Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penculikan ?
Namun, suasana yang sudah cukup canggung itu segera terganggu oleh suara ketukan keras di pintu. Dante berdiri, sedikit mengernyit heran. Tidak mungkin ada yang tahu mereka menginap di sini, pikirnya. Ia membuka pintu, dan di depannya berdiri dua polisi dengan wajah serius.
“Dante Evander?” salah satu polisi bertanya dengan nada tegas.
Dante mengangguk, bingung dengan situasi yang tiba-tiba ini. “Ya, itu saya. Ada apa?”
Polisi itu melirik ke dalam kamar, matanya bertemu dengan Naya yang masih duduk di atas tempat tidur. "Kami mendapat laporan dari seorang pria bernama Arfan bahwa wanita ini—Naya Amira—diculik oleh Anda tadi malam."
Naya terkejut, jantungnya berdebar kencang saat mendengar nama Arfan disebutkan. Sementara itu, Dante menatap kedua polisi itu dengan alis terangkat tinggi. "Diculik?" Dante mengulangi kata itu, suaranya terdengar setengah tidak percaya. "Itu tidak benar. Naya datang bersama saya secara sukarela."
Salah satu polisi mengeluarkan catatan kecil dari sakunya. "Menurut laporan Arfan, dia melihat Nona Naya dibawa pergi oleh seseorang di dekat villa mereka. Dia mengatakan wanita itu dibawa tanpa seizin atau persetujuan."
Naya berdiri dari tempat tidur, wajahnya memucat karena kaget. "Ini tidak benar! Aku yang meminta Dante membawaku pergi. Arfan… dia berbohong. Ada sesuatu yang terjadi antara kami," jelasnya, meskipun suaranya sedikit gemetar karena gugup.
Polisi itu mengangguk, meski wajahnya tetap serius. “Kami tetap harus meminta kalian berdua ikut ke kantor polisi untuk memberikan pernyataan. Ini sudah menjadi kasus resmi, dan kami harus menyelidiki lebih lanjut.”
Dante menatap Naya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Jelas ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan Naya dan Arfan, dan situasi ini kini berubah menjadi lebih serius dari yang ia bayangkan. "Baiklah, kami akan ikut," kata Dante akhirnya, tidak ingin memperpanjang perdebatan di depan polisi.
Naya menghela napas dalam-dalam, merasa jantungnya seperti sedang berkejaran di dalam dada. Ia tahu Arfan bisa berbuat hal yang impulsif, tapi tidak menyangka bahwa dia akan melaporkan Dante atas tuduhan penculikan hanya karena dia ingin pergi darinya.
Mereka berdua diantar ke mobil polisi yang diparkir di depan penginapan, dan suasana menjadi semakin tegang. Selama perjalanan, Naya berusaha memikirkan apa yang akan ia katakan di kantor polisi nanti. Ia merasa campur aduk antara marah, takut, dan kecewa pada Arfan—pria yang seharusnya mencintainya, tetapi kini malah membuat situasi semakin kacau.
Begitu tiba di kantor polisi, Naya dan Dante dibawa ke ruang interogasi terpisah untuk memberikan kesaksian masing-masing. Naya duduk di depan seorang penyelidik, berusaha menenangkan pikirannya.
“Kami mendengar bahwa ada masalah antara Anda dan Arfan sebelum kejadian ini,” kata penyelidik itu, memulai interogasi dengan nada lembut.
Naya mengangguk pelan. “Ya, benar. Kami sedang… ada masalah pribadi. Saya tidak diculik oleh Dante. Malam itu, saya memang memintanya untuk membawa saya pergi karena saya tidak ingin menghadapi Arfan setelah apa yang saya ketahui.”
Penyelidik itu memiringkan kepala, mencoba memahami pernyataan Naya. "Apakah Anda merasa terancam oleh Arfan?"
Naya terdiam sejenak, memikirkan semua yang terjadi. “Bukan secara fisik, tapi… secara emosional, ya. Saya baru saja tahu kalau dia berselingkuh. Dan ketika saya tahu itu, saya merasa tidak bisa berada di dekatnya lagi. Itulah sebabnya saya meminta Dante membawa saya pergi.”
Penyelidik itu mencatat sesuatu di buku catatannya, lalu menatap Naya dengan serius. "Baik, kami akan menyelidiki lebih lanjut. Untuk saat ini, Anda bebas, tapi kami akan tetap berhubungan jika perlu klarifikasi tambahan."
Setelah interogasi berakhir, Naya keluar dari ruang interogasi dan melihat Dante sedang menunggu di luar. Wajahnya terlihat tegang, tapi ia tetap tenang seperti biasa. "Kau baik-baik saja?" tanya Dante, meskipun nada suaranya tetap datar.
Naya mengangguk, meski wajahnya masih memancarkan kekhawatiran. "Ya, aku sudah menjelaskan semuanya. Aku hanya tidak menyangka ini akan terjadi."
Dante menatap Naya sejenak, lalu menghela napas. "Arfan memang gila jika berpikir bisa melaporkan kasus ini tanpa alasan yang jelas."
Naya tersenyum pahit. "Ya, mungkin dia benar-benar panik setelah apa yang terjadi. Tapi ini tidak akan membuat semuanya jadi lebih baik. Aku harus menghadapi ini."
Dante tidak berkata apa-apa lagi, tapi ia tahu bahwa masalah Naya dengan Arfan jauh dari selesai. Mereka berdua keluar dari kantor polisi, angin pagi yang dingin menyambut mereka di luar. Naya merasa jantungnya masih berdetak cepat, dan ia tahu bahwa langkah selanjutnya dalam hidupnya akan penuh tantangan.
Ketika Naya dan Dante baru saja keluar dari kantor polisi, angin dingin masih menyelimuti pagi itu. Naya mencoba menarik napas dalam, berharap rasa lega segera datang setelah malam yang penuh ketegangan. Namun, perasaan lega itu hilang begitu saja saat ia melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di seberang jalan—Arfan.
"Sayang, kamu gapapa?" tanya Arfan dengan nada yang terdengar panik, tetapi wajahnya jelas menunjukkan kepanikan yang bercampur dengan kemarahan. Ia berjalan cepat menghampiri Naya, seolah-olah baru saja melihatnya kembali setelah peristiwa yang buruk.
Naya terkejut melihat Arfan di sana. Matanya menyipit, tidak yakin bagaimana harus menanggapi pria yang baru saja melaporkannya ke polisi, menuduhnya diculik. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arfan?" tanya Naya dingin, suaranya penuh kekecewaan.
Arfan menatap Naya dengan tatapan bingung dan penuh kecemasan. "Aku khawatir tentang kamu! Kamu pergi begitu saja, dibawa oleh orang asing ini!" Suaranya bergetar, seolah-olah ia berusaha keras untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar dalam situasi ini.
Naya tidak tahu harus tertawa atau menangis. Ia merasa tubuhnya kaku, seluruh emosinya campur aduk antara marah, sedih, dan jengkel. "Orang asing?" Naya mendesis. "Aku yang meminta Dante membawaku pergi, Arfan. Kamu tahu itu! Berhenti berpura-pura seolah-olah kamu adalah korban di sini."
Sebelum Arfan sempat menjawab, Dante, yang sejak tadi hanya berdiri di samping Naya dengan tangan dimasukkan ke saku jaketnya, berkata dengan suara yang dingin namun tegas, "Sepertinya sudah jelas siapa yang perlu dijelaskan di sini. Naya tidak diculik, dia ingin pergi darimu."
Tatapan Arfan segera beralih ke Dante, matanya menyala penuh kebencian. "Siapa kamu sebenarnya?" serunya dengan marah, mendekati Dante dengan langkah cepat. "Kamu pikir bisa begitu saja merebut Naya dariku?"
Sebelum Dante sempat merespons, tiba-tiba Arfan melayangkan tinjunya. Tanpa peringatan, pukulan keras itu mengenai rahang Dante, membuatnya sedikit mundur beberapa langkah. Naya berteriak kaget, tangannya menutup mulut karena tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.