buru, Marchel keluar dari kamar Sheila menuju dapur dimana kotak obat tersedia. Lalu mengambil minyak angin dari dalam kotak itu.
"Bibi, bisa ikut aku ke kamar Sheila? Dia pingsan..." ucap Marchel pada Bibi Yum saat melihatnya melintas.
"Sheila pingsan? Apa yang terjadi?" Wanita paruh baya itu tampak sangat khawatir.
"Entahlah, Bibi! Dia baru pulang." Marchel kemudian segera melangkahkan kakinya diikuti oleh Bibi Yum.
Laki-laki itu mengoleskan minyak angin di pangkal hidung sang istri. Namun, Sheila tidak terbangun juga.
"Ada apa dengannya?" tanya Bibi Yum. Wanita itu menatap iba pada Sheila.
"Dia tidak apa-apa, Bibi. Hanya kelelahan saja, jadi pingsan." jawab marchel. "Bibi, tolong gantikan pakaiannya. Aku akan menunggu di luar."
"Baik..."
Marchel pun keluar dari kamar itu, sementara Bibi Yum mengganti pakaian Sheila yang sangat kotor dan penuh debu. Wanita paruh baya itu menjatuhkan setitik air matanya, melihat Sheila yang selalu diperlakukan tidak adil oleh orang-orang di sekitarnya.
Di luar kamar, Marchel menyandarkan punggungnya di pilar. Pikirannya masih tertuju pada anak laki-laki yang selalu menempel pada sang istri. Ada perasaan tidak suka yang dirasakan Marchel saat melihat Sheila dekat dengan laki-laki lain.
****
BERSAMBUNG.