> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Mengikhlaskan dan Melangkah Maju
Bab 13: Mengikhlaskan dan Melangkah Maju
"Dan janganlah kamu berlarut-larut dalam kesedihan, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 153)
---
Menerima Kenyataan
Hari-hari Fahri di pesantren semakin mendalam. Ia kini tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga merasakan proses penyucian hati yang luar biasa. Setiap hari, ia merenung lebih dalam tentang keputusan yang pernah ia buat. Aisyah, cinta pertama yang dulu menjadi pusat dunia Fahri, kini hanyalah kenangan yang tidak bisa diubah. Dalam hening malam, ia sering kali teringat pada Aisyah. Namun, ia tahu, kenangan itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang membentuk dirinya.
"Apakah aku masih bisa melupakan Aisyah?" Fahri bertanya pada dirinya sendiri, duduk di sudut musholla usai sholat malam.
Ia mendalam, menyadari bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa Aisyah kini sudah menjadi milik orang lain. Tidak ada yang bisa diubah. Bahkan jika Aisyah kembali, mungkin cinta mereka tidak akan sama lagi. Karena Fahri kini berbeda—ia telah berubah.
---
Menyembuhkan Luka
Perjalanan spiritual Fahri semakin menggali lapisan-lapisan hatinya yang terdalam. Ada saat-saat ia merasa ragu, namun setiap kali ia membaca Al-Qur'an dan mendengarkan nasihat para ulama, hatinya semakin tenteram. Keputusan untuk melepaskan masa lalunya bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu itu adalah langkah terbaik untuk bisa melangkah maju.
Suatu hari, saat sedang duduk di ruangan pengajian bersama beberapa teman santri, Fahri berbicara dengan salah satu temannya, Abdurrahman, seorang pemuda yang sudah lebih lama tinggal di pesantren.
"Apa yang membuatmu bisa begitu tegar, Abdurrahman?" tanya Fahri, penasaran.
Abdurrahman tersenyum bijak. "Fahri, kehidupan itu tidak selalu tentang keinginan kita. Tuhan memberikan ujian, dan kita hanya bisa menerima dengan sabar. Ada kalanya kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai, agar kita bisa tumbuh lebih kuat. Seperti daun yang gugur, ia tidak menyesal karena ia tahu itu adalah bagian dari siklus hidupnya."
Fahri termenung mendengarkan kata-kata itu. Ia mulai merasa bahwa untuk bisa melepaskan Aisyah dan masa lalu yang penuh luka, ia perlu menerima bahwa ada banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa ia kendalikan.
---
Tantangan Baru
Setelah beberapa bulan berlalu, Fahri merasa lebih stabil dalam perjalanan spiritualnya. Namun, meski ia merasa lebih tenang, ada satu hal yang masih mengganjal di dalam hatinya. Keinginannya untuk membuktikan dirinya kepada orang lain. Keinginannya untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah ia lakukan dan menjadi lebih baik di mata Tuhan.
Suatu hari, pengurus pesantren mengumumkan adanya perjalanan dakwah ke daerah yang lebih terpencil. Fahri merasa ini adalah kesempatan baik untuk menguji dirinya, apakah ia sudah benar-benar siap untuk mengabdikan dirinya kepada agama.
"Fahri, perjalanan ini akan menguji ketahananmu. Kami membutuhkan orang-orang yang siap untuk berbagi ilmu dan berdakwah," kata seorang ustaz senior yang dipercaya mengorganisir perjalanan tersebut.
Fahri merasa ini adalah kesempatan untuk melanjutkan perubahan dalam hidupnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera mendaftar untuk ikut serta dalam perjalanan dakwah tersebut.
---
Perjalanan Dakwah
Fahri dan beberapa teman santrinya memulai perjalanan dakwah menuju sebuah desa yang terletak jauh di pegunungan. Perjalanan ini sangat berat, dengan medan yang terjal dan cuaca yang tidak selalu bersahabat. Namun, dalam setiap langkah, Fahri merasa semakin dekat dengan tujuan utamanya—mencapai kedamaian dalam dirinya.
Selama perjalanan, Fahri bertemu dengan banyak orang yang memiliki berbagai cerita hidup. Beberapa dari mereka adalah orang-orang yang sedang mencari kedamaian, sementara yang lainnya tampak hilang arah. Fahri mendengarkan setiap cerita dengan penuh perhatian, mencoba memberi nasihat dan bimbingan.
Suatu malam, ketika mereka beristirahat di sebuah desa kecil di kaki gunung, Fahri berbicara dengan seorang pemuda yang tampak kesepian.
"Aku merasa hidupku hampa," kata pemuda itu, mata penuh dengan kekosongan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku cari lagi."
Fahri menatap pemuda itu, lalu berkata dengan lembut, "Hidup ini penuh dengan ujian. Kita tidak selalu tahu apa yang harus kita lakukan, tapi kita selalu diberi pilihan untuk menjadi lebih baik. Kembali kepada Tuhan adalah jalan yang pasti akan membawa kedamaian."
Pemuda itu terdiam sejenak, kemudian menatap Fahri dengan pandangan yang lebih penuh harap. "Bagaimana caranya, Ustadz?"
Fahri tersenyum, "Mulailah dengan bersyukur atas apa yang kita miliki, dan percayalah bahwa setiap langkah menuju kebaikan, sekecil apapun, akan membawa kita lebih dekat kepada kebahagiaan sejati."
---
Kembali ke Jalan yang Benar
Setelah beberapa hari berdakwah di desa tersebut, Fahri merasa lebih banyak yang bisa ia pelajari daripada yang ia ajarkan. Ia menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya selama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi orang lain.
Sesampainya di pesantren setelah perjalanan dakwah, Fahri merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa untuk terus maju, ia harus melanjutkan perjalanan itu, tak peduli seberapa berat tantangannya. Aisyah dan masa lalu kini tinggal kenangan. Ia harus melangkah ke depan dan terus memperbaiki diri.
---
Fahri menatap langit malam yang penuh bintang. Ia tahu perjalanan hidupnya belum selesai, namun ia merasa lebih siap untuk menghadapinya. Dengan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin yakin bahwa Allah selalu bersamanya, membimbingnya untuk menjadi lebih baik.
---
Bab ini berfokus pada perjalanan batin Fahri yang semakin menerima kenyataan dan menemukan kedamaian dalam hidupnya. Ia berusaha melepaskan masa lalu dan mulai menyadari bahwa hidup yang sesungguhnya adalah tentang memberi manfaat kepada orang lain dan terus memperbaiki diri.