Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Mencoba Normal
Gilang kembali ke kantor seperti biasa.
Tapi tidak ada lagi canda di matanya. Tidak ada lagi tatapan tajam yang memancing ketegangan.
Yang tersisa hanya ketenangan yang dingin—dingin seperti ruangan rapat di lantai 32 yang selalu beraroma parfum kayu mahal. Ia bekerja seperti mesin.
Menghadiri rapat.
Membaca laporan keuangan.
Membuat keputusan penting.
Efisien. Tajam. Tak terbantahkan.
Semua orang di kantor mulai mengakui bahwa Gilang Adiyaksa memang pewaris sejati Kartanegara Beauty.
Orang yang sudah sejak lama dipersiapkan Bu Tirta untuk menggantikan tahta. Dan akhirnya, pada sebuah rapat dewan, Bu Tirta mengumumkannya secara resmi:
"Mulai bulan depan, Gilang akan menjadi Managing Director penuh. Semua wewenang akan dialihkan."
Tepuk tangan terdengar di seluruh ruangan. Semua orang menatap Gilang dengan hormat—atau mungkin dengan takut. Tapi di dalam dirinya, tidak ada rasa kemenangan. Hanya kekosongan.
Sore itu, Bu Tirta memanggilnya ke ruang kerjanya yang megah, dindingnya penuh rak buku dan lukisan mahal.
Gilang berdiri tegap di hadapan wanita itu.
Sejenak mereka hanya saling menatap, seakan ada percakapan diam-diam yang sulit diucapkan.
"Aku tahu kamu terluka, Lang," kata Bu Tirta akhirnya. Suaranya lembut. Lebih lembut dari biasanya.
Gilang tidak menjawab.
"Aku tahu tentang Tari membuat semuanya rumit. Dan tentang kemungkinan... kamu adalah pamannya."
Gilang menahan napas.
Bu Tirta melanjutkan, nadanya perlahan, seperti mengupas luka yang belum kering.
"Aku tidak tahu pasti. Mungkin benar, mungkin tidak. Semua dokumen waktu itu tidak lengkap. Hanya surat tanpa nama, hanya akta yang samar."
Gilang memejamkan mata sejenak.
Ia membayangkan semua: Tari yang tertawa sambil membenahi bunga. Tari yang tidur di sofa ruang tamu sambil memeluk buku. Tari yang mencium pipinya diam-diam di malam hujan.
Dan semua itu... mungkin salah. Mungkin dosa.
"Aku tidak mau kamu menghancurkan dirimu, Lang," kata Bu Tirta lagi. "Kalau kamu mencintainya... mungkin caramu mencintainya harus berubah. Menjadi seseorang yang melindunginya, bukan memilikinya."
Kalimat itu menancap dalam.
Menyakitkan.
Membebaskan.
Hari-hari berlalu.
Gilang sibuk.
Setiap pagi, ia bangun sebelum fajar, berangkat ke kantor dengan setelan terbaiknya.
Setiap malam, ia pulang ketika Jakarta sudah tenggelam dalam lautan lampu.
Ia menandatangani kontrak baru.
Membuka peluang bisnis baru.
Ia memimpin rapat-rapat besar.
Membuat keputusan-keputusan yang menentukan masa depan ratusan karyawan.
Dari luar, Gilang tampak sempurna.
Dari dalam, ia kosong.
Setiap ia duduk di ruang kerjanya, sendirian dengan tumpukan dokumen, pikirannya melayang ke seorang gadis kecil dengan sweater abu-abu yang duduk di taman, tertawa saat ditiup angin.
Tari.
Nama itu tetap berbisik di sudut hatinya, meski ia mencoba menutup telinga.
Ada kalanya, di tengah rapat yang membahas ekspansi pasar baru, Gilang mendadak kehilangan fokus.
Sekejap bayangan wajah Tari muncul di benaknya—dan seketika itu juga seluruh dunia terasa hampa.
Ada kalanya, di malam-malam penuh file dan kontrak yang harus ditandatangani, ia berhenti, memandang layar kosong laptop, dan bertanya pada dirinya sendiri:
"Untuk apa semua ini, kalau bukan untuk berbagi dengan seseorang?"
Suatu malam, setelah menyelesaikan presentasi penting, Gilang duduk di balkon rumah besar itu.
Angin malam mengibaskan rambutnya.
Ia memandang langit Jakarta yang kelabu, mencari bintang yang tidak terlihat.
Dan akhirnya ia berbisik ke dalam gelap:
"Aku mendapatkan segalanya..."
Suara itu nyaris tak terdengar, patah di tengah jalan.
"...tapi kehilangan satu-satunya yang berarti."
Tangannya mengepal di atas lututnya.
Sakit.
Sakit sekali.
Tapi inilah harga dari semua pilihannya.
Dan Gilang Adiyaksa, pewaris resmi Kartanegara Beauty, kini belajar:
Tidak semua kemenangan terasa manis. Kadang, kemenangan terasa seperti hukuman. Bahkan rumah besar ini, dengan seluruh kemewahan dan keindahannya, tidak mampu mengisi kekosongan di hatinya.
Bahkan jabatan tinggi, kekuasaan, dan rasa hormat yang mengelilinginya di kantor, tidak bisa menghapus kenyataan bahwa setiap malam ia akan tidur sendirian. Dengan hati yang masih penuh nama Tari.