Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Properti Iseng•
...Pukul 17:16...
Liam tiba di rumah setelah hari panjang yang melelahkan di kantor. Baru saja ia melangkah keluar dari mobil, matanya langsung menangkap perubahan mencolok di halaman depan rumahnya.
Sebelumnya, halaman itu tampak biasa saja, hanya rumput hijau dan beberapa pohon kecil. Tapi sekarang, ada deretan tanaman hias yang tertata rapi, pot-pot bunga berwarna-warni di sepanjang jalan setapak, dan beberapa pohon berbunga yang tampak segar menghiasi sudut-sudut halaman.
Dengan alis terangkat dan wajah sedikit terperangah, Liam melangkah pelan-pelan, mencoba menikmati pemandangan baru ini. Ia berjalan di antara pot-pot bunga sambil menyentuh daun-daunnya, seolah ingin memastikan ini semua nyata.
"Alina yang membuat ini?" gumamnya, tanpa di sadari ia menyimpan kekaguman pada wanita itu.
Liam lalu menekan bell, tak menunggu waktu lama pintu terbuka menampilkan sosok wanita bercadar, Alina.
"Sudah pulang?"
"Sudah.." jawabnya singkat, dia lalu melirik ke sekeliling taman dan menatap Alina lagi.
"Kau yang membuatnya?"
“Memangnya siapa lagi?” jawab Alina, santai.
Liam mengangguk pelan, tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Tampak bagus… tapi ingat, kau itu hanya menumpang di rumahku, Alina. Seharusnya kau tak perlu repot-repot," ujarnya, berusaha menahan kekagumannya dengan nada dingin.
Alina hanya tersenyum tipis, getir tersamar di balik cadarnya.
“Aku membuatnya untuk diriku sendiri, Liam, dengan uangku sendiri. Nanti, jika aku sudah tak ada di sini, terserah kau ingin merawatnya atau tidak. Yang jelas, aku senang meluangkan waktuku merawat tanaman."
Jawaban itu membuat Liam terdiam, tak bisa membalas apa pun. Hening sejenak, hingga akhirnya Alina menunduk, mengambil tas kerja dari tangannya, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Liam mengikuti dari belakang, mengamati saat Alina menaruh tasnya dengan rapi di sofa.
"Apa yang kau masak hari ini?" tanyanya, melepas jas dan menyampirkannya di sandaran kursi.
"Hanya menu sederhana…" jawab Alina lembut.
Mereka lalu berjalan menuju meja makan, di mana berbagai hidangan sederhana sudah tersaji. Liam duduk, dan Alina dengan sigap menyajikan nasi dan lauk pauk ke piringnya. Ia memperhatikan setiap gerakan Alina, tanpa sadar seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini ada rasa hangat yang berbeda setiap kali Alina di dekatnya.
Liam baru saja akan menyuap makanan ketika suara lembut Alina menghentikannya.
"Baca bismillah dulu."
Liam menurunkan sendoknya, menatap Alina dengan ekspresi bingung.
"Harus?"
"Ya, harus. Kalau tidak, kau akan makan bersama setan." jawab Alina tegas.
Liam tersenyum kecil, menahan tawa yang menyiratkan keraguannya.
"Oh, ya? Kau tahu, Alina, aku tidak percaya hal-hal semacam itu. Yang kau katakan itu cuma mitos dan takhayul."
Alina menarik napas panjang, duduk di depannya dengan tatapan penuh kesabaran.
"Astagfirullah, Liam… Aku tidak tahu harus menasehatimu dnegan apa? Manusia sepertimu, yang tak percaya Tuhan, akan sangat sulit diberi dalil. Mungkin hanya teguran langsung dari-Nya yang bisa menyadarkanmu."
Liam mengangkat alis, tersenyum sinis
"Kau tak bisa bicara seperti itu, Alina. Aku tak percaya dengan hal-hal semacam, teguran dari langit."
Alina menatapnya tajam,
"Baca bismillah, Liam. Jika tidak, aku tak akan mau memasak untukmu lagi."
Liam terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, terdengar mengejek.
"Aku tak pernah meminta kau memasak untukku, Alina. Jadi berhentilah mencoba mengaturku."
"Setidaknya hargai usahaku," balas Alina lembut, tatapannya tenang.
"Aku hanya memintamu mengucapkan bismillah, bukan permintaan yang sulit, kan?"
Liam menggaruk dagunya, menatap makanannya, nampak berpikir. Pandangannya kembali pada Alina yang menatapnya.
"Baiklah…" Liam mengangguk.
"kalau itu yang kau inginkan, aku akan melakukannya. Tapi hanya untuk menghargaimu," ucapnya, mengalah dengan suara rendah. Sebetulnya, ia mulai lelah berdebat, meski egonya selalu mendesaknya untuk menang.
Alina tersenyum tipis, namun sorot matanya menunjukkan kelegaan yang tulus. Liam mungkin tidak sepenuhnya memahami maksudnya, tapi dia tahu bahwa sekadar mendengar permintaannya, sekecil apa pun, adalah bentuk pengakuan atas keberadaannya di rumah itu.
Liam menunduk, menatap makanannya, lalu mengucapkan, "Bismillah," dengan suara rendah, terdengar sedikit canggung.
Begitu ucapan itu keluar dari bibirnya, Alina mengangguk kecil, kembali melanjutkan makannya sambil tersenyum. Hatinya menghangat, meski ia tahu betapa kerasnya Liam mempertahankan pandangannya. Setidaknya, untuk sekali ini, Liam bersedia mendengarkannya.
"Vas bunga dan guci, kau sudah membelinya?" kata Alina di sela sela kunyahannya.
"Sudah. aku memesannya dari China, mungkin dua minggu lagi barangnya akan tiba."
Alina mengangguk, melanjutkan makannya bersama Liam.
...🦋🦋🦋...
Setelah selesai makan, Liam beranjak ke kamarnya. Begitu pintu terbuka, ia terpaku sejenak, terkejut melihat kamarnya yang sudah tertata rapi.
Seketika, Pikirannya langsung melayang pada benda-benda pribadi. Ia ingat tissue-tissue yang ia gunakan dengan tak semestinya bersama pelumas, belum sempat ia singkirkan belum sempat ia singkirkan di atas kasur.
Dengan cepat wajahnya memerah, perasaan malu dan kesal bercampur dalam dirinya.
"Oh, Shit!" Dia menepuk dahinya, frustasi membayangkan bagaimana Alina memungut tissue bekas perbuatan mesumnya.
Liam menyeringis lalu menonjok dinding saking malunya, ia menempelkan kepalanya di tembok, merutuki betapa cerobohnya ia sambil mengumpat kata kata kasar.
Liam lalu segera memeriksa meja dan laci dengan cemas, mencari pelumas itu. Namun, ia tak menemukannya di mana pun. Setelah memeriksa semua sudut meja, ia mulai curiga bahwa Alina pasti telah menyembunyikannya, sekarang wanita itu pasti akan meminta penjelasan tentang barang erotis itu.
"Aargh!!" Liam semakin frustasi, dia megeram dan menaiki ranjang memukul mukul kasur, berguling kesana kemari dengan pakaian kerja yang masih menempel di tubuhnya, persisi seperti bocah ingusan yang mainanya di sembunyikan.
Saat Liam masih berguling di atas ranjang, pintu kamarnya diketuk pelan, dan suara lembut Alina terdengar dari luar.
"Liam?"
Liam seketika berhenti berguling, duduk cepat-cepat sambil merapikan dasinya yang kusut.
"Y-ya?"
Pintu terbuka perlahan, dan Alina melangkah masuk dengan sorot mata yang serius, mengamati ekspresi gugup suaminya. Dia berdehem,
"Kau kehilangan sesuatu, tidak?"
Liam langsung tegang, berusaha menahan ekspresi panik.
"H-kehilangan? Kehilangan apa maksudmu?"
Alina menatapnya dengan mata yang tak berkedip, memiringkan kepalanya sedikit.
"Kau jorok sekali Liam, aku menemukan banyak tissue di atas kasur, dan..." jawaban Alina terhenti, malu untuk berterus terang mengatakannya.
Sementara Liam, jantungnya mulai berdegup kencang dengan wajah yang memerah.
"Dan..apa?" Meski Liam sudah bisa menebak apa itu, tapi Liam berusaha pura pura tidak tahu yang membuat Alina sedikit tersenyum di balik cadarnya.
Alina menghela napas pelan, lalu tiba-tiba mengeluarkan sebuah botol hitam dari balik tangannya. Botol pelumas itu. Liam langsung ingin menghilang dari dunia.
"Ini Milikmu..." ujar Alina sambil memegang botol itu setengah mengangkat alis, ekspresi serius masih tertahan di matanya.
"Aku cuma ingin memastikan... kau memang membutuhkannya?"
Liam hanya bisa tergagap, wajahnya memanas, rasanya ia ingin mencari batu yang bisa menelannya.
"Aku... ini... ya... tidak! maksudku, mungkin... ya, kadang-kadang," jawabnya dengan suara nyaris berbisik, wajahnya semakin merah.
"Alina, Dengar...Itu cuma… ya, semacam… properti iseng," jawab Liam berusaha tenang, meski nadanya masih terdengar gugup.
"Kamu terlalu serius, ini bukan benda yang perlu dipermasalahkan." katanya.
Alina mengerutkan kening.
"Jadi, kau bilang ini 'cuma properti'? Memangnya kau pikir ini… dekorasi kamar?"
Liam semakin salah tingkah, dia gugup dan gagap dalam satu waktu, lalu dengan gaya sok tenang, ia menatap Alina dengan ekspresi berusaha santai.
"Begini, aku itu seorang pria sibuk. Tentu saja aku butuh… barang-barang untuk 'motivasi'. Laki-laki lain pasti mengerti.”
Alina mendengus, melipat tangan di dada.
"Motivasi, ya? Jadi tisu-tisu yang berserakan itu juga bagian dari 'motivasi? Alina menggelengkan kepala, lalu menyerahkan botol itu ke tangan Liam.
"Aku tidak butuh penjelasan sebenarnya, hanya ingin mengembalikan itu." ujarnya kemudian lalu berbalik badan meninggalkan Liam yang mematung.
Begitu Alina keluar, Liam menutup pintunya pelan. Ia meremas botol itu hingga urat uratnya menonjol, bisa bisanya ia tadi terus memberinya penjelasan padahal Alina tak memintanya.
"F*ck! Arggh!" Liam lalu membanting botol itu dengan keras. setelah itu ia melangkah ke kamar mandi, mungkin siraman air hangat bisa meredakan kekesalannya pada dirinya sendiri.
...🦋🦋🦋...
ud la ngalh salh satu ungkapin prasaan. tpi jangn alina y, liam az yg ungkapi lbih dulu dn bobok ny jang pisah kamar. eh, tpi jangn dulu nti khilaf. blum nikh ulang soal ny😅.
ayo hukumn ap dri liam. kn jdi mikir yg gk2😂. ap gk sebaik ny pernikhn mreka ni diperjels y. krna dri awal banyk x perjnjian2 dibuat liam.
sbelum ny liam mmbuat kontrk utk prnikhan mreka. dn skarang liam sprtiny ingin mlanjut kn prnikah sesungguhny. klw bgitu liam dn alina hrus ijab kabul ulang. krna disaat liam mmbuat perjanjian2 itu, ud trmsuk talak. nmany talak mudhaf. talk yg ud ditentukn.
ayo alina, bukn kh itu yg kau harapkn. saling mmbuka hati.
sehat2 jga buat author ny. biar bsa doble up😁✌️
Ku tunggu buktinya Liam.