Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Mengubah Segalanya
Bab 29
Abraham menatap Elara dengan lembut, berusaha menenangkan cucu menantunya yang tampak terkejut. “Elara, jangan takut melihat Lucas. Dia memang keras kepala, tapi dia tidak akan menyakitimu,” katanya dengan nada meyakinkan.
Elara mengerutkan kening, masih merasa tidak nyaman. “Tapi, Kek… siapa sebenarnya dia?” tanyanya pelan, rasa penasaran memenuhi benaknya.
Abraham tersenyum kecil. “Nanti kamu akan tahu. Sekarang, lebih baik kita fokus pada urusan yang lebih penting.”
Elara dan Zayden saling bertukar pandang. Mereka tahu Abraham adalah sosok yang tidak suka berbasa-basi, jadi mereka menunggu dengan sabar apa yang akan diungkapnya.
“Alasan aku meminta kalian ke sini,” Abraham memulai, “Adalah untuk membicarakan masa depan perusahaan. Elara, kau harus mulai belajar mengurus salah satu perusahaan yang menjadi bagian dari kemitraan Levano Corp.”
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Elara. Ia membeku di tempat, pikirannya langsung dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Dalam hatinya, ia bergumam, Aku bersedia menjadi istri kedua demi uang Zayden. Aku tidak pernah meminta apa-apa. Aku bahkan rela dengan uang 4-5 juta sebulan. Bagi keluarga Levano, itu hal kecil. Tidak akan membuat mereka jatuh miskin atau kerugian.
Tapi mengurus perusahaan? Ini terlalu berat, pusing, banyak masalah dan capek pastinya.
Sementara itu, Zayden melirik ke arah Elara yang terlihat melamun. Ia menyenggol lengannya pelan, membawanya kembali ke realitas. “Elara, kamu dengar apa yang Kakek bilang?”
Elara mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara ragu, “Kakek, bisakah aku meminta waktu untuk memikirkan ini? Aku… aku tidak yakin bisa melakukannya.”
Abraham mengangguk dengan bijak. “Tentu saja, Elara. Aku tidak memintamu untuk langsung memutuskan. Tapi perlu kau tahu, kau tidak bisa menolak ini. Sebab, kau adalah pemilik waris salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan Levano Corp. Ini adalah tanggung jawabmu.”
Elara semakin bingung. Matanya melebar, dan ia menatap Abraham dengan ekspresi tidak percaya. “Pemilik waris? Maksud Kakek, aku?”
Abraham mengangguk lagi. “Benar. Ini sudah lama ditentukan. Tapi aku akan memberimu waktu untuk memahami semua ini.”
"Jika aku tetap harus menerima keputusan ini, tidak ada gunanya akau meminta waktu untuk berpikir," ucap Elara.
"Setidaknya, waktu tersebut bisa kamu gunakan sebagai persiapan. Bukan mempertimbangkan mau atau tidak," ucap Abraham..
Elara berbalik menatap Zayden, berharap menemukan jawaban dari suaminya. Namun, Zayden hanya menggelengkan kepala pelan.
“Aku juga tidak tahu banyak soal ini,” ujar Zayden. Meski begitu, pikirannya mulai memutar kemungkinan, Apakah ini ada hubungannya dengan teman Kakek? Teman yang mungkin adalah kakeknya Elara?
Namun, Zayden tidak berani berspekulasi lebih jauh. Ia tahu Abraham tidak akan berbicara tanpa alasan, dan segala sesuatu pasti akan terungkap pada waktunya.
"Em ... boleh dengan solusi lain, Kek?" tanya Elara, berharap masih ada kesempatan untuk menghindar dari tugas berat ini.
"Menurutmu solusi apa?"
"Em... b-bercerai?" tanya Elara, patah-patah patah mengatakannya.
"Apa?! Maksudmu apa? Bercerai denganku?!" Zayden terkejut, nadanya meninggi.
"Mending aku jadi pesuruhmu aja, 'deh. Jadi office girl atau pembantu rumah tangga. Yang penting cukup buat ibu dan adik-adik," jawab Elara, sepolos itu.
"Semudah itu kau menyepelekan sebuah ikatan. Aku sih tak masalah jika kita berpisah, toh bukan keinginanku awalnya."
Elara menoleh, yang benar saja Zayden bilang seperti itu. Jelas-jelas dia yang memintanya menikah, saat di club' malam itu.
"Zayden. Apa kau amnesia? Ini belum ada satu bulan kita menikah, bahkan hitungan tahun. Tidak mungkin kau lupa saat memintaku menikah denganmu." Elara coba mengingatkan Zayden yang sepertinya memang tak peduli.
"Asal kau tahu. Bukan anu yang..." Ucapan Zayden dipotong Abraham.
"Sudah-sudah, jangan ribut di sini, kalian pengantin baru. Kakek malum jika masih sering salah paham."
Ketika suasana sedang tegang, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di luar ruangan. Semua orang menoleh ke arah pintu, dan betapa terkejutnya mereka ketika Laura kembali masuk.
Elara mengerutkan alis, merasa ada yang aneh. Kenapa dia kembali? Bukankah tadi dia pergi dengan marah dan kesal? Kenapa sekarang datang lagi? Seperti tidak tahu malu saja.
Laura melangkah masuk dengan ekspresi serius. Namun kali ini, tidak ada kemarahan di wajahnya. Ia berhenti di tengah ruangan dan menatap Abraham dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku tidak datang untuk bertengkar lagi,” katanya dengan suara yang lebih tenang. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Ini tentang warisan dan hak anak yang ada diperutku. Ada sesuatu yang tidak diberitahukan padaku, bukan?” Laura berbicara dengan nada manja dan memelas.
Abraham menatapnya dengan dalam, namun tetap tenang. “Sini duduk Laura. Kakek paham, wanita hamil memang lebih sensitif. Apa yang ingin kau tahu, Laura?" tanya Kakek Abraham.
Laura melirik ke arah Elara sejenak sebelum kembali fokus pada Abraham. “Mungkin ini ada hubungannya dengan dia," tunjuk Laura pada Elara. "Dan jika iya, kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?”
Elara merasa tidak nyaman dengan tatapan Laura yang sempat mengarah padanya. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, namun ia sama sekali tidak memahami apa yang sedang terjadi di antara mereka.
"Memangnya apa yang ingin Mbak Laura tahu tentang aku. Mbak kan sudah tahu, aku menikahi suami Mbak." Elara memberanikan diri bicara.
'Berani juga bocah ini bicara padaku. Aku tidak boleh menyepelekan dia berarti,' batin Laura.
Abraham menghela napas panjang, menyadari bahwa pembicaraan ini tidak bisa lagi ditunda. “Laura, jika kamu ingin tahu semuanya, tenang dulu, jaga emosi kamu, anggap Elara ini sodara atau temanmu. Kakek akan menjelaskan. Tapi pastikan kau mendengarkan tanpa membuat keributan.”
Semua mata tertuju pada Abraham, menunggu penjelasan yang akan ia berikan. Elara semakin gugup, sementara Zayden hanya duduk dengan tenang, meski dalam pikirannya mulai muncul berbagai kemungkinan tentang rahasia yang mungkin akan segera terungkap.
'Secepat ini Kakek akan memberitahukan pada umum, jika Elara bukan dari keluarga sederhana,' batin Zayden, tak percaya dengan keputusan kakeknya.
Bersambung...