Fabian dipaksa untuk menggantikan anaknya yang lari di hari pernikahannya, menikahi seorang gadis muda belia yang bernama Febi.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka selanjutnya?
Bagaimana reaksi Edwin saat mengetahui pacarnya, menikah dengan ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Diluar Febi terlihat gelisah, dia berdiri di depan meja prasmanan tak kunjung mengambil makanan. Febi memikirkan kata-kata Fabian tentang malam pertama.
"Malam pertama? Apa iya aku harus melakukannya? Masa sama Om-Om. Aku juga nggak cinta sama Om Fabian. Nanti aku harus gimana?"
"Sedang apa, nak?" Mamah Ria menepuk pundak Febi yang terlihat sedang melamun. Meskipun mamah tiri, tapi mamah Ria menyayangi Febi dan kakaknya dengan sepenuh hati. Apalagi setelah menikah lama dengan papahnya Febi, tak kunjung lahir anak dari rahimnya.
Febi kaget, tak menyadari kedatangan mamahnya.
"Ini, mah. Mau ngambil makanan untuk Om Fabian, katanya lapar."
"Kok, Om manggilnya? Dia sekarang suami kamu."
"Belum terbiasa, mah." Febi menjawab dengan cengengesan. Melihat tingkah Febi, mamah Ria geleng-geleng kepala, anak manja seperti Febi di usianya yang masih belia, sudah harus menikah.
Mamah Ria mengusap kepala Febi dengan sayang.
"Febi sekarang sudah menjadi seorang istri, harus bisa menjaga sikap, bisa menyenangkan suami dan harus nurut apa yang suami suruh."
"Iya, mah. Nanti Febi belajar jadi istri yang baik sama mamah." Febi memeluk mamah Ria.
"Sudah cepat ambil makanannya, nanti nak Fabian kelaparan, gara-gara Febinya lama!"
"Baik, mah."
"Ambil yang banyak, itu daging sama udangnya jangan lupa!"
Mendengar kata banyak, membuat Febi teringat lagi kata-kata Fabian tentang makan yang banyak, Febi pun bergidik ngeri, untung mamah Ria sudah berlalu pergi.
Febi kembali ke kamar hanya membawa sepiring makanan dengan satu sendok dan segelas air. Fabian kaget melihat makanan yang dibawa Febi karena sangat banyak, tak mungkin dirinya sanggup menghabiskan seorang diri.
Fabian memicingkan matanya ke arah febi.
"Kamu ingin kita makan sepiring berdua dan saya yang nyuapin kamu?"
Febi menundukan kepalanya.
"Ini untuk Om saja. Aku belum lapar."
"Kenapa banyak sekali? Saya tahu, kamu suruh saya makan banyak untuk persiapan nanti malam ya?"
"Mam... mah yang suruh, Om." Febi berbicara dengan suara gemetar.
"Dasar anak kecil." Fabian memaki dalam hatinya.
Fabian mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia memang sangat lapar, karena terburu-buru ingin menghadiri pernikahan putranya, hanya sempat memakan sedikit sarapannya.
Siapa sangka akan mendapat kejutan besar seperti ini, membuat rasa laparnya makin bertambah. Fabian makan dengan lahap, sementara Febi di sampingnya tampak berkeringat dingin, memikirkan alasan apa yang harus dilakukan agar dia terbebas dari kewajibannya nanti malam.
"Aaaaa...." Fabian menyodorkan sendok ke aràh mulut Febi
Febi diam tak berani memakan makanan yang disodorkan Fabian.
"Cepat makan! Tangan saya pegal."
"Ta... pi, a.. ku belum la..par Om." Suara Febi semakin gemetar ketakutan.
"Menolak perintah suami hukumnya dosa lho."
Febi langsung memasukan sendok berisi makanan ke mulutnya, dan mengunyahnya perlahan.
"Anak pintar, nurut terus ya sama suami!" Fabian berkata sambil mengusap-ngusap kepala Febi. Febi semakin menundukan kepalanya, menghindar untuk di elus Fabian.
Fabian tertawa dalam hati, ternyata menggoda anak kecil dan polos sangat menyenangkan.
Lidya, mamahnya Edwin dua tahun lebih tua usianya dari Fabian. Sejak mengenal pacaran, Fabian selalu memacari wanita yang lebih tua usianya. Mungkin karena kehilangan sosok seorang ibu sejak kecil memunculkan innerchild, ingin selalu dimanja oleh wanita.
Beberapa kali Fabian menyodorkan sendoknya ke arah Febi, dan Febi tak kuasa menolak karena selalu ditakut-takuti oleh Fabian. Tak terasa makanan dipiring habis oleh keduanya.
"Katanya nggak lapar, tapi paling banyak juga ngehabisinnya."
Febi yang merasa diledek Fabian, melirik piring kosong dipangkuan Fabian.
"Kan, Om yang maksa saya makan."
"Tetep aja kamu juga doyan. Keenakan disuapi makannya sama saya"
Febi juga nggak sadar jika sedari tadi dia makan disuapi terus oleh Fabian. Febi melirik Fabian, "Maunya apa coba orang ini, dia yang nyuapin terus, sekarang ngomel-ngomel."
"Pasti kamu lagi ngomongin saya ya dalam hati kamu."
Febi menundukan kembali kepalanya, merasa ketahuan. Febi yang merasa ingin minum setelah makan, beranjak dan mengambil gelas air minum di samping Fabian yang tadi dibawanya dan langsung diminumnya, tak sadar jika isi gelas sudah berkurang setengahnya, dan kegiatan yang dia lakukan diperhatikan oleh Fabian.
"Kecil-kecil ternyata kamu pintar modus juga ya," Febi melirik Fabian, tak mengerti dengan kata-katanya.
"Kamu sengaja bawa makanan cuma satu piring dan satu sendok, karena kamu ingin makannya disuapi oleh saya dengan sendok yang samakan? Kamu juga sudah minum di gelas yang sama dengan saya, itu artinya kita sudah berciuman."
Febi melirik gelas yang masih digenggamannya, menyimpannya dan berlari masuk ke kamar mandi. Febi tak sadar melakukan itu semua, dia juga sangat malu, jika Fabian berfikirnya begitu.
Sementara Fabian tertawa senang melihat kegugupan Febi dan pipinya yang selalu bersemu merah setiap dia menggodanya. Baru beberapa saat saja, Fabian sudah seperti kecanduan untuk selalu menggoda Febi.
Fabian beranjak keluar membawa piring dan gelas kotor. Di luar sudah sepi, hanya beberapa orang, yang sedang membersihkan teras depan. Fabian memindai rumah Febi, dan langsung mengarah ke bagian paling belakang, karena itu pasti dapur.
Mamah Ria yang baru keluar kamarnya, melihat Fabian memasuki dapur. Mamah Ria mengekorinya, melihat Fabian meletakan piring kotor di bak cuci piring.
"Kenapa pengantin baru mainnya ke dapur?"
"Eh, ini tante mau nyimpan piring kotor."
"Febinya kemana? Kenapa manggilnya masih tante, kan sekarang kamu sudah menjadi menantu mamah."
"Iya maaf, mah. Belum terbiasa."
"Ya sudah, ke depan lagi saja! Di sini kotor."
"Baik, mah." Fabian pun melangkah meninggalkan dapur. Dia menuju ke arah luar, terlihat hari sudah senja, sebentar lagi malam.
Melihat Fabian yang masih mengenakan baju formal, setelan jas, kemeja dan celana bahan, mamah Ria menuju kamar kakak laki-laki Febi untuk memintanya meminjamkan beberapa baju untuk Fabian.
Pintu dibuka oleh Ana, istrinya Candra, kakak Febi.
"Ada apa mah?"
"Mamah mau pinjam baju Candra, untuk Fabian, kasian dia sepertinya nggak bawa salin."
"Boleh, mah. Sini masuk aja mah!"
Mamah Ria masuk ke kamar Chandra. Saat masuk, Chandra sedang duduk sedang memainkan ponselnya, melihat mamahnya masuk, Chandra langsung meletakan ponselnya.
"Chan.. Mamah mau pinjam baju kamu untuk Fabian, sepertinya dia tak bawa baju ganti."
"Boleh, mah. Sayang tolong ambilkan ya!" Chandra meminta Ana untuk mengambilkan baju-bajunya.
"Sekalian celananya, mah?"
"Iya kalau ada boleh, An."
Ana menyodorkan dua pasang baju dan celana.
"Ini mah bajunya. Ini masih baru, belum pernah mas Chandra pakai."
"Nggak apa-apa ini baju baru kamu, Chan?"
"Nggak apa-apa, mah. Biar Fabian nyaman memakainya."
"Terima kasih ya Chandra, Ana. Mamah keluar dulu."
"Iya sama-sama, mah."
Ana mengantarkan mamah Ria sampai ke pintu.
Mamah Ria mengetuk pintu kamar Febi. Febi membukanya, dia terlihat sudah mandi dan mengganti kebaya pengantinnya. Mamah memberikan baju ganti untuk Fabian. Sepertinya Febi mengantuk karena menguap beberapa kali, mamah Ria mengingatkan untuk jangan tidur dulu, karena sebentar lagi maghrib, pamali.
Pak Sofyan yang baru pulang mengembalikan peralatan listrik dari rumah tetangga, melihat Fabian yang berdiri menatap ke jalanan.
Pak Sofyan tersenyum dan mengajak Fabian duduk di sofa ruang tamu untuk berbicara.
"Apa rencana, nak Fabian selanjutnya? Maaf saya panggil nak saja ya, kan sekarang sudah jadi menantu papah."
"Iya nggak apa-apa pak. Saya belum tahu, belum membicarakannya dengan Febi."
"Papah percaya, segala yang terjadi di dunia ini, sudah ketentuan dari yang maha kuasa. Begitupun dengan pernikahan kalian. Papah berharap, meskipun nak Fabian menikahi Febi karena terpaksa, nak Fabian bisa mencintai, menyayangi, menjaga dan membimbing Febi, dengan sebaik-baiknya!
Pernikahan kalian belum bisa didaftarkan secara resmi, papah minta kamu tidak menjadikan pernikahan siri ini untuk menyakiti Febi.
Papah percaya kamu bisa jadi suami yang baik untuk Febi. Papah masuk dulu ke dalam." Pak Sofyan berlalu dari hadapan Fabian.
Fabian kembali ke kamar Febi untuk mengambil ponselnya, dia tak mungkin pulang hari ini, dia harus menghubungi orang kepercayaannya.
Fabian langsung membuka pintu setelah mengetuk pintu satu kali, saat Fabian masuk terlihat Febi sedang duduk di atas tempat tidurnya, memainkan ponsel.
Fabian melihat pakaian yang Febi kenakan, kaos oblong longgar dengan hot pants pendek, mengekspos paha putih mulusnya.
"Jika pemandangan seperti ini yang aku lihat setiap hari, apa bisa aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya?"
BERSAMBUNG
penasaran terus
gak enak banget dibaca
semoga bian dan Febi bahagia selalu
kan katanya sejak kecil Fabian kurang kasih sayang mama