Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Menjadi Asing
Jenar berulangkali menepuk pipinya sendiri, berharap hari ini tidak akan pernah tiba atau hanya mimpi belaka.
Katakanlah usai sebulan lalu Leknor dan Astri mengumumkan hubungan mereka, kini keduanya melangsungkan ikatan pernikahan. Dan sejak semalam Jenar tidak bisa tenang memikirkan itu semua.
Bukan ia tidak ikut senang melihat kakaknya menikah. Jenar justru senang Leknor berumah tangga. Akan tetapi ... harusnya Astri yang merupakan kakak Gena itu orangnya? Selama ini Jenar sudah berusaha melupakan pria itu. Eh, malah sekarang mereka dipertemukan lagi dalam hubungan yang lebih dekat. Yaitu ipar-iparan.
Cobaan macam apa ini?!
Mengenakan kebaya biru muda dengan rambut disanggul mode low bun, Jenar tampak cantik dan menawan. Tubuh rampingnya sangat cocok dengan kebaya itu. Dan yang membuat Jenar kesal, ternyata baju ini adalah baju seragam dengan baju yang Gena kenakan.
Ya. Astri membuatkan mereka baju secara bersamaan. Gena memakai batik biru muda dengan celana dasar hitam. Sangat serasi dengan kebaya yang Jenar kenakan.
Di ballroom—tempat resepsi diadakan, pihak mempelai perempuan dan mempelai lelaki sedang sibuk di atas pelaminan bersiap-siap melempar buket bunga pada para tamu. Sungguh, acara ini sangat membosankan bagi Jenar. Apalagi saat pembawa acara terang-terangan menyuruh keluarga mempelai untuk ikut berpartisipasi.
“Siap-siap ya! Siapa yang terima bunganya, itu yang bakal nikah selanjutnya!” sorak si pembaca acara, yang mana hal itu membuat Jenar mencebik.
Sungguh, ia tidak percaya hal itu. Orang-orang menikah ya karena menemukan jodoh mereka, bukan karena menemukan bunga. Siapa, sih, yang menciptakan teori konyol itu?! Jenar ingin membantah dan membuktikan pada mereka semua kalau pikiran kulot itu sangat salah! Itu tekadnya.
Maka, ia pun bersiap menerima bunga itu. Bukan karena ia antusias ingin menikah, melainkan karena ingin mematahkan tahayul itu.
“Satu ... dua ... lempar!”
Leknor dan Astri yang sama-sama memegang bunga itu pun melempar buket tersebut ke arah para hadirin yang berdiri di dekat panggung pelaminan. Dengan sigap Jenar maju merebut bunga itu dari kerumunan para gadis.
Hap!
Jenar menjerit bahagia saat berhasil mendapatkan bunga tersebut. Bahkan Leknor dan Astri pun tertawa dari atas panggung itu melihatnya.
“Dapat!” kekeh Jenar.
Akan tetapi, karena berdesakan, Jenar tidak melihat ke bawah yang mengakibatkan seseorang secara tidak sengaja menyenggol kakinya. Jenar hampir saja jatuh. Untungnya seorang lelaki dengan cepat menangkap tubuhnya dari arah belakang.
Posisi tubuh Jenar yang jatuh ke dekapan lelaki itu dari arah belakang membuat Jenar bisa dengan jelas melirik pria yang barusan menolongnya. Dan orang itu adalah Gena. Detik itu juga jantung Jenar terasa mencelus. Lama mereka di posisi seperti itu dan saling lempar tatapan dalam. Sampai akhirnya posisi itu harus berakhir saat seseorang lewat di samping mereka dengan cara tergesa hingga menyenggol bahu Gena.
Gena segera melepaskan tubuh Jenar. Bahkan Jenar hampir tersungkur karena dilepas secara kasar.
“Ekhm!” Gena berdeham guna meredam rasa canggungnya.
Sementara Jenar merapikan bajunya yang sempat kusut. Mereka kembali memasang wajah dingin seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal jantung mereka masih sama-sama berdetak hebat merasakan sisa-sisa sentuhan tadi.
“M—makasih,” kata Jenar.
“Masih percaya tahayul? Demen banget ikut rebutan bunga,” kata Gena sensi.
Perkataan lelaki itu sukses membuat Jenar menggeram. Apa-apaan lelaki itu meledeknya?! Jenar semakin kehilangan mood.
“Bukan urusan kamu,” selaknya galak.
Dan setelah itu Jenar pun berlalu dari hadapan Gena tanpa mengatakan apa-apa lagi. Gena pun mengikut Jenar yang duduk di sebuah meja bundar yang tidak diisi oleh tamu mana pun.
Hening. Dua orang itu hanya saling lirik lewat ekor mata sambil memasang wajah pura-pura terlihat baik. Padahal hati mereka sedang kacau balau. Ada banyak yang ingin mereka tanyakan dan utarakan. Terutama tentang kejadian malam ini yang membuat Gena pergi tanpa alasan.
Untuk satu hal, Jenar merasa sangat tersinggung. Namun ia tidak sadar jika Gena lebih dulu merasa dicampakkan setelah mendengar Jenar bertelfonan dengan sahabatnya.
Harusnya kesalahpahaman itu bisa mereka selesaikan. Sayangnya, tidak ada satu pun di antara mereka yang membahas hal itu duluan. Mereka sama-sama keras, sama-sama menganggap pertemuan seminggu mereka waktu itu hanyalah sebuah kenangan yang patut dilupakan.
“Aku harap kamu bisa jaga sikap di depan kakak-kakak kita. Hargai pernikahan mereka tanpa membawa-bawa masalah pribadi kita,” tegur Gena dengan nada suara dingin.
Hal itu membuat Jenar sakit hati. Sejak kapan ia tidak menghargai hubungan dua orang itu? Bahkan sejak pertama kali berkenalan pun Jenar selalu menjaga sikap. Selalu berpura-pura tidak mengenal Gena walau Jenar merasa perih karenanya.
“Tenang. Aku nggak sekekanakan itu untuk mencampur urusan pribadi dengan urusan orang lain,” sahut Jenar tanpa menoleh ke arah Gena.
“Apalagi sampai lari dari masalah,” sambungnya. Sedikit menyindir Gena yang meninggalkannya tanpa kabar hari itu.
“Ya syukurlah. Memang seharusnya begitu,” jawab Gena.
Jenar merasa sesak di dada tiap kali berbicara dengan Gena. Demi kenyamanan hatinya, ia berkata, “jadi lebih baik kita nggak sering ketemu biar lebih bisa jaga sikap depan kakak-kakak kita.”
Gena menoleh resah. Dan di saat bersamaan Jenar menoleh hingga membuat tatapan mereka bertemu di satu titik.
“Ya. Kamu benar. Anggap aja kita nggak pernah kenal sebelumnya. Lagian momen seminggu itu ... nggak ada artinya ‘kan? Lebih baik kita lupakan hal itu dan fokus sama kehidupan kita,” lanjut Jenar.
Ia tidak tahu jika ucapannya barusan semakin menciptakan kesalahan pahaman antara mereka ....
***
“Je, kalau capek tuh istirahat. Jangan lembur terus. Mas lihat belakangan ini kamu jadi gila kerja. Mas padahal nggak nyuruh kamu lembur.”
Jenar yang sedang menggambar sketsa di laptop untuk proyek mall itu pun menghela napas saat Leknor menghampiri ruangannya. Beberapa minggu setelah Leknor menikah, Jenar akhirnya menerima tawaran sang kakak untuk bekerja di perusahaannya. Sekarang Jenar menjadi designer di sana. Wanita itu jadi gila kerja untuk mengusir pikirannya tentang Gena. Tak jarang Jenar lembur dengan alasan ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan. Padahal semua itu hanyalah usahanya untuk menghindar dari Gena.
“Ya aku memang suka sama pekerjaanku, Mas. Nggak ada masalahnya kalau aku lembur, ‘kan? Yang untung Mas juga,” jawab Jenar santai.
“Mas takut kamu sakit.”
“Nggak bakal sakit. Orang aku senang gini kok.”
Leknor menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara senang dan sedih ia melihat adiknya bersemangat. Entah apa yang mengubah kepribadian Jenar, Leknor sendiri tidak tahu. Yang jelas, sejak ia menikah dengan Astri, sisi cerewet Jenar menghilang. Adiknya itu lebih banyak diam. Terutama jika sedang bersama Astri dan adik lelakinya.
“Nanti malam kita makan bareng ya? Di rumah Mas. Kamu ... datang ‘kan?” tanya Leknor.
Jenar menghentikan kegiatannya sejenak, lantas menoleh ke arah sang Kakak. “Nggak janji, Mas. Aku mau selesaikan sketsa ini dan nanti mau rapat sama klien juga. Pas pulangnya kayaknya aku langsung balik ke apart. Mau tidur. Capek banget,” tolak Jenar.
Tentu itu semua hanya alibi karena tidak ingin bertemu Gena. Tak tanggung-tanggung, demi menjauh dari lelaki itu bahkan Jenar rela pindah dari rumah Leknor dan menyewa apartemen di dekat kantor kakaknya itu. Segitunya ia ingin menghindari Gena. Ya. Ini keputusan terbaik menurut Jenar. Ia tidak ingin jatuh kedua kalinya pada pria itu....
“Tapi Mbak Astri kepengen ketemu kamu katanya. Kami mau ngasih tahu kamu sesuatu penting.”
“Oh ya? Apa?”
Leknor mengulangi perkataannya sekali lagi. “Apa nggak sebaiknya dibahas di rumah Mas aja? Adik Mbak kamu juga ikut—“
“Di sini aja, Mas. Mau di mana juga intinya tetap sama kan? Aku udah nggak sabar, nih. Memangnya Mas mau ngasih tahu aku hal apa?”
Leknor akhirnya terpaksa jujur. Ia tahu adiknya itu tidak akan datang sekali pun ia memaksa. Karena Jenar orangnya keras pada pendirian.
“Sebentar lagi ... kamu akan dapat keponakan. Mbak Astri lagi isi,” lapor Leknor.
Mata Jenar berbinar-binar mendengarnya. Dadanya menghangat, perutnya terasa bergejolak naik turun. “Beneran Mas?!” jeritnya riang.
Leknor mengangguk haru. Maka, Jenar berdiri dari kursi kerjanya dan menghampiri sang kakak untuk ia peluk. Betapa senangnya Jenar mendengar kabar itu. Sudah Jenar bilang, ‘kan? Ia menantikan kehadiran buah hati mereka sekali pun hadirnya Gena kadang membuat Jenar malas bertemu Astri.
“Mas aku ikut bahagia!” seru Jenar.
“Makasih ya,” balas Leknor seraya mengeratkan dekapan mereka. Leknor berharap hati adiknya itu sedikit luluh setelah mendengar kabar ini. Jadi, ia kembali mengajak—
“Jadi nanti malam kita dinner ya? Sekaligus ngerayain ini ... berempat.”
“Uhuk!” Jenar terbatuk mendengarnya. Ia pun melepaskan diri dari pelukan kakaknya itu. “Nggak dulu deh, Mas. Lain kali aja. Mungkin besok aku bakal samperin Mbak Astri ke tempat kerjanya buat ucapin selamat secara langsung.”
Leknor menghela napas. “Ya udah, terserah kamu ajalah....”
‘Maaf, Mas. Kalau kita bertiga aja gapapa. Tapi kalau kita berempat sama si cowok gila itu, lebih baik aku aja yang ngalah. Aku nggak mau satu frame sama dia!’
***
Suasana kota malam itu cukup tenang. Rembulan menggantung di langit malam, dan bintang menghiasi di sekelilingnya. Di bawah langit kelabu itu, Jenar menyetir mobil menuju apartemennya. Ini sudah kali kesekian ia pulang malam karena lembur. Tidak peduli sudah berapa kali Leknor memperingatkannya.
Perempuan 22 tahun itu menghela napas lelah. Sibuknya pekerjaan yang ia tekuni membuatnya bisa melupakan Gena sedikit demi sedikit. Akan tetapi, tetap saja sebuah pojok di ruang hati Jenar terasa hampa. Ia tidak tenang bila mengingat lelaki itu. Apalagi kini Gena secara tidak langsung menjadi kerabatnya. Butuh waktu bagi Jenar menerima fakta itu dan mulai membiasakan diri menjadi asing ....
“Gue kenapa sih?!” maki Jenar pada dirinya sendiri. “Padahal gue kenal dia cuma beberapa hari. Tapi kenapa sakitnya sama kayak gue pas patah hati ditinggal Mas Hanif?”
Mata Jenar berkaca-kaca. Merasakan pandangannya memburam, Jenar pun menepikan mobil. Malam ini, Jenar kalah dengan egonya. Keinginannya untuk menangis akhirnya terealisasikan.
Segala kenangan mereka berkutat di kepala. Singkat, namun bagi Jenar sangat berarti. Ia merasa menjadi sosok paling patah hati di dunia karena dibuang begitu saja.
Menoleh ke arah kiri, Jenar tersentak saat sadar dirinya berada di seberang kedai kopi milik Gena. Jenar masih ingat ketika dulu Gena memberitahu di mana saja letak cabang kedai kopinya. Dan yang di seberang jalan ini merupakan kedai kopi utama milik Gena, tempat di mana Gena sering berkunjung.
Orang bilang ... kalau kita memanggil nama orang yang kita pikirkan dan orang itu mendadak muncul, artinya orang itu jodoh kita. Jenar mendadak kepikiran hal itu. Iseng-iseng, ia coba memanggil nama Gena dalam hati.
‘Gena...’
Lantas Jenar menatap ke arah kedai kopi itu Satu detik ... dua detik ... dan tepat di hitungan ketiga, sosok Gena yang ia panggil tadi pun muncul dari pintu kafe sembari menenteng plastik sampah.
Detik itu juga tubuh Jenar membeku. Ia sendiri terkejut karena ucapan isengnya memunculkan Gena di pandangan mata.
“Nggak. Nggak mungkin!” geleng Jenar cepat.
Bagai maling yang takut ditangkap polisi, Jenar buru-buru menyalakan mesin mobilnya meninggalkan area kedai kopi itu sebelum Gena melihatnya.
Ngebutnya Jenar berkendara ternyata membuat Gena menoleh bingung. Ia perhatikan mobil yang perlahan menghilang ditelan jarak itu.
“Dari mobilnya ... kok kayak kenal ya?”
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇