Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
Sebuah suara gemuruh mengguncang lantai, memecah keheningan malam dengan ketakutan yang merayap di tulang punggung mereka. Arka memandang ke arah jendela yang bergetar, wajahnya kaku. “Mereka datang! Segera siapkan semua senjata!”
Gathan, dengan ototnya yang bergetar karena ketegangan, menegakkan tubuhnya, siap untuk bertempur. “Kita harus bertahan. Mereka tidak akan mengambil tempat ini tanpa pertarungan!”
Nafisah dan Nizam, yang berdiri di sudut, berlari menuju meja kerja. Nafisah mengumpulkan senjata improvisasi yang mereka buat, tangannya gemetar tetapi bertekad. “Nizam, bantu aku! Kita harus mengatur ini dengan baik!”
Nizam mengangguk, memperhatikan mata Nafisah yang penuh tekad, dan berkata, “Kita akan mengoordinasikan serangan. Ayo, ambil yang terbaik dari setiap alat yang ada!”
Dari balik pintu, suara geraman menakutkan semakin jelas. Satu per satu, zombie mutan mulai menerobos masuk. Tubuh mereka besar, dengan kulit yang terkelupas dan mata merah menyala.
“Bersiap-siap!” Arka meneriakkan perintah, suaranya bergetar penuh emosi. Kita tidak bisa kalah!
Dalam keributan, Seno berdiri di depan pintu, wajahnya tegang, peluh mengalir di dahi yang terbalut keringat dingin. “Kita tidak bisa biarkan mereka masuk! Pergi! Aku akan menahan pintu ini!”
Nafisah terbelalak, jantungnya terasa terhimpit oleh ketakutan. “Seno, jangan! Kita semua bisa bertarung bersama!”
Tapi Seno hanya tersenyum pahit. “Tidak ada waktu. Ini satu-satunya cara.” Dengan napas tersengal, dia memegangi pintu yang bergetar akibat dorongan zombie. “Aku bisa melakukannya!”
Ketika dia memaksa pintu tetap tertutup, dia merasakan kekuatan dari makhluk-makhluk di luar—mereka terus mendorong, mengancam untuk mengambil semua yang mereka cintai. Darah mengalir dari lukanya, tetapi Seno menahan rasa sakitnya. “Ayo, cepat! Pergilah sekarang!”
Arka menatap Seno dengan mata berkaca-kaca, hatinya penuh duka. “Seno… jangan…”
Dengan suara menggelegar, pintu itu hampir terbuka. Seno mendapatkan keberanian baru, seolah semua kenangan bersama teman-temannya mengalir di dalamnya. “Aku tidak akan membiarkan mereka masuk! Pergilah, sekarang!”
Satu dorongan kuat membuatnya terhuyung ke belakang, tetapi dia berhasil menjaga pintu tetap tertutup. Dan saat itulah, dalam detik-detik terakhir, Seno merasakan makhluk itu menggerogoti tubuhnya. “Selamat tinggal, teman-teman…” suaranya menghilang dalam kegelapan.
Ketika gemuruh mulai bergema, dinding-dinding gedung bergetar seolah merasakan kesedihan dan kepanikan di dalamnya. Suara retakan dan runtuh mengisi udara. Arka menjerit, “Seno! Tidak!”
Tetapi mereka tidak punya waktu untuk berduka. Puing-puing mulai jatuh dari langit-langit, menambah kekacauan. Nafisah meraih tangan Arka, air mata membasahi pipinya. “Kita harus pergi! Sekarang!”
Gathan mendorong mereka ke arah pintu darurat, dan mereka melangkah mundur, terpaksa meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumah. Suara deru angin dan jeritan zombie memenuhi telinga mereka, menciptakan suasana mencekam.
Mereka berlari ke luar, dan saat melangkah ke dalam kegelapan, terlihat bayangan zombie yang lebih banyak berkumpul di sekeliling gedung. Jeritan dan teriakan mengisi malam, menambah ketidakpastian.
Dengan hati yang hancur, mereka melangkah ke dunia yang lebih luas dan lebih berbahaya, merasakan beratnya kehilangan teman dan harapan baru. Di luar sana, petualangan baru menanti, tetapi kini mereka harus berjuang lebih keras dari sebelumnya.
Ketegangan mencapai puncaknya saat kelompok itu melangkah ke dalam ketidakpastian, siap menghadapi ancaman yang lebih besar dari sebelumnya, dengan kesedihan dan keberanian dalam hati mereka.
Setelah melarikan diri dari gedung yang hancur, kelompok remaja itu berkumpul di sudut ruangan yang sepi. Mereka duduk di atas puing-puing, wajah-wajah mereka lelah dan penuh kesedihan, masih merasakan kehilangan Seno. Nafisah mengangkat kepalanya, berusaha menahan air mata. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” suaranya bergetar. “Kita butuh pemimpin yang bisa memandu kita dalam situasi seperti ini.”
Arka, yang berdiri di depan mereka, dapat merasakan berat tanggung jawab menggelayuti bahunya. “Aku tidak ingin menggantikan Seno. Dia adalah pahlawan kita,” katanya, memandang mata mereka satu per satu, penuh ketulusan. “Tapi jika kalian menginginkanku memimpin, aku akan melakukan yang terbaik untuk kita semua.”
Gathan, yang masih skeptis, menghadapkan wajahnya, melipat tangan di dada, dan menyatakan pendapatnya. “Aku masih tidak yakin. Bagaimana kita bisa mempercayai kepemimpinan ini tanpa mengetahui keputusannya?”
“Tapi Seno mempercayainya!” teriak Jasmine, melangkah maju dengan tekad yang menyala di matanya. “Dia berkorban untuk kita. Kita harus menghormatinya dengan bersatu, bukan saling meragukan.”
Nizam, yang biasanya pendiam, menegakkan punggungnya dan menambahkan, “Kita semua berbeda, tetapi itu justru kekuatan kita. Mari kita dukung Arka. Kita perlu satu suara sekarang.”
Setelah beberapa saat hening, di mana hanya terdengar napas yang terengah-engah, Gathan mengangguk perlahan, wajahnya mencerminkan keraguan yang menghilang. “Baiklah. Aku setuju. Arka, kami mengikutimu.”
Dengan keputusan itu, atmosfer di dalam ruangan mulai berubah. Arka merasakan beban di hatinya sedikit mengangkat. “Terima kasih. Bersama, kita akan kuat,” ujarnya dengan suara yang penuh semangat, bertekad untuk menghormati pengorbanan Seno.
Keesokan harinya, kelompok ini mengadakan latihan. Nafisah dan Nizam mulai merakit alat-alat baru, dengan semangat yang menggebu-gebu di wajah mereka. “Kita perlu lebih banyak senjata improvisasi. Mungkin kita bisa memanfaatkan barang-barang di sekitar kita,” ucap Nizam, tangannya bergerak cepat merakit senjata.
“Setiap orang memiliki keahlian unik yang bisa kita manfaatkan,” jawab Jasmine, mengawasi pergerakan zombie dari tempat tinggi. “Aku bisa membantu dengan analisis perilaku mereka. Jika kita tahu cara mereka bergerak, kita bisa menghindar.”
“Dan aku bisa menyusun strategi pelarian yang lebih baik,” kata Abib, menunjukkan peta usang yang sudah robek di sudut-sudutnya. “Kita harus tahu ke mana kita bisa pergi jika situasi semakin buruk.”
Satu per satu, mereka berkontribusi. Arka mengawasi dan memberikan instruksi, merasa bangga melihat kelompoknya bekerja sama. “Kita adalah satu tim. Setiap langkah kecil yang kita ambil akan membawa kita lebih dekat ke keselamatan.”
Saat pelatihan berlangsung, ikatan di antara mereka semakin kuat. Ketegangan perlahan-lahan mereda, digantikan dengan tawa dan semangat yang menular. "Akhirnya, kita memiliki sesuatu untuk diperjuangkan lagi," pikir Arka.
Namun, saat mereka beranjak untuk meninggalkan tempat yang aman, suara gemuruh terdengar di kejauhan. Semua orang terdiam, telinga mereka menegak, merasakan getaran yang menakutkan.
“Apa itu?” tanya Nafisah, ekspresi ketakutannya terlihat jelas, dengan tangan bergetar di samping tubuhnya.
“Dengar! Itu suara langkah kaki… banyak sekali!” teriak Jasmine, wajahnya berubah pucat.
Mereka semua saling memandang, dan rasa ketegangan kembali menyelimuti mereka. “Kita tidak bisa terjebak di sini,” kata Gathan, menyentuh bahu Arka dengan penuh harap. “Kita harus bergerak sekarang!”
Suara langkah kaki semakin mendekat, menjadi lebih keras dan menggema dalam keheningan malam. Arka, dengan cepat, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. “Kita siap. Jika ini adalah pertarungan terakhir kita, kita akan melakukannya bersama.”
Saat mereka berlari keluar, suara gemuruh zombie yang mengancam mengisi udara, menandakan bahwa mereka kini harus berhadapan dengan ancaman baru yang lebih besar dan lebih menakutkan dari yang pernah mereka bayangkan. Ketegangan membara dalam diri mereka, saat langkah mereka terasa berat, tetapi harapan masih menyala di hati.