Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Masa Lalu Pilihan Mertua
Malam semakin larut, lampu kamar hanya dinyalakan setengah redup.
Arman duduk di tepi ranjang, menunduk, memandang kosong ke lantai.
Sementara Raya berdiri di depan cermin, pura-pura sibuk merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi.
Suasana terasa berat.
Tak ada percakapan, hanya suara kipas angin yang berputar monoton di sudut ruangan.
Raya akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya pelan,
"Bang... kamu masih mikirin Diva?"
Arman tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu membaringkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar yang kosong.
"Bukan cuma Diva... semua ini... berantakan," jawabnya lirih.
Raya menggigit bibir bawahnya, hatinya bergejolak antara marah, cemburu, dan kasihan.
Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, memandang wajah Arman yang kusut.
"Bang, udahlah... yang penting sekarang kita jalani aja. Diva udah pergi, gak usah kamu pikirin lagi," ucap Raya, setengah membujuk.
Arman hanya memejamkan mata, tidak menjawab.
Ada luka yang dalam, yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata.
Sementara Raya merasa gusar takut kalau bayang-bayang Diva tetap akan menghantui rumah tangganya.
Malam itu, mereka tidur dalam keheningan.
Berbaring bersebelahan, namun jiwa mereka terasa berjauhan.
Masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri, dalam perang batin yang tak kunjung reda.
Pagi itu Arman bangun dengan wajah kusut, matanya sembab seolah semalaman tak tidur.
Dengan suara berat, ia meminta Raya berangkat ke kantor sendiri hari ini.
Awalnya Raya ingin marah kesal karena merasa diabaikan. Tapi ketika melihat kondisi suaminya yang benar-benar kacau, amarah itu perlahan surut.
Tanpa banyak bicara, Raya bersiap-siap.
Sementara itu, Arman keluar rumah terburu-buru, bahkan tanpa sempat menyentuh sarapan.
Raya hanya bisa memandang punggung suaminya yang semakin menjauh, hatinya terasa aneh antara iba dan lega.
Setelah Arman pergi, Raya kembali fokus mempersiapkan diri untuk berangkat kerja.
Di tengah kesibukannya, ia menyadari satu hal setidaknya pagi ini tak ada lagi teriakan atau omelan dari ibu mertuanya.
Sebuah keheningan yang meskipun asing, terasa sedikit melegakan.
Dalam perjalanan menuju kantor, Raya merasakan ada kekosongan yang mengganjal di dadanya. Mobil yang ia pesan melaju pelan di jalanan terasa semakin sepi, seakan seluruh dunia menghilang di sekitarnya. Pandangannya menatap kosong ke luar jendela, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari Arman.
Tadi pagi, dia merasa diabaikan. Arman yang biasanya selalu menyapanya, kali ini hanya memberikan instruksi dingin untuk pergi sendiri. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada perhatian seperti biasanya. Semua terasa berbeda terasa jauh.
Raya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menyadari, mungkin Arman memang sedang terpuruk dengan masalahnya sendiri, namun perasaan terlupakan ini tetap saja menyakitkan. Di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari Arman, dan semakin kesepian di dalam rumah yang dulunya terasa penuh dengan kebersamaan.
Dengan hati yang sedikit bimbang, Raya melanjutkan perjalanan ke kantor. Tapi setiap detik yang berlalu, ia semakin merasakan betapa dinginnya hubungan mereka sekarang. Sesuatu yang dulu hangat kini terasa rapuh.
—
Pagi itu, Diva bangun dengan perasaan yang berbeda. Seakan ada beban yang terangkat dari pundaknya, ia merasakan kebebasan yang sudah lama ditunggu-tunggu. Tidak ada lagi ketakutan untuk dihina, untuk dimanipulasi, atau dipaksa menjalani kehidupan yang tidak ia inginkan. Keputusan untuk berpisah dengan Arman dan melepaskan dirinya dari belenggu pernikahan itu memberinya rasa lega yang luar biasa.
Diva bersiap-siap untuk ke toko, melangkah dengan lebih ringan, penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dira, yang sejak kemarin melihat perubahan adiknya, ikut merasakan kelegaan yang sama. Meski mereka berdua tahu perjalanan ini belum selesai, mereka merasa sudah membuat langkah yang tepat.
Dira, yang selalu mendukung Diva dalam keputusannya, mengamati adiknya dengan tatapan penuh kebanggaan. Diva yang dulu tampak rapuh dan tertekan kini berdiri dengan lebih tegak, siap menghadapi dunia dengan kepercayaan diri yang baru.
"Diva, kamu sudah kuat," pikir Dira dalam hati, menyadari betapa jauh perjalanan adiknya telah menempuh. "Ini awal yang baru, dan kamu pantas untuk itu."
Setibanya di toko, Diva disambut dengan pemandangan yang membuat hatinya hangat. Toko sudah rapi, pintu sudah dibuka lebar, dan aroma segar dari lantai yang baru dipel bersih memenuhi ruangan. Para karyawan yang setia bekerja di bawah arahannya menyapa ramah, seolah ikut merayakan semangat baru yang dibawa Diva pagi itu.
Dengan senyum tipis, Diva membalas sapaan mereka, lalu berjalan ke meja kasir. Ia duduk tenang, menarik napas dalam-dalam, menikmati suasana yang damai dan teratur. Tangannya ringan merapikan beberapa catatan penjualan sambil menunggu pelanggan berdatangan.
Di balik ketenangan itu, Diva merasa hatinya mengembang perlahan ini adalah hidup yang ia pilih sendiri, penuh kerja keras namun tanpa tekanan yang mencekik. Ia siap menata ulang masa depannya, lembar demi lembar, dimulai dari sini.
Hari ini toko Diva begitu hidup, pelanggan datang silih berganti, memenuhi rak-rak dengan suara tawa, obrolan, dan suara riuh memilih barang. Diva dengan cekatan melayani, sesekali tersenyum kepada pelanggan setianya. Waktu berlalu cepat hingga jarum jam menunjuk waktu makan siang.
Melihat para karyawannya mulai kelelahan, Diva dengan lembut menyuruh dua karyawan untuk bergantian beristirahat dan makan siang. Ia memahami betul pentingnya menjaga tenaga mereka. Setelah semua kebagian makan siang, Diva pun memutuskan untuk pulang sejenak ingin menikmati makan siang sederhana di rumah dan menjalankan salat Zuhur dengan lebih tenang.
Sore harinya, ia sudah mengatur agar karyawannya yang mengantarkan pembukuan beserta uang hasil penjualan hari itu ke rumahnya. Diva tersenyum kecil, merasa puas dengan alur harinya yang kini lebih teratur dan damai. Hari ini berjalan sesuai rencananya perlahan tapi pasti, ia kembali mengendalikan hidupnya.
Malam itu, setelah seharian disibukkan oleh toko, Diva merasa ingin memberi dirinya sedikit ruang untuk bernapas. Ia bersiap-siap dengan pakaian santai namun rapi, wajahnya tampak segar meski sederhana. Dengan suara lembut, ia meminta izin kepada Bang Reza untuk meminjam mobil sebentar, hanya ingin menikmati suasana kota di malam hari.
Reza yang mengerti kondisi adiknya pun langsung mengizinkan. “Hati-hati ya di jalan,” pesannya singkat.
Diva mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah keluar. Angin malam menyapa lembut wajahnya. Di balik kemudi, ia memutar lagu pelan sebagai teman perjalanan. Lampu-lampu kota berpendar di kaca mobil, seperti memberi pelipur lara atas semua luka yang perlahan mulai ia tinggalkan. Ini bukan sekadar jalan-jalan ini adalah bentuk kecil dari kebebasan yang baru saja ia raih.
Diva memarkir mobil di depan sebuah resto Jepang yang sudah lama ingin ia kunjungi. Dari luar, tempat itu tampak tenang dengan lampion-lampion khas yang menggantung di beranda, menciptakan suasana hangat dan menenangkan. Ia menarik napas dalam, seolah meyakinkan dirinya bahwa malam ini memang miliknya.
Saat duduk di salah satu sudut resto, pelayan datang dengan ramah dan membawakan menu. Diva memilih beberapa makanan favoritnya sushi, ramen, dan takoyaki. Selama menikah, makanan-makanan ini jarang sekali ia nikmati karena selera rumah tangganya bukanlah miliknya. Sekarang, dengan bebas, ia bisa menikmati apa yang ia sukai.
Ketika makanan tersaji, Diva menatapnya sejenak sebelum menyantap. Ada rasa haru yang pelan-pelan mengalir, bukan karena makanan itu terlalu istimewa, tapi karena momen kecil ini menyadarkannya ia mulai kembali menemukan dirinya yang dulu perempuan yang tahu apa yang ia suka dan berani memilihnya.
lanjut author..💪💪