Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal dingin dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Apria—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Apria, menunjukkan sisi posesif yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria, cinta adalah perjuangan, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
garis yang di langgar dan titik didi
“Wanita itu?” Reintara menatap satpam itu dengan ekspresi tidak percaya. “Tentu saja Ria…”
Beberapa karyawan yang lewat menahan tawa, mencoba terlihat tidak memerhatikan, tetapi jelas mereka semua sudah melihat kehebohan ini.
Reintara mencabut balon dari spion dengan gerakan kasar, lalu menarik kertas besar di kaca depannya. Saat itu juga, teleponnya berbunyi—bukan dari Ria, tentu saja, karena ia sudah memblokir nomornya. Tapi kali ini, Ria menelepon lewat nomor yang berbeda.
“Ria, apa-apaan ini?” Reintara langsung berbicara tanpa basa-basi.
“Hai, Rein!” Ria terdengar ceria di ujung sana. “Kamu suka kejutan kecilku? Aku hanya ingin memastikan kamu tersenyum pagi ini.”
“Senyum?” Reintara menahan suaranya agar tidak berteriak. “Ini tidak lucu, Ria. Kamu pikir dengan melakukan ini, aku akan berubah pikiran?”
“Kamu mungkin belum mengerti sekarang,” balas Ria dengan nada santai, “tapi aku yakin kamu akan melihat bahwa semua ini aku lakukan karena aku peduli.”
Reintara mendengus. “Ria, dengarkan aku baik-baik. Kalau kamu tidak berhenti, aku akan mengambil tindakan hukum. Ini sudah melewati batas!”
Suara Ria berubah sedikit lebih serius. “Tindakan hukum? Rein, aku hanya mencoba menunjukkan rasa peduliku. Kenapa kamu selalu melihat ini sebagai sesuatu yang salah?”
“Karena ini salah, Ria,” jawab Reintara tegas. “Apa kamu tidak sadar? Perilaku seperti ini bukan cinta. Ini obsesi!”
Sebuah keheningan panjang mengisi telepon sebelum Ria berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang. “Kamu boleh bilang apa saja, Rein. Tapi aku tidak akan menyerah. Kamu tahu itu.”
Telepon terputus sebelum Reintara sempat merespons. Ia berdiri diam di tempatnya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, berurusan dengan Ria tidak akan mudah. Tapi jika dia tidak mengambil langkah tegas, obsesi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Malam harinya
Reintara memutuskan untuk mempekerjakan pengawal pribadi sementara waktu. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tahu Ria tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Namun, ketika ia pulang ke apartemennya malam itu, kejutan lain sudah menunggunya. Di depan pintu apartemennya, ada sekotak besar yang dihiasi pita merah. Di atasnya, sebuah kartu kecil tertulis: "Untuk seseorang yang selalu di hatiku."
Reintara menendang kotak itu ke samping, lalu masuk ke apartemennya dengan kesal. Tapi sesaat setelah ia mengunci pintu, suara bel berbunyi. Ia mengintip lewat lubang pintu dan melihat Ria berdiri di sana dengan senyum lebar.
“Rein, aku tahu kamu di dalam!” panggil Ria ceria.
Reintara membuka pintu dengan kasar, menatap Ria dengan tatapan penuh amarah. “Apa kamu tidak mengerti arti kata ‘tinggalkan aku sendiri’?”
Ria tidak terpengaruh. Ia malah melangkah mendekat, mencoba menyentuh lengan Reintara. “Rein, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu stres dengan pekerjaan—”
Reintara menepis tangannya. “Cukup, Ria! Aku serius. Kalau kamu tidak berhenti, aku akan melaporkanmu ke polisi. Ini peringatan terakhirku.”
Wajah Ria berubah. Senyumnya perlahan memudar, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang gelap. “Kenapa kamu selalu menganggap aku musuh, Rein? Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu.”
“Kamu tidak punya hak untuk berada dalam hidupku,” jawab Reintara dengan nada tajam. “Jadi berhenti. Sekarang juga.”
Ria berdiri diam, menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah, Rein. Kalau itu maumu.”
Ia berbalik dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Reintara dengan perasaan campur aduk. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu ini belum berakhir. Dengan Ria, masalah tidak pernah sesederhana itu.
Malam itu, setelah kepergian Ria, Reintara mencoba meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu akhirnya mengerti dan menyerah. Tapi firasat buruk tetap menggelayuti pikirannya. Ria terlalu keras kepala untuk menyerah begitu saja.
Saat pagi menjelang, firasat itu terbukti benar. Ketika Reintara tiba di kantor, ia dikejutkan oleh keributan di lantai bawah. Seorang perempuan berambut panjang, mengenakan dress merah mencolok, sedang beradu argumen dengan petugas keamanan.
“Dia harus tahu aku di sini! Aku sudah menunggu terlalu lama!” suara Ria menggema di lobi kantor, menarik perhatian banyak orang.
Reintara menghela napas berat, menutup matanya sejenak. Kenapa dia tidak pernah berhenti? pikirnya.
Dengan langkah tegas, ia menghampiri mereka. “Apa lagi, Ria?”
Ria langsung berbalik, wajahnya berubah cerah seperti baru saja melihat pahlawan. “Rein! Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti lelah.”
“Dan aku sudah bilang untuk tidak datang lagi,” kata Reintara dingin, matanya memicing. “Berapa kali aku harus mengatakan bahwa aku tidak ingin melihatmu?”
Ria menatapnya dengan wajah terluka, tapi senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Aku tahu kamu tidak benar-benar bermaksud begitu. Kamu hanya sedang marah.”
“Saya akan memanggil polisi jika Anda tidak pergi sekarang juga,” ancam Reintara, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan.
Petugas keamanan di sebelahnya langsung sigap, bersiap untuk mengawal Ria keluar. Namun, perempuan itu tetap berdiri di tempatnya, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa.
“Kamu bisa memanggil polisi, Rein. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku tetap mencintaimu,” balas Ria, suaranya bergetar namun tegas.
“Keluarkan dia,” perintah Reintara kepada petugas keamanan.
Ria tidak melawan ketika dua petugas menggiringnya keluar, tetapi tatapannya tidak lepas dari Reintara. “Kamu akan menyesal memperlakukanku seperti ini, Rein. Aku hanya ingin kamu bahagia!” serunya sebelum pintu utama tertutup.
Beberapa hari kemudian
Reintara merasa tenang setelah beberapa hari tanpa gangguan dari Ria. Ia bahkan mulai berpikir bahwa ancamannya kali ini berhasil. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Suatu malam, saat ia sedang bekerja di ruang kantornya yang sepi, telepon di mejanya berdering. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya.
“Halo?”
“Rein, akhirnya kamu menjawab.”
Suara itu membuat darahnya membeku. “Ria? Bagaimana kamu bisa menelepon ke nomor ini?”
Ria tertawa pelan. “Aku punya caraku sendiri. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melupakanku.”
Reintara mendesah keras. “Aku tidak punya waktu untuk ini.”
“Kalau begitu, aku akan membuatmu punya waktu,” jawab Ria dengan nada penuh arti.
Sebelum Reintara sempat merespons, telepon terputus. Ia memandang gagang telepon dengan frustrasi, merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak ada akhirnya.
Malam itu di apartemen Reintara
Reintara baru saja masuk ke apartemennya ketika ia melihat sesuatu yang aneh. Di meja makan, ada sebuah vas bunga berisi mawar merah segar. Di sampingnya, ada kartu kecil bertuliskan: "Jangan lupa bahwa aku selalu di dekatmu. - R."
Reintara langsung merasa waspada. Ia memeriksa seluruh apartemennya, memastikan tidak ada orang lain di dalam. Setelah yakin semuanya aman, ia duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya.
Namun, pesan di kartu itu terus terngiang di kepalanya. Bagaimana dia bisa masuk? Apa yang dia rencanakan selanjutnya?
Di sisi lain, Ria
Ria duduk di kamarnya yang penuh dengan foto-foto Reintara. Beberapa foto diambil secara diam-diam—saat Reintara di kantor, di acara formal, bahkan saat sedang minum kopi di luar.
Di tengah foto-foto itu, Ria memegang satu gambar favoritnya: Reintara sedang tersenyum samar. “Aku tahu kamu akan mencintaiku, Rein,” bisiknya. “Aku hanya perlu waktu untuk membuatmu sadar.”
Ia menyalakan laptopnya dan membuka sebuah folder bernama "Project Rein". Di dalamnya terdapat dokumen dan rencana yang terlihat seperti skema besar untuk mendekati Reintara.
“Aku tidak akan berhenti sampai kamu menjadi milikku sepenuhnya,” gumamnya sambil mengetik sesuatu di laptopnya.
Kembali ke Reintara
Esok paginya, Reintara memutuskan untuk menemui pengacara pribadinya. Ia tidak ingin ini berlarut-larut. “Aku ingin Ria dijauhkan dariku. Apapun caranya,” katanya tegas.
Pengacaranya mengangguk. “Kita bisa mengajukan perintah perlindungan. Jika dia melanggar, dia bisa ditangkap.”
“Lakukan,” balas Reintara.
Namun, dalam hati kecilnya, Reintara tahu bahwa ini bukan solusi akhir. Dengan Ria, tidak ada yang sesederhana itu.