Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Sore itu, sepulang dari mengantarkan pesanan butik Bu Tami, Nayla memutuskan mampir ke sebuah taman kecil di pusat kota untuk menenangkan pikiran. Taman itu menjadi salah satu tempat favoritnya sejak dulu, meski jarang ia kunjungi karena kesibukan. Sambil menikmati sejuknya angin dan memandangi pepohonan rindang, ia membiarkan pikirannya melayang.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara yang sangat familiar.
"Nay?"
Nayla menoleh, dan matanya membelalak. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah yang tak asing. Wajah itu membawanya ke memori masa SMA—ke masa yang dulu terasa begitu ringan dan penuh tawa.
"Ay?" jawab Nayla, suaranya hampir bergetar.
Ay tersenyum lebar, lalu melangkah mendekat. "Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini."
Nayla masih terdiam. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, dan sekarang pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya itu berdiri di hadapannya. Kenangan tentang mereka yang dulu sempat dekat saat kemah akhir tahun 2019 kembali mengalir. Saat itu, mereka berdua dipasangkan dalam satu kelompok dan menghabiskan banyak waktu bersama di lokasi bumi perkemahan yang berada di kecamatan tempat Ay tinggal.
Setelah kemah itu, hubungan mereka berlanjut. Ay yang saat itu kelas 2 SMA dan Nayla yang masih kelas 1 SMA menjalin hubungan yang cukup dekat. Meskipun usia mereka hanya terpaut satu tahun, Ay selalu memperlakukan Nayla dengan sangat perhatian. Namun, hubungan itu berakhir begitu saja ketika kehidupan membawa mereka ke jalan masing-masing.
"Apa kabar, Nay?" tanya Ay, memecah keheningan.
Nayla tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Baik, kamu sendiri gimana?"
"Baik juga," jawab Ay sambil menggaruk kepalanya, terlihat sedikit canggung. "Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini. Terakhir kali kita ngobrol... ya ampun, itu udah lama banget."
"Memang," Nayla mengakui. "Sejak aku mulai kuliah, semuanya jadi sibuk. Banyak hal yang berubah."
Ay mengangguk, tapi ia menangkap kesan lelah di wajah Nayla. "Kamu kelihatan capek, Nay. Ada apa? Kalau nggak salah, dulu kamu nggak pernah segalau ini."
Nayla tersenyum kecut. "Hidup berubah, Ay. Waktu aku SMA, semuanya memang lebih sederhana. Tapi sekarang... aku harus urus banyak hal."
Mereka berdua akhirnya duduk di bangku taman. Pelan-pelan, Nayla bercerita tentang keluarganya—tentang ibunya yang jatuh sakit, ayahnya yang mulai melemah, dan tanggung jawab besar yang kini harus ia pikul sendirian. Ay mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraan sedikit pun.
"Aku nggak nyangka kamu harus melalui semua itu, Nay," ucap Ay setelah Nayla selesai bercerita. "Waktu itu, pas aku kelas 2 SMA dan kita masih sering ketemu, aku lihat kamu selalu penuh semangat. Bahkan waktu kemah di tempatku, kamu yang paling ceria."
Nayla tertawa kecil. "Ya, itu dulu. Sekarang beda, Ay. Aku nggak punya pilihan lain selain terus berjuang untuk keluarga."
Ay terdiam sejenak, lalu menatap Nayla dengan serius. "Nay, aku tahu mungkin aku nggak lagi jadi bagian penting di hidup kamu. Tapi kalau kamu butuh bantuan atau sekedar teman cerita, aku ada, kok."
Perkataan itu membuat Nayla terharu. Ia menyadari bahwa meskipun waktu telah memisahkan mereka, Ay masih peduli padanya.
"Terima kasih, Ay. Itu berarti banget buat aku," jawab Nayla tulus.
Mereka terus berbicara hingga matahari hampir tenggelam. Pertemuan yang tak terduga ini membawa kehangatan dalam hati Nayla. Meski banyak yang berubah dalam hidupnya, pertemuan dengan Ay mengingatkannya bahwa masih ada orang yang peduli, meski ia merasa sedang berjuang sendirian.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Ay memberikan kontaknya dan berjanji untuk tetap menjalin komunikasi. Bagi Nayla, pertemuan ini adalah sebuah jeda manis di tengah perjalanan hidupnya yang penuh tantangan.