Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Sesi Wawancara
Di ruang keluarga yang luas dan elegan, Ziel duduk di sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya, Zion dan Elin. Papanya duduk tegap dengan ekspresi tenang dan dingin, sementara mamanya menatapnya dengan penuh kelembutan.
Zion membuka pembicaraan dengan nada datar namun penuh ketegasan. "Jelaskan, Ziel. Kenapa kau tiba-tiba memutuskan pertunangan dengan Nika?"
Ziel menghela napas panjang, kedua tangannya bertaut di atas pahanya. "Nika berselingkuh," ucapnya, suaranya terdengar berat.
Elin menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat. "Ziel..." bisiknya, nadanya mengandung kesedihan.
Ziel melanjutkan, matanya menerawang. "Awalnya aku tidak curiga. Dia minta izin untuk liburan ke luar negeri, dan aku bahkan membelikannya paket liburan spesial karena aku terlalu sibuk untuk ikut. Aku pikir itu bisa menggantikanku." Ziel tersenyum kecut. "Ternyata justru aku yang digantikan."
Zion menyimak tanpa mengubah ekspresinya, hanya matanya yang sedikit menyipit. "Bagaimana kau tahu?"
"Om John." Ziel menatap papanya. "Dia kebetulan sedang ada urusan di luar negeri dan melihat Nika bersama seorang pria. Dia meminta seseorang mengawasi Nika dan hasilnya..." Ziel menggertakkan rahangnya, menahan emosi. "Bukti-bukti perselingkuhannya ada di tanganku."
Elin meraih tangan Ziel, menggenggamnya erat. "Kalian sudah cukup lama bersama, pasti ini menyakitkan untukmu. Tapi, mengetahui ia tak setia sekarang, itu lebih baik daripada setelah kalian menikah."
Ziel mengangguk kecil, tak ingin menunjukkan kelemahannya. "Mama benar. Aku dan Nika sudah bersama lima tahun, bertunangan dua tahun. Kupikir aku mengenalnya... ternyata tidak." Suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya menyiratkan luka yang mendalam.
Zion akhirnya berbicara, suaranya tetap dingin namun tegas. "Keputusanmu sudah bulat?"
Ziel menatap ayahnya lurus. "Iya."
Zion mengangguk, tak menunjukkan emosi berlebihan. "Kalau begitu, jangan menoleh ke belakang. Kau sudah tahu seperti apa Nika sebenarnya, jangan sampai goyah dengan dramanya."
Elin mengelus lengan Ziel dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Nak? Kau tak perlu berpura-pura kuat di depan kami."
Ziel menunduk sejenak, lalu tersenyum kecil. "Akan baik-baik saja, Ma."
Zion menatap putranya dalam-dalam. "Pastikan kau benar-benar sudah selesai dengan dia. Jangan biarkan perasaan lamamu menghambat masa depanmu."
Ziel mengangguk. "Aku sudah selesai, Pa."
Elin tersenyum lembut, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Kalau begitu, Mama hanya berharap kau menemukan seseorang yang lebih baik. Yang benar-benar mencintaimu dan tak akan mengkhianatimu."
Ziel tidak langsung menjawab. Ia mencoba tersenyum, tetapi dadanya terasa sesak. Luka itu masih terasa nyata, apalagi saat pikirannya kembali pada malam di luar kota, malam yang tak seharusnya terjadi.
Nika menyusulnya, memohon kesempatan, lalu… Ziel mengepalkan tangan di atas pahanya. Ia tak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi setelahnya. Hanya samar-samar, mobil, kabin yang pengap, dan keheningan yang menyesakkan. Ia mengusap wajahnya, menekan rasa gelisah yang tiba-tiba menyeruak.
Sebelum perselingkuhan itu terbongkar, Ziel benar-benar mencintai Nika. Rasa kecewa dan sakit hati setelah mengetahui pengkhianatannya begitu mendalam, namun anehnya, luka itu tak terlalu menghantuinya.
Yang lebih mengusiknya adalah ingatan sosok gadis yang bersamanya di mobilnya saat itu. Wajahnya buram di ingatan Ziel, tetapi satu hal yang pasti, ia telah melakukan kesalahan besar.
***
Dara melangkah masuk ke lobby perusahaan dengan penuh percaya diri, setidaknya, begitulah yang ingin ia tunjukkan. Dalam hati? Jantungnya udah kayak band rock konser di stadion.
Begitu melihat barisan orang yang duduk menunggu giliran interview, ia langsung meringis. “Waduh, ini antrean interview atau antre sembako gratis, sih?” gumamnya pelan.
Ia mengambil tempat duduk di salah satu sudut, berusaha santai meski kakinya goyang-goyang sendiri. Di sebelahnya, seorang wanita berjas rapi dengan wajah tegang memegang CV seperti kertas wasiat. Dara melirik dan tersenyum.
"Udah, Kak, nggak usah tegang begitu. Paling mentok ditanya, ‘Kenapa Anda ingin bekerja di sini?’ Jawab aja, ‘Karena saya butuh duit.’”
Beberapa orang melirik, lalu ada yang terkekeh.
Seorang pria berkemeja biru yang duduk di seberang menimpali, “Kalau ditanya kelebihan dan kekurangan gimana?”
Dara mengangkat bahu. “Kelebihan saya, bisa meredakan ketegangan di ruangan ini. Kekurangannya? Saya nggak bisa diam.”
Seisi ruangan tertawa kecil, suasana yang tadinya penuh ketegangan mulai mencair.
Seorang wanita lain ikut bicara. “Kalau ditanya, ‘Lima tahun ke depan Anda lihat diri Anda di mana?’”
Dara menaruh dagu di tangan. “Lima tahun ke depan? Hmm… Kalau bisa sih, di Bali, sambil selonjoran di pantai, gajian tiap bulan tanpa kerja. Tapi kayaknya HRD nggak bakal suka jawaban itu.”
Gelak tawa makin pecah. Dara tersenyum puas, senang bisa mengurangi tekanan di ruangan ini. Ia sendiri tahu, interview kerja itu bikin jantung dag-dig-dug. Tapi daripada stres, lebih baik dinikmati saja.
Tiba-tiba, seorang staf HRD muncul dari dalam ruangan, memanggil namanya.
"Dara?"
Dara langsung berdiri, menepuk bajunya. "Siap! Doakan aku, guys! Kalau aku keterima, traktiranku cuma doa. Kalau nggak keterima, kita nangis bareng!"
Tawa orang-orang kembali pecah saat Dara melangkah masuk ke ruang interview dengan senyum optimis.
Di dalam ruangan interview, Dara duduk dengan santai, meski tetap menjaga sopan santun di hadapan pewawancara yang tampak serius menatap CV-nya.
Pewawancara mengernyit. “Mandara... Usia 22 tahun, sudah lulus S2?” Matanya terangkat, menatap Dara dengan pandangan penuh tanya.
Dara tersenyum cerah. “Iya, Pak. Saya masuk SD waktu umur lima tahun.”
Pewawancara menaikkan alis. “Lho, kok bisa?”
Dara mengangguk mantap. “Soalnya saya nggak betah di TK, Pak. Teman-teman saya waktu itu masih struggling (berjuang dalam kesulitan) baca ‘A-I-U-E-O’ sementara saya sudah bisa baca koran. Rasanya kayak hidup di dunia yang salah.”
Pewawancara terdiam sejenak, lalu mengangguk-angguk sambil membaca CV-nya lagi. “Oh... jadi dipercepat, ya?”
“Betul! Kebetulan ibu saya guru TK, bapak saya guru SD, jadi pendidikan saya bisa ‘disubsidi’ lebih awal.”
Pewawancara tersenyum tipis. “Cukup unik, ya. IQ kamu berapa?”
“125, Pak,” jawab Dara tanpa ragu.
Pewawancara mengangguk-angguk lagi. “Lumayan cerdas.”
“Lumayan?” Dara menatapnya dramatis. “Pak, itu angka di atas rata-rata, lho! Saya nggak jenius, sih, tapi cukup buat menghindari jebakan Batman.”
Pewawancara menahan senyum. “Oh ya, ini pertama kali saya mendengar nama ‘Mandara.’ Artinya apa?”
Dara langsung duduk lebih tegap. “Mandara artinya bunga surgawi yang sangat indah, Pak! Dari bahasa Sansekerta.”
Pewawancara tampak terkejut. “Wah, keren juga ya. Dari mana orang tua kamu dapat inspirasi nama ini?”
Dara mengangkat bahu dengan ekspresi jenaka. “Nggak tahu, Pak. Mungkin dulu waktu kasih nama saya, mereka lagi terinspirasi sesuatu yang indah, terus kebayang surga. Atau mereka berharap saya jadi anak baik dan wangi seperti bunga. Tapi nyatanya?” Dara menepuk bahunya sendiri. “Saya cuma manusia biasa, Pak. Bisa wangi kalau pakai parfum, bisa juga kecut kalau belum mandi.”
Pewawancara menahan tawa, menutup CV-nya, lalu menatap Dara dengan ekspresi yang lebih santai. “Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.”
Dara pura-pura menunduk malu, padahal dalam hati sudah menggerutu. "Laki-laki memang jago merayu. Untung saja kuat iman. Eh, kuat mental maksudnya. Nggak mempan sama rayuan gombal."
“Saya rasa, suasana kantor bakal lebih hidup kalau kamu bekerja di sini,” lanjut pewawancara.
Dara menangkupkan tangannya penuh harap. “Pak, ini kode diterima, bukan? Kalau iya, saya siap langsung nyari kos dekat kantor biar nggak kesiangan.”
Pewawancara tertawa kecil. “Sabar dulu. Masih ada tahapan berikutnya.”
Dara mengangguk mantap. “Siap, Pak! Semoga saya bisa lolos ke babak grand final.”
Pewawancara menggeleng pelan, masih tersenyum. “Kamu ini unik sekali.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kalian aja yang gak tahu....🤭🤣🤣
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sampai ziel sangat terkejut dara mulai nakal menggodanya dan dara memulai memimpin permainan ziel hasrat parah dan menikmatinya....
Zion dan elin ingin ikut melihat USG calon cucunya perkembangannya...
biasa nya bumil mank gampang lelah...bawaannya pengen rebahan aja... walaupun gak tidur...