Nyatanya, cinta sepihak itu sangat menyakitkan. Namun, Melody malah menyukainya.
Cinta juga bisa membuat seseorang menjadi bodoh, sama seperti Venda, dia sudah cukup sering disakiti oleh kekasihnya, namun ia tetap memilih bertahan.
"Cewek gak tau diri kayak lo buat apa dipertahanin?"
Pertahankan apa yang harus dipertahankan, lepas apa yang harus dilepaskan. Jangan menyakiti diri sendiri.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Apa kata Bu Yella?" tanya Venda. Dia mengaduk bakso miliknya setelah ia beri sambal, cuka dan kecap.
"Gue dikasih waktu buat nemuin pelakunya, supaya mereka yang bertanggungjawab." Melody menghela nafas, dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Untung aja Bu Yella baik dikit, kalau nggak gue bisa dapat surat peringatan lagi."
"Berapa waktu yang dikasih Bu Yella?"
"Kalau bisa jangan lebih dari seminggu, katanya."
"Lumayan. Nanti gue bantu lo cari siapa pelakunya. Tenang aja." Venda tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Melody.
"Lo percaya sama gue kan, Nda?" Mata Melody menatap Venda dengan tatapan penuh harap.
"Pertanyaan apaan kayak gitu? Ya jelas lah gue percaya sama lo! Pake nanya lagi!" ketus Venda. Dia kesal sekali kalau Melody bertingkah seolah tidak percaya padanya, padahal ia adalah teman yang baik dan tidak sombong.
"Gue takut lo terpengaruhi kayak yang lain, Nda."
"Terpengaruhi apaan? Mana bisa gue percaya gitu aja. Orang lo jarang keluar rumah, lo juga sering sama gue! Lo juga gak punya baju-baju kayak yang di foto tadi. Udah jelas itu bukan elo, Mel. Udahlah, gak usah dibahas lagi. Mending kita fokus cari pelakunya aja."
"Nih makan, gue gak suka telurnya," lanjut Venda sambil memberikan telur ayam rebus ke mangkuk mie ayam milik Melody.
Melody menatap telur rebus itu dengan sendu. Seketika dia mengingat tentang Gian yang alergi telur ayam.
"Kenapa cuma dilihat doang? Buruan makan, keburu dingin," ucap Venda.
"Gue keinget Kak Gian alergi telur ayam. Tapi, gue malah masakin dia telur ayam mulu," ujar Melody dengan lesu.
"Ya udah sih, buktinya sampai sekarang dia masih baik-baik aja, kan? Gak usah dipikirin deh," balas Venda, dia mulai mencicipi kuah baksonya.
"Masalahnya gue bukan tau dari Kak Gian, tapi dari cewek. Gue gak tau siapa namanya, kayaknya dia anak baru."
"Cewek? Anak baru? Siapa dah?"
"Dia kelihatan dekat sama Kak Gian, bukan cuma Kak Gian, tapi sama teman-temannya juga. Dia kayak tau semua tentang Kak Gian. Gue merasa tersaingi, Nda..." Melody merengek di akhir ucapannya.
"Mana cantik lagi. Tampangnya juga kayak anak baik-baik," lanjutnya.
"Yang mana sih? Kok lo gak cerita sama gue?"
"Lupa." Melody cemberut. Dia menuangkan 5 sendok sambal ke mangkuk nya. Venda menatap ngeri mie ayam yang berubah menjadi lautan sambal itu.
"Gila lo, Mel! Itu pedes, pea!" seru Venda. Dia merebut mangkuk sambal yang dipegang Melody, lalu menjauhkannya dari jangkauan gadis itu.
"Ini cuma sedikit. Bawa sini sambal nya!"
"Gak gak gak! Apa-apaan?! Mau bunuh diri lo, hah?!" Venda menatap kesal ke arah Melody.
"Kenapa kok teriak-teriak?" Tanpa permisi Rangga dan keempat temannya bergabung dengan Venda dan Melody.
"Melody tuh pake sambal banyak banget!" jawab Venda. Alisnya menukik tajam, menandakan bahwa dia benar-benar kesal.
"Buset dah!" Ando menatap ngeri mie ayam milik Melody. "Kasian lambung lo."
"Emang enak pake sambal sebanyak itu?" tanya Danu penasaran. Cowok itu duduk di depan Melody.
"Enak. Mau coba?" tawar Melody membuat Danu menggeleng ribut.
"Ogah!"
Melody langsung melahap makanannya. Tak menghiraukan mereka yang melihatnya dengan ngeri. Entah bagaimana kondisi lambung Melody setelah ini.
"Kalian gak makan?" Venda bertanya pada Rangga dan teman-temannya.
"Ga, pesen sana!" ujar Ando menyuruh Yoga yang sedari tadi memainkan ponsel. Tanpa menolak, Yoga berdiri dari duduknya sambil mengantongi hp.
"Gue mau—"
"Samain semuanya," kata Yoga. Tanpa mendengar ucapan Danu, dia langsung menuju stand mie ayam.
"Songong banget itu anak!" ketus Ando.
"Oh iya." Melody menatap Danu. "Gue belum bayar. Bayarin gih," ujarnya.
Danu berdecak kesal. Dia lupa ada anak orang yang harus dia nafkahi.
"Eh tapi nanti aja. Gue belum selesai, masih mau jajan," lanjut Melody makin tak tau diri.
Danu berdehem malas sebagai jawaban. Melody benar-benar bocil yang harus dia jauhi. Gadis itu memiliki banyak ide untuk membuat uangnya cepat habis.
Venda mengulum senyumnya melihat kecerdikan Melody, ah atau lebih tepatnya kelicikan? Pandangannya beralih pada Rangga yang sibuk bermain ponsel. Karena penasaran, gadis itu mengintip apa yang sedang Rangga lakukan, "Chat sama siapa sih?"
Namun, Rangga buru-buru mematikan ponselnya. Dia menatap Venda dengan kerutan di dahi. "Gak sopan. Jangan diulangi lagi," katanya.
Kini kening Venda yang mengerut bingung. "Kenapa? Biasanya juga kita tukaran hp, kan? Aku cuma lihat sedikit tadi," balasnya.
Melody mendengus melihat tingkah Rangga. Terlihat sekali dari gelagat cowok itu kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu, tapi Melody menahan diri agar tidak ikut campur.
"Tapi jangan ngintip juga, sayang." Tangan Rangga terulur mengelus rambut Venda.
"Terserah," balas Venda acuh. Dia lanjut makan bakso miliknya dengan malas.
"Nda, pulang sekolah jadi, kan?" tanya Melody.
"Ja—"
"Mau ke mana?" tanya Rangga menyela ucapan Venda.
"Kepo amat!" cibir Melody, namun Rangga tak menghiraukannya.
"Ke mana, Venda?" ulang Rangga.
"Mau ke cafe yang baru buka. Katanya di sana menu nya enak-enak," jawab Venda.
Rangga mengangguk paham. "Jangan sampai malam," peringatnya.
Venda hanya menjawab dengan anggukan karena dia sedang sibuk makan.
****
"Melody!" Seseorang berteriak memanggil namanya, membuat Melody menoleh. Gadis itu sedang membereskan alat tulis.
"Kenapa?" jawab Melody. Dia berbalik sambil memakai ranselnya.
"Kak Gian nunggu lo di gudang belakang."
Kening Melody mengerut. "Ngapain? Gue sibuk." Melody berlalu melewati siswi tersebut, namun tangannya dicekal.
"Lo yakin gak mau temui dia? Kak Gian udah nunggu lo di sana dari tadi."
"Ngapain di gudang segala?" Melody memicingkan matanya curiga.
"Kalian pernah dihukum bersihin gudang itu, kan? Katanya ada barang yang hilang, dia minta bantuan lo buat cari barangnya. Kan kalian yang terakhir masuk ke sana," jelas siswi itu.
Melody terdiam sejenak. Dia menatap jam tangannya, jam sudah menunjukkan pukul setengah 5 sore. Kalau bantu mencari barang, otomatis dia tidak jadi ke cafe bersama Venda.
Melody mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Gian, tetapi tidak aktif. Tak sampai di situ, Melody pun memilih mengirim pesan pada Gian.
^^^Melody^^^
^^^Kak Gian udah di gudang belakang? Barang apa yang hilang?^^^
Melody menunggu beberapa saat, tapi Gian tetap tidak aktif. Ia mendessah kasar.
^^^Melody^^^
^^^Aku ke sana sekarang. Tunggu^^^
"Oke, gue ke sana," kata Melody pada akhirnya .
Siswi tersebut tersenyum. "Kalau gitu gue pulang duluan!" Ia melambaikan tangannya dan dibalas anggukan oleh Melody.
Melody keluar dari kelas, dia berjalan sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
^^^Melody^^^
^^^Nda, gue ada urusan sama Kak Gian. Kita kapan-kapan aja ya ke cafe nya^^^
Venda
Dasar bulol! Ya udah deh
^^^Melody^^^
^^^Bulol pala lo! Gue bantu cari barang yang hilang di gudang belakang^^^
Venda
Sama aja bulol. Kalau gitu gue pulang duluan
Melody tak membalas pesannya lagi. Dia melanjutkan langkahnya menuju gudang belakang. Kira-kira barang apa yang hilang? Gadis itu menatap pintu gudang yang sudah terbuka, ternyata benar, Gian pasti sudah menunggunya di dalam sana.
Kaki yang terbalut sepatu hitam itu tanpa ragu melangkah memasuki gudang.
"Kak Gian?" panggilnya. Suaranya menggema karena keadaan sudah sunyi.
Melody semakin masuk ke dalam, matanya menatap kesana-kemari. "Kok gak ada orang?" gumamnya.
"Kak Gian?" Melody memanggil lebih keras. Tapi, hanya kesunyian yang menemaninya.
Tatapan Melody berubah tajam, kedua tangannya mengepal. Ada yang tidak beres di sini. Dia bahkan berpikir lagi, tak mungkin Gian menyuruhnya untuk mencari barang hilang, sedangkan laki-laki itu tak mengabarinya sama sekali.
Ketika dia hendak berbalik, kepala bagian belakangnya seperti dihantam sesuatu hingga dia ambruk seketika. Matanya berkunang-kunang, dia hanya bisa melihat sepasang sepatu berwarna putih sebelum kegelapan menguasainya.
bersambung...