Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liliana
Om Arsen meminta pada Kak Adelia untuk menunjukkan kamar yang akan kami tempati. Awalnya kak Adelia menolak dengan alasan, aku bisa menempati kamar mana saja, selama itu bukan kamarnya. Tapi, sepertinya keinginan Om tidak bisa dibantah, om menegaskan bahwa kamar yang di tempati kak Adelia sekarang tidak akan menjadi kamarnya lagi, karena kami akan segera pindah dari sini.
Tanpa membantah dan mengatakan apapun lagi, kak Adelia segera beranjak dari tempat duduk dan segera pergi dari sana menaiki lantai dua, sedang om meminta aku untuk segera mengikutinya.
Langkah kaki yang cepat membuat aku kewalahan mengikuti langkah kak Adelia di tambah rumah ini sangat besar dan luas, aku khawatir tertinggal dibelakang dan kehilangan jejak kak Adelia.
"Kak Adelia, tunggu." panggilku yang sepertinya kak Adelia tak mendengar panggilanku. Ya, Om sempat menjelaskan jika aku lebih tua satu tahun dibanding kak Adelia, dan ia berharap aku cepat mengakrabkan diri dan menganggap dia sebagai kakakku.
"Oh, astaga, yang benar saja, Pa." gerutunya pelan pada dirinya sendiri.
Meski ia mengucapkannya dengan pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. Karena khawatir tertinggal, aku mempercepat langkahku tanpa melihat kedepan lagi karena fokus melihat lantai ditambah aku perlu menyeret koper ini. Sebenarnya ini koper kecil, tapi entah mengapa rasanya berat sekali.
Hal ini kembali mengingatkanku akan Ibu. Setiap apa yang kulakukan jika menurut ibu itu lamban ia akan selalu mengatakan jika aku payah dan tidak bisa di andalkan. Meski, aku dan Ibu tidak dekat, tepatnya, ibu tidak suka jika berdekatan denganku.
Mungkin tepatnya setelah ibu dan papa berpisah, entah mengapa ibu jadi tidak menyukaiku, tapi aku tidak membenci ibu. Meski ibu sering marah-marah, ia tidak pernah membiarkan aku kelaparan sendirian di rumah, ia selalu meninggalkan uang. Karena ibu lebih sering diluar dan pulang hanya beberapa hari sekali.
Meski kenyataannya setiap pulang, Ibu tidak pernah berhenti memakiku dengan berbagai macam umpatan, sungguh, aku tidak pernah membenci Ibu dan membiarkan kata-kata itu singgah berlama-lama dihatiku. Kini, aku merindukan Ibu.
Aku merasa canggung disini dan asing. Ini adalah kali kedua aku kesini, meski aku tidak ingat kapan pertama kalinya, tapi Om bilang jika itu sudah lama sekali, jadi wajar jika aku merasa canggung tapi perlahan-lahan kami akan menjadi dekat karena kami keluarga.
Aku ingin pulang. Walau aku merasa ada yang aneh. Ya, Ibu tidak pernah pulang lagi sejak meninggalkanku terakhir kali, dan ada yang datang ke rumah dan mengatakan jika rumah kami akan disita, perempuan itu bilang jika ibu sudah meninggalkanku dan melarikan diri karena memiliki hutang yang cukup banyak, dan sebenarnya ibu menjadikanku jaminan bersama hutangnya.
Aku dijual oleh Ibu. Meski awalnya aku tidak percaya, tapi melihat sikap ibu padaku, mau tidak mau aku harus percaya. Tapi sungguh, aku berharap ibu pulang dan mengatakan jika semua yang terjadi adalah kebohongan.
Langkahku kupercepat agar aku tidak tertinggal semakin jauh oleh kak Adelia. Aku tahu, ia tidak menyukaiku. Tapi aku memaklumi itu. Meski aku nampak lemah dari luar, dan itu benar adanya, tapi aku tidaklah bodoh. Aku bisa membaca situasi dan aku tahu apa yang tengah terjadi.
Bisa datang ke rumah ini, artinya aku sudah bukan jaminan lagi, aku sudah ditebus oleh Om Arsen. Meski terdengar layaknya barang, tapi itulah faktanya. Aku tahu, yang menerimaku disini hanyalah om Arsen.
Meski begitu, aku tahu Tante Hana lidia meski tidak suka padaku tapi ia pun tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Ya, ia hanya mengabaikan ku, tapi itu lebih baik dibanding ia bersikap seperti ibu yang selalu mengataiku dengan berbagai umpatan yang menyakitkan.
Meski kak Adelia tidak menyukaiku, tapi aku tahu ia pun tidak jahat sebenarnya. Hanya saja, situasi ini menyebabkan siapapun pasti akan melakukan hal yang sama.
Bagaimana tidak, hidupmu yang awalnya selalu nyaman tiba-tiba akan segera berubah. Seseorang memberitahumu jika kamu akan segera pindah dan meninggalkan segala kemewahan, dan pindah ke tempat terpencil.
Aku tahu, mungkin kak Adelia hanya sedang terguncang. Sebenarnya aku takut, tapi sekarang aku hanya punya mereka. Aku berjanji apapun yang akan terjadi, aku tidak akan membenci dan selalu ada untuk kak Adelia. Aku hanya perlu menjalani ini dan melewatinya.
Karena terburu-buru mengikuti langkah kak Adelia dan tidak memperhatikan langkah, akhirnya aku menabrak punggung kecilnya yang sepertinya memutuskan berhenti agar aku tak tertinggal jauh.
"Ceroboh sekali," umpatku pada diri sendiri, aku khawatir ia marah padaku sekarang.
"Kak Adelia, maaf!" ucapku tertunduk. Hanya berdecak sebagai jawaban bahwa ia tidak menyukainya, tapi aku mengerti perasaanya dan tidak berharap lebih. Selain maaf, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Dan kupikir, lain kali aku harus meminta maaf secara benar, karena aku dan Ibuku lah penyebab hidupnya akan berubah sebentar lagi.
"Masuklah, disini kamarku." ucapnya datar tanpa menatapku.
"Terima kasih, Kak Adelia." ujarku lagi, kali ini tersenyum menatapnya meski lagi-lagi aku akhirnya memilih menunduk. Sungguh, kak Adelia cantik sekali. Dan kupikir, hidupnya pasti sempurna sekali selama ini. Dan, maaf. Ya, hanya itu.
"Adelia saja, kau tak perlu memanggilku kakak, aku bukan kakakmu." sahutnya malas.
"Tapi, tetap saja. Kau kakak sepupuku, usia kita berbeda satu tahun, aku. ." ucapku terbata-bata seolah akan ada yang akan menelanku hidup-hidup. Meski sesekali aku mencuri pandang.
"Baiklah, terserah kau saja." sahutnya malas. Kenapa aku cerewet sekali. Biasanya aku tidak se-cerewet ini. Sekilas aku melihatnya nampak murung, aku khawatir sekali.
Aku bergegas masuk ke dalam setelah di bukakan pintu, aku hendak mengeluarkan isi koperku. Sebenarnya barangku tidak banyak, hanya beberapa lembar baju dan satu boneka Teddy usang yang sudah lama.
"Kita hanya semalam disini, kau tak perlu membongkar barangmu." ujarnya mengingatkan. Sedang setelah itu, setelah mengantarkanku ke kamar, dia bergegas menuju ke balkon kamar ini. Setelah kuperhatikan, ternyata kamar ini memiliki balkon yang cukup luas.
Tidak jadi membongkar barangku karena besok kami akan berangkat pagi, aku baru sadar jika kamar ini bernuasa warna putih, yang menenangkan mata. Sepertinya kak Adelia suka warna putih.
Kurasa pasti menyenangkan memiliki kamar sendiri, bisa memilih warna dan mendekornya sesuai dengan tema yang diinginkan sendiri. Aku? Dirumah aku memang memiliki kamar sendiri, kamar yang pastinya tidak seluas dan semegah ini. Hanya kamar kecil tapi aku sekarang merindukannya.
Beralih menatap kak Adelia yang tengah berdiri sendirian diluar balkon, pandangannya kosong dan menatap kedepan sana. Tunggu, sepertinya kak Adelia menangis.
Mengetahuinya menangis. Aku segera beranjak keluar dari kamar dan memutuskan untuk menunggu diluar kamar saja. Sepertinya kak Adelia perlu waktu untuk sendiri.
"Maaf, kak Adelia." ucapku pelan menutup pintu. Aku tahu pastilah tidak menyenangkan menjadi ia sekarang dan parahnya aku adalah penyebab tangisan seseorang itu. Jika bisa memilih, aku memilih ada dirumah, meski selalu kena umpatan. Tapi itu masih lebih baik, karena tidak merusak senyuman seseorang.
"Liliana, kenapa ada diluar? Apa Adelia tidak membiarkanmu masuk?." tanya Om Arsen hendak membuka pintu kamar memastikan bahwa perkataannya benar. Sungguh aku takut, takut menjadi penyebab perdebatan orang lain, terlebih ayah dan anak ini.
Aku yakin sebelum ini, mereka adalah keluarga harmonis. Tapi setelah ini, semuanya nampak berbeda. Terlihat dari penampilan Om Arsen yang terlihat cukup berantakan dibanding terakhir kali aku melihatnya saat ia menebusku saat itu.
Entah mendapat kekuatan dari mana, aku mencekal tangan Om Arsen yang hampir saja berhasil membuka pintu dan mengusik seseorang yang tengah ada didalamnya.
"Ada apa Liliana?." tanya Om Arsen kini beralih menatapku dan melepaskan tangannya dari handle pintu.
"Tidak, Om. Kak Adelia baik, lilian hanya ingin melihat-lihat saja." sahutku cepat.
"Baiklah, om hanya khawatir saja." jawabnya tersenyum, tapi nampak kusut mungkin dari pikirannya. Tapi, aku memaklumi itu.
"Kak Adelia baik, Om." jelasku. Sukses menarik senyumnya dan beranjak dari sana.