“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Menikmati Peran Sebagai Papa
Wira terdiam. Ia tahu Chaca benar. Sejak pernikahan mereka, ia memang tidak pernah benar-benar hadir, padahal ia sudah berkata manis akan bertanggungjawab. Namun, waktu dan pikirannya lebih banyak tersita untuk Adelia. Tapi melihat Aqila yang kini berada dalam dekapannya, ada sesuatu yang semestinya ia lakukan sejak dulu. Namun, tidak bisa ia lakukan sama sekali. Jika pun bisa, paling hanya sekedarnya saja.
"Saya mengerti kalau kamu marah," ujar Wira pelan, akhirnya duduk di tepi ranjang, menidurkan Aqila yang sudah terlelap dalam gendongannya. "Saya tidak akan membela diri. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa saya akan mencoba berubah. Aqila sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai papa sambungnya.”
Chaca tidak langsung merespons. Matanya menatap langit-langit kamar, seolah mencari jawaban yang bahkan tidak ia mengerti.
"Jangan mengumbar janji dan berkata manis lagi, saya tidak minta pertanggung jawaban atau perhatian dari Pak Wira untuk Aqila. Saya sudah cukup lelah dengan semua ini. Saya sudah cukup sakit hati, dan bisakah Pak Wira memberikan ketenangan untuk hidup saya? Karena, pada akhirnya pernikahan ini akan berakhir dengan perceraian, jadi Pak Wira tidak usah repot-repot. Cukup, kita jalani hidup seperti biasanya. Pak Wira bersama Bu Adelia, sedangkan saya bersama Aqila,” ujar Chaca pelan, suaranya bergetar meski ia berusaha terlihat kuat.
Wira menatapnya dalam, mencoba membaca isi hati wanita yang kini menjadi istrinya. Ia tahu, Chaca bukan tipe wanita yang mudah percaya lagi setelah dikhianati oleh kehidupan. Dan ia sadar, butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk membuktikan niatnya.
Tanpa banyak kata, Wira merapikan selimut Aqila, lalu berdiri. "Saya adalah suamimu, kamu harus memahaminya. Dan, jangan keras kepala. Aqila butuh sosok seorang ayah, meski kamu tidak membutuhkan sosok suami. Mulai detik ini saya akan lebih memperhatikan Aqila meski kamu menolaknya dengan keras! Dan satu lagi, kamu saya izinkan untuk bekerja tapi bukan berarti kamu bebas begitu saja. Kamu harus ingat tugas yang paling penting ... yaitu mengurus Aqila dan melahirkan anak saya!” tegas Wira.
Chaca masih diam, matanya mengikuti setiap gerakan Wira yang berjalan menuju pintu. Saat pria itu akhirnya keluar dari kamar, Chaca menunduk, menatap Aqila yang tidur nyenyak. Ia menarik napas dalam, hatinya masih penuh dengan keraguan. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Wira tadi yang membuatnya bertanya-tanya.
***
Malam semakin larut, tetapi Wira masih terjaga. Pikirannya terus melayang pada kejadian tadi di kamar Chaca. Kata-kata wanita itu masih terngiang di telinganya, menghunjam langsung ke hatinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa gelisah semakin menyesakkan dadanya. Berkali-kali ia melirik pintu kamarnya, seakan ada magnet yang menariknya keluar.
Setelah beberapa saat ragu, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah. Dengan langkah pelan, ia menuju kamar Chaca yang berada di ujung lorong. Tangan Wira sempat menggantung di udara sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Rupanya tidak dikunci. Ia tersenyum tipis, lalu mengendap-endap masuk ke dalam kamar yang hanya diterangi lampu temaram.
Di atas ranjang, Chaca dan Aqila sudah tertidur pulas. Napas keduanya terdengar tenang, berpadu dengan keheningan malam. Wira berjalan mendekat, lalu perlahan-lahan naik ke atas ranjang. Ia merebahkan tubuhnya di sisi Aqila, menatap wajah mungil putrinya dengan penuh rasa sayang.
Tanpa sadar, jemarinya terulur, mengusap lembut rambut halus bayi itu. Wira lalu mengecup kening Aqila dengan penuh makna. "Papa ada di sini, Sayang," bisiknya nyaris tak terdengar. "Mulai sekarang, Papa akan selalu ada untukmu. Kali ini Papa akan benar-benar membuktikannya."
Selesai mengecup Aqila, pandangan Wira beralih pada Chaca yang masih terpejam. Wajah wanita itu tampak damai dalam tidurnya, tetapi Wira tahu hatinya tidak demikian. Ada luka yang mengendap, ada amarah yang dipendam. Jemari Wira perlahan mengusap pipi Chaca, merasakan kelembutannya. Ada keinginan dalam hatinya untuk mengecup pipi itu, tetapi ia tak berani. Seakan ada sesuatu yang menahannya.
"Kenapa kamu begitu keras padaku, Chaca?" bisik Wira lirih, meski ia tahu wanita itu tak akan mendengarnya. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah mengabaikanmu. Tapi beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku ingin mencoba, untukmu ... untuk Aqila."
Chaca menggerakkan kelopak matanya sedikit, tubuhnya tampak bergerak resah. Wira buru-buru menarik tangannya, takut wanita itu terbangun dan kembali mengusirnya. Namun, hanya sesaat Chaca bergerak, kemudian ia kembali diam.
Wira menghela napas lega, lalu kembali menatap Chaca. Ia sadar, perjalanan untuk mendapatkan kepercayaan wanita ini tidak akan mudah. Tapi malam ini, ia hanya ingin berada di sini. Dekat dengan putri kecil. Dekat dengan istrinya. Meskipun Chaca belum bisa menerimanya sepenuh hati.
Tanpa banyak kata lagi, Wira memejamkan matanya, membiarkan kehangatan yang baru ia temukan malam ini mengisi relung hatinya. Mungkin ini awal dari sesuatu yang baru. Atau mungkin, ini hanya harapan kosong. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan lari lagi dari tanggung jawabnya. Dan, ia harus mencoba bersikap adil kepada kedua istrinya.
***
Pagi menyapa perlahan, menyusup melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Cahaya keemasan menerobos masuk, menerangi kamar yang masih diselimuti keheningan. Di atas ranjang, tubuh kecil Aqila menggeliat pelan, tangannya yang mungil meraba-raba di udara, mencari kehangatan yang semalaman menemaninya.
Wira yang tidur di sisi Aqila pun tersadar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung jatuh pada sosok bayi kecil yang kini bergerak gelisah di pelukannya. Sayup-sayup terdengar suara rengekan halus dari bibir mungil Aqila. Wira tersenyum tipis, mengusap lembut rambut halus anak itu.
"Lapar, Sayang?" gumamnya penuh kasih.
Aqila hanya bergumam kecil, matanya masih setengah tertutup, tetapi mulut mungilnya sudah mulai mencari sesuatu. Wira paham betul, baby cantik itu butuh susu. Ia menoleh ke arah Chaca yang masih tertidur pulas di sisi lain ranjang. Raut wajah istrinya tampak lebih damai dibandingkan semalam. Wira memutuskan untuk tidak membangunkannya. Ia ingin melakukan sesuatu sendiri untuk putrinya kali ini.
Perlahan, ia bangkit dari ranjang, memastikan Aqila tetap nyaman dalam gendongannya. Dengan langkah hati-hati, ia menuju dapur kecil yang ada di kamar, mencari botol susu yang biasa digunakan Chaca. Setelah menemukannya, ia mengisi air hangat secukupnya, kemudian mencampurnya dengan susu formula. Tangannya bekerja dengan cekatan, meskipun ini bukanlah kebiasaannya.
Namun, sepertinya Wira sangat menikmati perannya sebagai ayah.
Bersambung .... 🐣🐣
Assalammualaikum, Tante dan Om online, doain Aqila bica tetap di cini ya. Hali ini udah bab 20, becok letensinya kelual. Moga-moga aja letencinya agus ya. Maacih anyak ya, Qila mau mimi cucu ulu 😁😁, tadi Papa Wila ikinin cucu uat Qila, coalna Mama macih bobo 😁
lanjut