Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Aftermath of Intimacy
Matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Aroma kopi dari lantai bawah samar-samar tercium, tetapi tidak cukup kuat untuk membangunkan Shabiya dengan lembut.
Shabiya terbangun dengan kepala sedikit pusing, tubuh terasa lelah dan nyeri di beberapa tempat. Selimut tipis yang membalut tubuh telanjangnya terasa ringan, tetapi tidak cukup untuk menyembunyikan rasa malu dan frustrasi yang mulai menguasainya. Kilasan kejadian semalam perlahan kembali ke dalam ingatannya.
Di sebelahnya, sisi ranjang sudah kosong, dingin, seperti pemiliknya telah lama pergi. Napasnya keluar dalam desah frustrasi. Ia tahu betul mengapa tubuhnya terasa seperti ini, tetapi itu tak mengurangi kekesalan yang mengendap di hatinya.
Ia mencoba bangkit, tapi rasa nyeri di panggulnya memaksanya kembali duduk. "Sial," umpatnya pelan, memijat pelipisnya sambil bersandar pada kepala ranjang. Adegan semalam terlintas dalam benaknya seperti film yang diputar ulang. Keintiman yang intens, ucapan manis Chandra yang seolah-olah membawa janji, dan cara pria itu memperlakukannya—seolah ia adalah satu-satunya wanita yang penting di dunia ini.
Namun pagi ini, Chandra sudah menghilang.
“Tentu saja,” gumamnya pahit. Sebuah ejekan untuk dirinya sendiri yang sempat percaya bahwa semalam lebih dari sekadar kewajiban bagi Chandra.
Ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Chandra sudah pernah membicarakannya. Anak. Pewaris. Kewajiban yang datang bersama gelar istri seorang pria seperti Chandra.
Shabiya menghela napas panjang, menatap ke arah sisi ranjang yang kosong. Bantal di sebelahnya sudah dingin, dan itu hanya mengonfirmasi kecurigaannya. Ia pasti sudah berangkat ke kantor. Meninggalkannya setelah malam panjang yang seolah penuh makna, tetapi nyatanya hanyalah ritual untuk menjaga garis keturunan keluarga.
Hatinya mendidih oleh perasaan campur aduk: kecewa, sedih, dan marah. Ia tidak tahu mana yang lebih dominan. Ia merasa seperti bidak dalam permainan yang tidak ia minta untuk ikut serta.
Sambil bergumam pelan, ia mencoba berdiri lagi, tetapi rasa nyeri membuatnya menyerah dan jatuh kembali ke ranjang. “Sial,” desisnya lagi, kali ini dengan nada frustrasi.
***
Pintu kamar terbuka dengan perlahan, dan Chandra masuk dengan langkah tenang. Pakaiannya sudah rapi—kemeja putih dengan potongan sempurna yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam. Setelan itu begitu cocok dengannya, menonjolkan aura dominasi dan kekuasaan yang selalu ia bawa ke mana pun.
Mata gelapnya langsung tertuju pada Shabiya, yang masih bersandar pada kepala ranjang dengan wajah kesal bercampur lelah. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya saat ia melihat istrinya yang tampak kesulitan untuk sekadar bangkit.
“Aku pikir kau sudah berangkat ke kantor,” sindir Shabiya, suaranya sedikit serak. Dia merasa lega karena dugaannya salah, tapi rasa itu tenggelam dalam rasa malu karena Chandra melihatnya dalam keadaan selemah ini.
Pria itu berhenti di tepi ranjang, matanya menyapu tubuh Shabiya dengan tatapan analitis, seolah sedang menilai seberapa buruk kondisi istrinya.
“Aku baru saja menghubungi sekretarismu, untuk memberitahunya bahwa kau tidak akan ke kantor hari ini,” ucap Chandra dengan tenang, seolah keputusannya adalah hal yang paling masuk akal di dunia.
Mata Shabiya langsung melebar, menatap Chandra dengan campuran keterkejutan dan kemarahan. "Apa?! Aku tidak sakit!" protesnya, suaranya naik satu oktaf.
Chandra tertawa pelan, tawa rendah yang terdengar seperti ejekan. “Kalau begitu, silakan berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Aku akan menunggu.” Nada tantangan dalam suaranya membuat darah Shabiya mendidih.
Dia mencoba membuktikan ucapannya, menggeser selimut untuk melilit tubuh telanjangnya dan menurunkan kakinya ke lantai. Tapi begitu mencoba berdiri, rasa nyeri itu menusuk tajam, membuatnya terhuyung sebelum jatuh kembali ke ranjang.
Chandra menundukkan kepalanya, memandangnya dengan senyum penuh kemenangan. "Seperti yang aku duga," katanya lembut.
Wajah Shabiya memerah, campuran malu dan marah. “Kau…”
“Aku keluar kamar agar tidak mengganggu tidurmu,” potong Chandra, suaranya melunak, tetapi tetap penuh otoritas. Ia duduk di tepi ranjang, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Shabiya. “Dan aku ingin memastikan kau istirahat dengan benar hari ini.”
Perkataannya menghentikan semua balasan tajam yang sudah ada di ujung lidah Shabiya. Kata-kata itu, meskipun sederhana, membuat hatinya terasa hangat. Tapi ia terlalu gengsi untuk mengucapkan terima kasih.
"Sarapan akan kubawakan ke kamar," lanjut Chandra, menggeser topik tanpa memberikan ruang untuk perdebatan. "Kurasa kau tidak akan sanggup untuk turun ke ruang makan."
"Aku bisa sendiri," balas Shabiya kesal, wajahnya memerah karena merasa dipermalukan.
Chandra mendekat, menurunkan tubuhnya hingga matanya sejajar dengan Shabiya. "Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih keras kepala hari ini," katanya dengan senyum menggoda.
"Kau sangat menyebalkan," gumam Shabiya pelan, matanya menyipit.
"Aku tahu kau menyukaiku," balas Chandra sambil berdiri lagi, kali ini dengan seringai puas.
Shabiya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan senyuman kecil yang mulai muncul di sudut bibirnya. "Kau bisa bekerja dengan nyaman di kantor sementara aku bosan di rumah tanpa melakukan apa-apa."
Chandra mengangkat alis, tersenyum tipis. "Jika itu artinya kau ingin aku menemanimu di rumah dan tidak bekerja, katakan saja, Shabiya. Aku akan melakukannya."
Wajah Shabiya memerah. Ia tak mampu membalas, hanya memalingkan wajahnya, pura-pura tidak peduli. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang bergejolak, perasaan yang bahkan dia sendiri tidak ingin akui.
Saat itu, suara dering ponsel memecah keheningan. Shabiya meraih perangkat itu dari meja di samping ranjang, dan wajahnya berubah saat melihat nama di layar. Awan.
***