Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
***
Aku sedikit bernapas lega saat membuka mata dan menyadari kalau aku masih berada di kamar hotel tempat kami menginap. Aku mengintip pakaian yang kukenakan di balik selimut, kebaya yang membuatku nyaris merasa sesak napas itu akhirnya terlepas dan sudah digantikan dengan piyama milikku. Aku tidak peduli siapa yang menggantinya, yang jelas aku ingin sekali berterima kasih dengan orang itu.
Tidak ada siapapun di sini yang menungguiku, mungkin Mas Yaksa sedang sibuk dengan tamu-tamunya. Aku tidak merasa berkecil hati, justru sebaliknya aku merasa lega. Perlahan aku bangun dari tempat tidur, mencari kunciran dan menggulung rambutku secara asal. Turun dari ranjang dan bergerak mencari sesuatu yang bisa aku makan untuk meredakan rasa lapar.
"Sudah bangun?"
Aku nyaris tersedak air minum yang kutegak saat mendengar suara Mas Yaksa secara tiba-tiba. Dia baru selesai mandi, rambutnya basah, dan sebagian badannya pun masih terlihat sedikit basah. Meski sudah terlewat sering melihatnya, tetap saja aku belum terbiasa untuk itu.
"Apa aja yang dirasain?"
"Laper," cicitku dengan suara pelan.
Aku tidak terlalu yakin apakah Mas Yaksa benar-benar mendengarnya atau tidak, tapi dengan isyarat tubuh yang kutunjukkan harusnya dia paham.
Helaan napas panjang Mas Yaksa terdengar tak lama setelahnya. Ekspresinya terlihat seperti orang tidak percaya dan kehilangan kata-kata.
"Jadi Ema bener, kamu pingsan karena kelaparan?"
Penekanan pada kata kelaparan yang Mas Yaksa sebut membuatku merasa sedikit malu. Apalagi dengan ekspresinya yang demikian, wah, aku merasa seperti tidak memiliki muka lagi di hadapan Mas Yaksa.
Haruskah aku kabur?
"Maaf," cicitku takut-takut.
"Mending kamu makan dulu," ucap Mas Yaksa seakan mengabaikan permintaan maafku, "Mas tadi udah pesan layanan kamar, tapi udah agak tadi jadi mungkin udah dingin. Karena Mas pikir kamu akan segera bangun."
"Enggak papa, yang penting makan. Mas Yaksa sendiri gimana? Udah makan atau belum?"
"Kamu duluan aja, Mas mau pakai baju dulu."
Pakai baju emang berapa lama?
"Aku tungguin Mas kalau begitu."
Mas Yaksa tidak menjawab dan hanya merespon dengan anggukan kepala. Sembari menunggu Mas Yaksa aku memilih mengecek ponsel, meski sejujurnya aku sudah sangat lapar. Tapi beruntung ramainya grup chat membuatku sedikit mengalihkan rasa laparku.
...Reaompong grup...
Velly :
Kata gue sih, fix, Geya pasti hamidun
Yasmin :
Ngaco lo!
Velly :
Ya enggak lah, kan hari ini cuma resepsi pernikahan doang, mereka nikahnya udah lama, masuk akal kalo hamil
Yasmin :
Geya menyusui, Vel, ya kali dia hamil
Velly :
Berarti, fix, kebobolan sih
Banyak ibu2 yang kebobolan meski masih menyusui kan?
Yasmin :
Vel, lo gk lupa kondisi Geya kan?
Velly :
Upss🙊
Anda :
Kalau mau ngetik pake bismillah dulu makanya, Vel
Anda :
Gue gk hamil.
Selesai mengetik balasan, aku langsung menutup room chat grup dan meletakkan ponsel di sebelahku karena Mas Yaksa sudah selesai mengganti pakaiannya. Kami kemudian makan dalam diam, aku tidak berani membuka suara, Mas Yaksa pun terlihat tenang dan tidak berani membuka suara.
"Maaf soal tadi, Mas."
Akhirnya setelah kami selesai makan, aku berani memulai percakapan kami. Mas Yaksa tidak langsung merespon, ia masih menunjukkan sikap acuh tak acuhnya persis seperti tadi saat aku meminta maaf.
"Yang mana?"
Harusnya aku merasa lega karena Mas Yaksa akhirnya merespon, tapi mendapati reaksinya yang demikian aku mendadak bingung. Yang mana? Memang ada berapa banyak kekacauan yang sudah kulakukan?
"Yang tadi, Mas, pas aku pingsan dan bikin kacau acara--"
"Kamu yakin?" potong Mas Yaksa tidak terlihat puas akan jawabanku.
Jantungku tiba-tiba berdebar kencang, aku mulai merasa gelisah sekaligus cemas. Mungkinkah?
Aku menggeleng cepat.
"Lalu?"
"Hah?"
"Lalu kamu mau minta maaf soal apa lagi selain itu?"
Aku kembali menggeleng. "Enggak ada," jawabku cepat.
Mas Yaksa mengangguk paham, ia kemudian berdiri. "Oke, kalau gitu mending kita tidur, kamu pasti capek juga kan?" Saat hendak melangkah ia tiba-tiba berbalik, "Geya," panggilnya kemudian.
"Gimana, Mas?"
Ekspresi Mas Yaksa terlihat ragu-ragu, ia seperti ingin menanyakan sesuatu.
"Ada yang ganggu pikiran Mas Yaksa?"
Kali ini tanpa keraguan, Mas Yaksa mengangguk. Namun, tak berselang lama, ekspresinya terlihat berpikir serius.
"Biar nggak makin mengganggu pikiran, mending kita obrolin sekarang saja, Mas," ucapku menyarankan.
Rasanya tidak tega juga aku melihatnya begitu, setidaknya aku pun ingin tidur nyenyak sehabis ini. Karena kalau Mas Yaksa memutuskan untuk tidak membagi apa yang mengganggu pikirannya, kemungkinan aku tidak akan bisa tidur nyenyak setelahnya.
"Mas lihat pria itu."
"Siapa?"
"Yang bikin kamu nangis tadi pagi."
Tubuhku seketika langsung menegang kaku. Selain terkejut, aku lebih merasa takut. Apa nasib pernikahan kami akan baik-baik saja?
"Mas." Aku mendesis pelan, "aku... Aku bisa jelasin."
Di luar dugaan, Mas Yaksa justru menggeleng dan tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku kesal. "Menurut kamu apa pernikahan kita bisa bertahan?"
Aku tahu kami menikah tidak atas dasar cinta, tapi setidaknya kami punya komitmen, lalu sekarang kenapa bertanya demikian?
"Mas, bukannya kita sama-sama udah komitmen ya? Terus kenapa kamu tiba-tiba begini?"
Ada jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya Mas Yaksa membuka suara kembali.
"Melihat tadi pagi kamu menangis tersedu-sedu karena pria itu dan betapa frustasinya kalian bikin Mas mikir, tidak apa-apa kalau seandainya kita tidak melanjutkan pernikahan kita."
Kedua bola mataku membulat sempurna. "Mas!" Tanpa sadar aku menaikkan nada bicaraku, ekspresiku berubah tidak suka, sebelah tanganku terkepal kuat, "kamu ini kenapa?"
"Mas nggak mau jadi orang jahat, Geya. Kalau kamu yakin sama perasaan kamu, Mas siap menceraikan kamu demi kebahagiaan kalian."
Tanpa sadar aku mendengus tidak percaya. Dengan kedua mata memerah, aku menatap Mas Yaksa dengan sinis.
"Demi kebahagiaan kami atau demi kebahagiaan kalian?" tanyaku dengan nada menyindir.
"Maksud kamu apa?" Nada bicara Mas Yaksa terdengar tersinggung sekaligus tidak terima, "kamu yang sejak awal nggak jujur sama Mas dan bisa-bisanya sekarang kamu nuduh Mas yang enggak-enggak?"
"Dokter Ema."
"Kenapa sama Ema?"
Aku memilih bungkam.
Meski masih diselimuti amarah, namun, Mas Yaksa berusaha untuk tetap menguasai diri. "Mas nggak ada perasaan apapun sama dia, beda sama kamu yang memiliki perasaan buat pria lain. Seharusnya Mas marah, Geya, karena Mas ini suami kamu, tapi Mas memilih buat nggak marah karena Mas sadar diri dengan hubungan kita. Tapi sikap kamu malah terkesan menuduh Mas berselingkuh padahal kamu yang berselingkuh."
"Aku nggak selingkuh, Mas, Galen itu masa lalu aku. Aku dulu pernah suka dan berharap lebih sama dia, dan sekarang aku tahu posisi aku sebagai istri kamu," seruku emosi.
"Tapi kamu masih memiliki perasaan buat dia, Geya," desis Mas Yaksa membuatku kembali bungkam.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.