Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Siapa Tante Baik Itu?
Pertemuan Marsha dan Safa di pusat perbelanjaan membuat Sandra sedikit gelisah. Sang putri bahkan bisa langsung akrab, hingga memanggil Marsha dengan nama tante baik.
Ya. Marsha memang gadis yang sangat baik.
Bagaimana bisa Sandra sangat yakin jika gadis itu adalah Marsha, mantan kekasih Rafael tanpa berkenalan terlebih dulu? Bahkan mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
Itu karena ia sudah melihat foto Marsha di rumah mereka. Di ruang kerja sang suami, di dalam dompet pria itu, bahkan wallpaper ponselnya. Sandra juga tahu, bahkan di kamar yang ditempati oleh Rafael masih ada foto gadis itu.
Saat remaja dulu, mereka memang tidak pernah bertemu, karena Sandra tinggal di Yogya, sementara Rafael tinggal di Jakarta. Ketika pulang kampung, pria itu akan menceritakan kekasihnya pada Sandra yang menjadi pendengar setia.
Dan sekarang, takdir mempertemukan mereka. Membuat Safa menjadi jalan penghubungnya.
“Bu, apa kita jadi berbelanja?” Tanya asisten rumah yang mendorong kursi roda Sandra.
Sandra tersentak dari lamunannya. Setelah menemui seorang pemilik butik, ia memang berencana untuk berbelanja. Namun, setelah bertemu dengan Marsha, keinginan wanita satu anak itu menguap entah kemana.
“Kita pulang saja, bi.” Ucap Sandra kemudian.
“Mama beli boneka.” Seru Safa diatas pangkuan sang mama. Ia menatap sebuah toko boneka yang mereka lewati.
“Iya, sayang. Bi, kita mampir ke toko boneka sebentar.”
Mereka pun masuk ke dalam toko boneka itu.
Kembali pada Marsha. Gadis itu masih menyusuri halaman di dalam mall, tanpa ada niat mampir ke salah satu toko untuk berbelanja.
Ia hanya ingin melepaskan penat. Berbelanja prioritas nomor dua. Marsha bukanlah tipe wanita yang latah membeli barang-barang saat gajian. Ia lebih memilih menyimpan hasil kerjanya, dan menggunakan untuk membeli makanan.
Percayalah, pengeluaran bulanan Marsha lebih banyak untuk membeli makan, daripada membeli pakaian.
Gadis itu hanya hidup sendiri. Kedua orang tuanya sangat betah merantau, bahkan sekarang tinggal di Singapura.
“Chef Marsha.”
Seseorang memanggil namanya membuat Marsha menoleh.
“Chef Vina.” Gumamnya.
“Lagi belanja ya, Chef?” Tanya koki senior itu mendekat ke arah Marsha.
“Hanya sekedar melepas penat, Chef.” Jawab Marsha. Ia melihat rekan kerjanya itu sudah menenteng beberapa kantong belanja.
Chef Vina mengangguk paham. “Oh, ya. Bagaimana jika kita makan siang bersama? Sambil mengobrol santai.” Ajak wanita yang setahun lebih tua dari Marsha.
Gadis itu melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas, sebentar lagi jam makan siang. Tidak ada salahnya menyetujui ajakan Chef Vina.
Dan mereka pun mengunjungi salah satu kedai makanan Korea yang ada di pusat perbelanjaan itu.
Marsha memesan satu porsi nasi campur ala Korea, sementara Vina memesan satu mangkuk mie.
“Oh ya, aku dengar Chef Marsha—
“Panggil Marsha saja, chef. Kita sedang di luar jam kerja.” Ucap Marsha memotong ucapan koki senior itu.
Vina mengangguk setuju. “Kalau begitu, panggil aku Vina juga. Biar kita terlihat seumuran.” Ia terkekeh di akhir ucapannya.
“Tentu.” Balas Marsha. Ia ingin mempunyai teman selama di Jakarta. Lima tahun ini, dirinya hanya berteman dekat dengan Chef Mitha.
“Oh ya, lanjut yang tadi.” Ucap Vina sembari menyeruput kuah mie dengan sendok.
“Kamu berteman baik dengan Chef Robby ‘kan?” Imbuhnya kemudian.
Marsha yang sedang mengunyah makanannya, menjawab dengan anggukan kepala.
“Ceritakan dong, Sha. Chef Robby itu orangnya seperti apa? Atau kamu tahu, bagaimana tipe wanita idaman pria itu.”
Mendengar ucapan Vina membuat Marsha tersedak. Ia dengan cepat meraih botol air mineral yang di pesannya.
“Pelan-pelan, Sha.” Vina mengusap punggung gadis itu, karena posisi duduk mereka yang bersisian di atas tempat duduk panjang.
“Pertanyaan kamu membuat aku terkejut, Vin. Jangan katakan jika kamu ada rasa dengan Chef Robby?” Terka Marsha kemudian.
Vina tersenyum malu-malu. Kemudian mengangguk pelan.
“Gadis mana yang tidak terpesona dengan Chef Robby. Dia tampan, mapan, bisa memasak segala hidangan. Tipe ideal dan idaman sekali.”
Marsha mencebikan bibirnya. Yang di katakan Vina memang benar adanya. Namun, gadis itu tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Haruskah Marsha mengatakan jika Chef Robby sebenarnya menyukai dirinya? Vina pasti akan membenci Marsha jika mengatakan yang sebenarnya.
\~\~\~
Tak seperti biasanya Rafael pulang saat matahari baru saja bersembunyi di ufuk barat. Hal itu membuat sang istri keheranan, karena tak biasanya pria itu pulang di jam sore seperti ini.
“Dimana Safa?” Tanya Rafael pada Sandra yang sedang menggambar di ruang keluarga.
Sejak Rafael pulang hingga selesai membersihkan diri, ia tidak melihat putri kecilnya.
“Dia sedang makan bersama bibi.” Jelas Sandra yang masih fokus dengan buku gambarnya. Wanita itu mendapat pesanan desain enam buah gaun malam.
“Hmm.” Rafael melirik jam tangannya. Sebentar lagi waktu makan malam tiba. “Lanjutkan besok saja.” Ucapnya. Seketika Sandra mendongak dan mendapati sang suami menatapnya.
“Sebentar lagi makan malam.” Imbuh Rafael.
“Sedikit lagi. Aku harus mengirim gambar-gambar ini lusa.” Ucap Sandra melanjutkan goresan tangannya.
Rafael menghela nafas pelan. Ia pun memilih menemui sang putri yang telah makan malam lebih dulu.
“Makan apa anak papa?” Tanya Rafael sembari duduk di samping sang putri. Tangan pria itu terulur mengusap lembut surai hitam legam gadis kecilnya.
“Stobeli papa.” Safa mengacungkan buah stroberi yang telah ia gigit ujungnya.
Rafael seketika meringis. Membayangkan rasa asam buah itu.
“Sejak kapan anak papa suka buah itu? Bukannya kamu meniru papa? Tidak suka stroberi?”
Safa tertawa pelan. “Kata tante baik stobeli tidak asem.” Jelasnya. Ia meletakan sisa gigitan stroberi itu di atas piring.
Dahi Rafael berkerut halus. Baru kali ini ia mendengar Safa menyebut nama tante baik.
“Siapa tante baik itu?” Tanyanya penasaran.
Safa memukul dahinya pelan. “Aku lupa menanyakan nama tante baik.” Ucapnya kemudian.
“Memang kamu bertemu tante baik dimana?” Rafael kembali bertanya. Seingatnya, sang putri belum bersekolah. Masih diam di rumah saja. Apa mungkin ada teman Sandra yang datang kemari, mengingat wanita itu mendapat pesanan desain baru?
“Di mall, papa. Aku ikut mama pelgi ke mall. Telus, aku mau es klim. Tante baik yang beliin. Dia bilang stobeli tidak asem.”
Di mall? Sandra membawa Safa keluar tetapi tidak memberitahu Rafael?
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕