NovelToon NovelToon
Nura 1996

Nura 1996

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Ibu Pengganti / Anak Yatim Piatu / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Titik.tiga

menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28 : rasa sakit diana yang baru aku tahu

Setelah mendengar penjelasan panjang dari Bu Sinta tentang kebaikan Pak Bayu dan kisah di balik kesuksesannya, aku pamit sambil tersenyum. Hatiku merasa lega dan bahagia. Dalam perjalanan pulang, aku merasa langkahku terasa ringan, seolah beban yang sempat menyesak di dadaku ini telah hilang. Di tengah jalan, tiba-tiba aku melihat Diana duduk di sebuah warung kecil, tengah menikmati semangkuk bakso. Tanpa ragu aku pun menghampiri nya.

"Nurra! Kebetulan banget ketemu kamu di sini. Sini duduk!" seru Diana, dengan semangat seperti biasanya.

Aku mengambil tempat di samping Diana, kami pun mulai berbincang ringan tentang berbagai hal. Dari obrolan kampus hingga kehidupan sehari-hari, kamk terhanyut dalam keakraban yang sudah lama terjalin.

"Ra, aku punya ide. Gimana kalau kita liburan bareng ke kampung halamanku di Sukabumi? Aku butuh rehat, kamu juga kayaknya butuh suasana baru deh," ajak Diana dengan antusias.

Aku pun terdiam sejenak, memikirkan ajakannya itu. Dengan orangtua ku yang sedang pergi umrah dan rumah yang terasa sunyi, aku merasa tak ada salahnya untuk menerima tawaran tersebut.

"Iya na, kayaknya ide bagus. Aku juga lagi butuh suasana baru," jawabku.

Setelah selesai makan dan berbincang, Diana menawarkan untuk mengantarku pulang terlebih dahulu sebelum akhirnya berangkat ke Sukabumi. Tak lama kemudian, kami pun melesat di jalanan dengan sepeda motor Diana, menuju kampung halamannya. Perjalanan pun berjalan lancar, meskipun udara semakin dingin karena hari mulai beranjak malam.

Sekitar pukul 10 malam, kami tiba di kampung halamannya Diana. Kegelapan malam semakin pekat, tapi suasana kampung yang sepi terasa damai. Saat kami tiba di depan rumah Diana, sebuah kabar mengejutkan datang dari Pak Rudi, tetangga Diana yang kebetulan lewat.

"Orang tua kamu lagi pergi ke Malang, Diana. Semuanya pergi, dan mereka lupa menitipkan kunci," jelas Pak Rudi dengan nada prihatin.

Diana menghela napas panjang, merasa bingung dan sedikit kesal. "Yah, gimana nih, Ra? Rumahnya gak bisa dibuka."

Tak ingin merusak mood, Diana dengan cepat mengambil keputusan. "Kita cari penginapan di pinggir pantai aja deh. Biar kita bisa santai sambil dengerin suara ombak."

Aku pun mengangguk setuju. Kami segera menuju sebuah penginapan kecil di pinggir pantai yang tak jauh dari kampung. Sesampainya di penginapan, kelelahan mulai terasa. Begitu masuk ke kamar, tanpa banyak bicara, kami langsung merebahkan diri di atas tempat tidur yang nyaman.

Dalam suasana yang hening. Diana akhirnya membuka obrolan, suaranya terdengar lebih dalam, seolah ada sesuatu yang sudah lama ingin ia keluarkan.

"Ra, kamu tahu gak? Kadang aku merasa kesepian. Orang tua aku selalu sibuk kerja. Mereka gak pernah ada waktu buat aku. Bahkan saat aku mutusin buat kuliah di Bandung, ngekos sendirian, mereka gak pernah benar-benar peduli," ujar Diana dengan mata memandang langit-langit kamar.

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba merasakan beban yang Diana pikul selama ini. Diana melanjutkan, suaranya kini bergetar.

"Aku berubah jadi seperti ini, jadi cewek tomboy yang gak peduli sama penampilan karena aku merasa gak ada yang peduli sama aku. Lihat tatto di pahaku dan punggung ini? Ini hasil dari semua rasa sakit yang aku pendam. Gak ada yang tahu betapa aku sebenarnya pengen dipeluk dan didengar," lanjut Diana, kali ini sambil memandang tattonya yang mencerminkan luka-luka emosionalnya.

Aku masih terdiam, tak ingin memotong curahan hati Diana. Diana terus bercerita, kali ini tentang Robby, mantan pacarnya yang membuatnya terpuruk.

"Robby… dia yang bikin aku kehilangan segalanya. Aku dulu percaya sama dia, aku pikir dia benar-benar sayang sama aku. Aku bodoh karena menyerahkan segalanya, bahkan… keperawananku," ucap Diana sambil menundukkan kepala, air mata mulai membasahi pipinya.

Aku merasa hatiku ikut tersayat mendengar ceritanya. Aku hanya bisa merasakan kesakitan yang Diana rasakan.

"Setelah Robby puas, dia pergi. Nikah sama cewek lain yang dia pilih. Dia tinggalin aku gitu aja, padahal aku udah kasih semuanya" Diana menyeka air matanya, suaranya penuh dengan kepedihan.

Aku meraih tangan Diana dan menggenggamnya. Meskipun tidak ada kata yang mampu menghapus luka hati Diana, kehadiranku malam itu memberi sedikit kenyamanan.

"Kamu gak sendiri, Na. Aku ada di sini buat kamu," ucapku pelan, mencoba memberikan dukungan tanpa banyak bicara.

Suasana hening lagi. Kami berbagi momen dalam diam, namun kami saling mengerti. Di luar, suara ombak terus bergulung, seolah ikut menenangkan kegelisahan yang dirasakan Diana.

Keheningan semakin menyelimuti kamar. Suara ombak dari luar terus bergemuruh pelan, seolah menenangkan kegelisahan yang ada di dalam hati Diana. Setelah mengeluarkan sebagian besar beban dari pikirannya, Diana perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan menuju jendela, membuka tirai yang menutupi pemandangan laut di luar. Cahaya rembulan memantul di permukaan air, menciptakan kilauan yang menenangkan, tetapi Diana tak bisa merasakan kedamaian yang sama di dalam hatinya.

Dengan mata yang sayu, Diana memandangi laut, seolah mencari jawaban dari kesepiannya di sana. Ia kemudian mulai bicara lagi, suaranya pelan tapi penuh perasaan.

"Kamu tahu, Ra, sebenarnya aku sudah tiga kali pindah kampus," Diana membuka obrolan, pandangannya tetap tertuju ke luar jendela.

Aku yang masih duduk di tepi tempat tidur hanya diam, telingaku siap mendengar apa pun yang Diana ingin katakan.

"Dulu aku mulai kuliah di Bali, tapi aku gak benar-benar ingin kuliah. Cuma pelarian dari rasa kesepianku. Setahun di sana, dan hasilnya cuma dua tato di ini," lanjut Diana sambil menunjuk punggung dan pahanya yang sudah ia sebutkan tadi.

"Aku gak betah di sana, jadi aku pindah ke Jogja. Tapi itu juga cuma bertahan setahun. Aku gak cocok sama bahasanya, sama lingkungannya. Rasanya… semuanya asing," Diana menghela napas berat. "Akhirnya aku pindah lagi ke Bandung. Tapi di Bandung pun gak ada yang berubah."

Suasana kamar makin sunyi, hanya suara ombak yang terdengar seperti detak jantung yang terus berdetak meski dalam luka. Diana menutup matanya sejenak, mengingat masa-masa yang penuh kesepian itu.

"Ra, pernah gak kamu sakit tapi gak ada yang peduli?" Diana berbalik menatapku, matanya penuh dengan luka yang dalam. "Aku pernah hampir mati di kosan selama 10 hari. Sakit demam tinggi, gak ada satu pun temanku yang datang buat sekedar jenguk. Mereka bahkan gak tahu kalau aku sakit. Aku terbaring lemas di kosan, sendirian…"

Aku terkejut mendengar itu. Ia tidak pernah tahu betapa dalamnya kesepian yang Diana alami.

"Aku sempat berpikir buat akhiri semuanya, Ra," Diana menghela napas panjang lagi, lalu menatap jauh ke luar jendela. "Semuanya terasa gelap, gak ada jalan keluar. Aku benar-benar merasa gak berarti, gak ada orang yang peduli apakah aku hidup atau mati."

Dengan suara lirih, Diana melanjutkan, "Aku bahkan udah siap buat bunuh diri, sampai suatu malam ada orang yang ngetuk pintu kosanku. Aku hampir gak mau buka pintu, tapi entah kenapa aku akhirnya buka juga."

Diana tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan yang mendalam di balik senyum itu. "Ternyata, yang ngetuk pintu itu cewek. Dia ngenalin dirinya sambil bawa sekotak kue. Cewek itu si Mira. Dia bilang dia baru pindah ke kosan sebelah, dan pengen kenalan."

Aku merasa dadanya sesak mendengar cerita ini, tapi ia tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. Diana kembali menatap laut, suaranya berubah lebih lembut.

"Itulah pertama kalinya aku merasa punya teman, Ra. Mira... dia gak tahu kalau aku hampir bunuh diri malam itu. Tapi kehadirannya waktu itu menyelamatkan hidupku. Sejak itu, aku mulai belajar percaya sama orang lagi. Mira jadi sahabatku, sahabat yang paling aku sayangi, sama seperti kamu sekarang."

Diana menutup ceritanya dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Aku merasakan getaran dalam setiap kata yang Diana ucapkan, dan tanpa sadar, Aku pun meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa iba, tapi karena Aku tahu betapa kuatnya Diana bisa bertahan dari semua kesakitan itu.

Dengan lembut, Aku berdiri dari tempat tidur dan berjalan mendekati Diana. Aku memeluk Diana dari belakang, mencoba memberikan kehangatan di tengah rasa sepi yang Diana rasakan.

"Kamu kuat, Na. Kamu gausah takut lagi, Aku ada di sini untuk kamu, sama seperti Mira," bisikku di telinga Diana, suaranya penuh dengan ketulusan.

Diana tak bisa berkata apa-apa lagi, hanya anggukan kecil yang ia berikan sebagai balasan. Dalam keheningan malam itu, kami berbagi perasaan, menguatkan satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Di luar sana, ombak terus bergulung dengan ritme yang tenang, seolah ikut mengiringi perasaan kami yang saling mendukung di saat-saat paling rentan.

1
Eriez Pit Harnanik
trus rani sama aji nya kmn thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!