NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh

Dita menatap layar ponselnya, menahan napas saat melihat puisi Juno diputar ribuan kali di akun podcast mereka. Komentar demi komentar terus masuk, memuji kedalaman makna, kejujuran kata-kata, dan betapa puisi itu "mewakili generasi kami."

Dita menekan tombol power, mematikan layar.

Ia duduk di pojok kamarnya, lampu dibiarkan redup. Sementara dunia di luar sana mengagumi Juno, ia merasa makin tenggelam dalam kebingungan yang tak pernah selesai.

Bukan karena Dita tidak mengagumi Juno ia mengagumi Juno, mungkin lebih dari siapa pun. Tapi sejak puisi itu viral, sesuatu berubah dalam dirinya. Seolah-olah semua orang menemukan suara mereka dalam puisi Juno, sementara Dita malah kehilangan suaranya sendiri.

“Apa yang salah sama gue?” gumamnya.

Ia memandangi tumpukan buku pelajaran di meja. Fisika, Biologi, Kimia. Semuanya sudah disampul rapi, ada coretan kecil di pojok masing-masing: target nilai. Target yang ia buat sendiri, untuk membuktikan sesuatu pada orang tuanya, pada gurunya, pada dirinya sendiri.

Tapi semua target itu terasa hampa. Ia tidak menikmati belajar. Ia hanya pandai berpura-pura.

Dita mengingat masa kecilnya. Saat itu, ia suka menggambar. Ia bahkan pernah berkata pada ibunya, “Ma, aku mau jadi ilustrator!” Tapi sang ibu hanya tertawa pelan. “Bagus, tapi jangan dijadikan cita-cita, ya. Itu bisa jadi hobi, tapi bukan pekerjaan.”

Sejak hari itu, Dita berhenti menggambar. Ia mulai belajar lebih keras, menjadi juara kelas, ikut les ini-itu. Ia pikir, dengan menjadi anak pintar, ia bisa diterima. Tapi yang ia rasakan justru... kosong.

Saat Juno berdiri di depan kelas dan berkata “Saya tidak bisa,” Dita ingin berdiri juga. Ingin bilang, “Saya juga.” Tapi ia tidak bisa. Ia terlalu takut kehilangan label “anak pintar.”

Hari itu, setelah pulang sekolah, Dita tidak langsung ke rumah. Ia mampir ke warnet tua di dekat stasiun. Tempat itu sepi. Ia memilih bilik paling pojok, membuka blog Juno secara anonim.

Ia membaca satu per satu puisinya. Pelan-pelan. Kata demi kata seperti menusuk pelan ke dalam pikirannya yang kusut.

> “Di kelas, aku dituntut hafal rumus,

Tapi tak ada yang mau mendengar rasa.”

Dita menelan ludah. Ia bisa hafal semua rumus. Tapi tak ada yang tahu rasanya saat ia bangun setiap pagi dengan perasaan ingin menghilang.

Ia membuka aplikasi pengolah kata dan mulai mengetik. Tangannya gemetar.

> “Aku ingin jadi bodoh.

Bukan karena aku tidak bisa berpikir,

Tapi karena jadi pintar membuatku mati perlahan.

Di balik setiap nilai 90,

Ada malam yang penuh tangis dan kelelahan.

Aku ingin jadi bodoh.

Supaya aku bisa bebas.”

Ia berhenti. Menatap layar. Lalu menghapus semua.

Ia takut. Takut jika ada yang tahu isi pikirannya. Takut dianggap lemah. Tapi perasaan itu terus menumpuk. Seperti air di dalam gelas retak, tinggal tunggu waktu sampai tumpah.

Keesokan harinya, di sekolah, suasana kelas masih hangat dengan pujian untuk Juno. Bahkan Bu Nira pun tampak tak bisa menyangkal dampaknya.

“Puisi itu... menyentuh,” kata Bu Nira pelan. “Meskipun saya tidak setuju dengan semua isinya, tapi saya tidak bisa bohong, saya juga merasa... tersindir.”

Juno menunduk, Dita menatapnya dari bangku belakang. Ada rasa iri. Tapi bukan iri karena Juno dipuji. Iri karena Juno berani menjadi dirinya sendiri.

Saat istirahat, Dita menemui Nala di kantin.

“Lo pernah ngerasa... capek jadi pintar?” tanya Dita, suaranya pelan.

Nala berhenti mengunyah. “Gue pernah ngerasa capek jadi ‘dianggap pintar’.”

“Beda ya?”

“Banget. Kalo lo emang pintar dan menikmati, ya oke. Tapi kalo lo pintar cuma karena lo takut dianggap gagal... itu siksaan.”

Dita terdiam. Nala melanjutkan, “Lo tau, Dit... gue lihat lo tuh kayak robot. Selalu tahu harus jawab apa, selalu tahu harus gimana. Tapi... lo bahagia gak?”

Dita ingin bilang iya. Tapi tak bisa.

“Enggak,” bisiknya.

Nala menepuk tangannya pelan. “Gue pernah di titik itu. Tapi akhirnya gue sadar, jadi manusia tuh gak harus selalu benar. Kadang, lo harus berani salah. Itu cara lo bertumbuh.”

Dita tersenyum kecut. “Tapi kalau gue berhenti pintar, siapa gue?”

Nala menatapnya serius. “Lo Dita. Yang lebih dari sekadar nilai. Yang punya cerita. Yang pernah mimpi jadi ilustrator.”

Dita terkejut. “Lo tau?”

“Gue ngintip gambar-gambar lo di sketchbook, waktu lo tinggal di kelas. Lo berbakat, Dit.”

Sepulang sekolah, Dita membuka laci dan mengeluarkan sketchbook yang sudah lama terkubur. Halaman pertama berdebu. Tapi gambarnya masih hidup. Ada potret perempuan yang menangis di tengah tumpukan buku.

Ia membuka halaman baru. Mulai menggambar lagi. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena lega.

Malam itu, Dita membuka laptop dan mulai menulis surat. Bukan surat untuk guru, bukan untuk orang tua. Tapi untuk dirinya sendiri.

> “Hai Dita,

Maaf ya, selama ini aku menuntutmu terlalu keras.

Aku cuma pengen kita diterima. Tapi ternyata... jadi diri sendiri itu lebih penting daripada jadi sempurna.

Besok, kita mulai lagi.

Pelan-pelan. Tapi jujur.”

Surat itu ia tempelkan di cermin.

Besoknya, saat pelajaran Kimia, Dita tidak mengangkat tangan meski tahu jawabannya. Ia hanya menulis di pojok bukunya: “Hari ini aku belajar jadi manusia, bukan mesin jawaban.”

Sepulang sekolah, Dita mendatangi Juno.

“Jun, boleh gak... gue baca puisi di episode podcast berikutnya?”

Juno tampak terkejut. “Lo?”

Dita mengangguk. “Gue gak seindah lo nulisnya. Tapi gue pengen bilang sesuatu. Tentang... rasa capek jadi pintar.”

Juno tersenyum. “Lo udah punya suara itu dari lama, Dit. Sekarang lo baru mau make-nya.”

“Gue takut salah,” aku Dita.

“Justru itu bagian terbaiknya. Orang yang takut salah, biasanya yang paling jujur saat akhirnya bicara.”

Dita menunduk, tersenyum kecil.

Episode itu tayang tiga hari kemudian.

Dengan suara gemetar, Dita berkata di awal, “Hai. Aku Dita. Dan aku ingin jadi bodoh... supaya aku bisa bahagia.”

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!