Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
That's Not Love, But This Is Love
Dokter muda tersebut beranjak keluar dari kamar usai melakukan pemeriksaan singkat terhadap Sanu. Pemulihan lukanya tergolong cukup cepat lantaran luka jahit di belakang kepala Sanu sudah mulai mengering. Hal itu pastilah karena obat super mahal yang diberikan kepadanya untuk mempercepat kesembuhan lukanya. Sania melakukan apapun untuk membuat adiknya mendapatkan perawatan terbaik dan dapat pulih secepatnya.
Usai melihat dokter itu keluar, Sanu menoleh ke arah Saras yang terlihat melamun sembari menyandarkan kepalanya di sofa. Setelah dokter itu menjelaskan kondisi Sanu, entah kenapa Saras menjadi murung dan diam. Hal itu membuat Sanu merasa cemas sekaligus khawatir, apakah Saras akan membencinya lagi karena suatu hari nanti ia mungkin akan menyusahkan Saras karena kondisinya barusan?
Sanu menghela napas panjang, ia hendak bangkit dari posisinya saat Saras tersadar dari lamunan dan buru-buru berlari ke arah Sanu, "Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?" ujarnya seraya memegangi lengan kanan Sanu dengan hati-hati.
Sanu menggeleng pelan, "Aku ingin duduk di sebelahmu tadi."
Saras nyaris menangis lagi mendengar ucapan lembut yang dikatakan Sanu. Melihat kedua mata istrinya mulai berkaca-kaca, Sanu dengan sigap menarik tangan Saras untuk duduk di ranjangnya, "Ada apa? Kenapa kamu menangis terus hari ini?"
Saras mengusap setetes air mata yang lolos dari matanya, "Aku sangat merasa bersalah kepadamu. Aku telah begitu jahat kepadamu dan kamu bahkan sama sekali tidak marah padaku."
Sanu tersenyum simpul, rupanya itu alasan yang membuat Saras terus menangis sejak tadi. Sungguh ia tidak bermaksud membuat Saras bersedih. Lagipula Sanu merasa tidak perlu memarahi Saras karena ia memahami perasaan istrinya itu. Sanu beranjak dari ranjangnya dengan perlahan. Setelah mengalami koma selama dua Minggu, otot-otot tubuhnya terasa kaku pada awalnya sehingga membuat ia sulit bergerak. Namun, selama satu Minggu belakangan Sanu sudah melalui banyak proses pemulihan untuk mengembalikan kemampuan motoriknya. Hal itu membuat Sanu sudah bisa bergerak dengan bebas meski harus tetap berhati-hati.
Dengan gerakan pelan, Sanu berjongkok di hadapan Saras dan melingkarkan tangannya di pinggang gadis tersebut. Sanu mendongak ke arahnya, menatap kedua mata cokelat Saras yang masih berkaca-kaca, "Ucapanmu saat itu tidak ada artinya bagiku jika dibandingkan dengan kebersamaan kita selama tiga bulan terakhir. Tidak ada satupun hal yang akan mengubah perasaanku untuk kamu," Sanu mengusap punggung Saras dengan perlahan, membuat gadis itu perlahan menjulurkan tangannya untuk mengusap wajah Sanu.
Sanu memejamkan mata merasakan sentuhan lembut Saras dengan jemarinya yang halus. Sebuah aliran listrik yang aneh menjalar di sekujur tubuhnya saat jari itu mengusap lembut pipinya, "Pantaskah aku mendapatkan semua kebaikanmu ini? Apakah aku pantas bersama dengan orang yang sebaik kamu?" Saras berujar dengan suara gemetar.
Sanu kembali mendongak dan menatap mata itu lagi. Ia melepaskan satu tangannya dari pinggang Saras dan meraih jemari gadis itu dari pipinya, Sanu menggenggam tangan Saras dan mengusapnya dengan lembut sebelum mengecupnya perlahan, "Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Aku bukan orang yang baik, Saras. Aku juga memiliki kekurangan dan keburukan yang mungkin tidak kamu ketahui. Tapi aku akan terus berusaha yang terbaik untuk kamu, untuk kita," Sanu menelan ludahnya dengan susah payah, suaranya bergetar karena ia juga seperti ingin menangis sekarang.
"Aku bersikap seperti ini karena kamulah orangnya. Aku menjadi baik karena kamulah alasannya," Sanu melanjutkan. Suaranya terdengar menghilang di ujung kalimat.
Saras kembali menitihkan air mata, kali ini adalah air mata bahagia. Ucapan Sanu adalah kata-kata terbaik yang didengarnya sepanjang hidupnya. Kata-kata itu memiliki makna yang sangat dalam bagi Saras. Kata-kata itu menyentuh hatinya dan membuat tubuhnya meremang karena rasa bahagia yang teramat membuncah. Hanya dengan sebuah kata-kata, Sanu telah kembali meluluhkan hatinya, lagi dan lagi.
Saras mengangkat dagu Sanu, dan membelai pipinya. Jemarinya kemudian menyentuh bibir Sanu yang halus dan lembut. Saras menunduk perlahan dan mendaratkan ciuman hangat di dahi Sanu. Ia berusaha menyalurkan semua perasaannya melalui ciuman itu. Selama beberapa detik mereka terdiam di posisi itu. Sanu merasakan perasaan hangat di hatinya. Begitupun Saras yang merasa geli di perutnya, seolah ada banyak kupu-kupu yang sedang berusaha keluar dari dalam Sana. Jantung keduanya berdebar dengan kencang, saling bersahutan dalam irama yang tak sama.
Saat itu, keduanya sama-sama saling melepas perasaan hanya melalui kontak fisik sederhana. Meski terdengar sepele, hal itu nampaknya sudah lebih dari cukup untuk mendebarkan dada dan melepas kerinduan mereka. Sesuatu yang diluar perkiraan karena hanya dalam hitungan jam setelah pertemuan mereka itu, Saras benar-benar merasakan sebuah perasaan asing yang tak pernah ia rasakan, bahkan pada Dany Sekalipun.
Ia merasa seperti sedang mencintai dan dicintai.
-----
Sanu memandangi Saras yang kini tidur tepat di sebelahnya, di jarak yang amat sangat dekat dengannya. Saras memeluk pinggang Sanu dengan lembut sementara matanya terpejam. Nafasnya yang teratur menyemburkan udara hangat di sekitar Sanu, membuat laki-laki itu merasa nyaman dan aman.
Sanu membetulkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Saras dengan sangat berhati-hati. Rasanya sangat menyenangkan bisa memandanginya lagi saat tidur setelah sekian lama.
Sanu membelai pipi Saras dengan punggung tangannya. Jika mengalami kondisi mengenaskan ini ternyata bisa membuatnya begitu dekat dengan Saras seperti ini, ia tidak keberatan jika harus terluka lagi. Setidaknya peristiwa itu nampaknya berhasil membuat mereka saling merindu. Dan rindu adalah salah satu alasan utama yang membuat mereka saling menyadari betapa berharganya mereka untuk satu sama lain.
Sanu masih menatap wajah cantik Saras saat ia kembali mengingat obrolannya dengan Sania kemarin malam. Saat itu, Sanu dan Sania sedang asyik bercerita soal kabar mereka masing-masing. Sania menceritakan tentang pekerjaannya dan Sanu menceritakan tentang pernikahannya serta upayanya dalam membangun bisnisnya sendiri.
"Sepertinya kamu sangat mencintainya ya?" Sania tersenyum simpul, ia dapat melihat binar kebahagiaan di mata Sanu saat membicarakan Saras.
Sanu tertunduk malu, sejujurnya Sanu merasa bingung dengan perasaannya, "Kak, apakah perasaanku ini adalah cinta? Lalu yang kurasakan kepada Layla itu apa Kak? Aku juga senang berada di sekitarnya dan aku merasa sedih saat ia sudah memiliki kekasih. Tetapi setelah aku bertemu Saras, rasanya sangat berbeda. Di setiap hal yang kulakukan, Saras selalu terlintas di benakku. Apapun yang ia lakukan padaku, aku tetap menerimanya dan perasaanku padanya tidak pernah berubah. Manakah cinta yang sebenarnya bagiku, Kak?"
Sania tersenyum simpul. Ia benar-benar yakin bahwa adiknya kini memang sudah dewasa, "Sejak kecil, kamu selalu sendirian. Satu-satunya temanmu adalah Layla. Kalian selalu bersama setiap hari dan tanpa kalian sadari, kalian saling mengandalkan satu sama lain. Dia adalah satu-satunya teman dekatmu sejak kecil, dan wajar jika kamu menyayanginya. Dan saat dia punya pacar, wajar juga kamu merasa sedih. Jika bisa kutebak, kamu sedih karena dia tak punya cukup waktu untuk bermain denganmu lagi kan?" Sania menatap Sanu dalam-dalam.
Sanu mengangguk paham, yang dikatakan kakaknya sungguh tepat. Bukan hanya pada Rehan, sejujurnya Sanu juga pernah merasakan kesedihan saat Layla memiliki sahabat dekat lain selain dirinya, "Benar yang Kakak katakan."
"Itu adalah rasa kehilangan, Sanu. Bukan cinta. Kalau itu cinta, hingga sekarang pun harusnya kamu masih memikirkan dia, merindukannya. Tetapi kalian tidak pernah terpisah sama sekali. Wajar bagimu jika kamu merasa terikat dengannya. Saat kamu pergi ke ibukota dan jauh darinya, sebelum pertemuan mu dengan Saras, apakah kamu terus memikirkannya dan merindukan dia seperti kamu merindukan Saras saat ini? Apakah kamu merasa ingin memilikinya sebagai kekasihmu, melebihi seorang sahabat?" Sania menatap lurus ke arah Sanu dengan serius.
Sanu menggeleng pelan. Setibanya ia di ibukota, ia benar-benar tidak memikirkan Layla sama sekali. Tetapi, saat ini, bahkan di saat tersibuknya, ia selalu terbayang-bayang dengan wajah Saras dan tak pernah bisa mengeluarkan gadis itu dari pikirannya. Selain itu, benar kata Sania. Sanu selalu merasa sedih saat Layla memilih menghabiskan waktunya dengan Rehan, tetapi tak pernah terpikirkan oleh Sanu untuk mengencani Layla. Bahkan jika tidak ada Rehan, Sanu tidak pernah berpikir ia akan memacari Layla. Ia hanya ingin menghabiskan waktunya bersama dengan Layla karena jika bukan dengan sahabatnya itu, Sanu tidak memiliki teman untuk mengobrol dan menghabiskan waktunya.
"Kakak benar. Kurasa ini memang dua hal yang berbeda. Aku tidak pernah merasakan sesuatu seperti yang kurasakan pada Saras saat ini," Ujar Sanu yang kini mulai bisa memahami perasaannya sendiri.
Sania tersenyum tipis sembari meraih tangan adiknya itu, "Jika benar begitu, maka itu bukanlah cinta. Itu adalah rasa sayangmu sebagai teman dan kamu takut kehilangan satu-satunya teman yang kamu punya. Perasaanmu pada Layla adalah rasa takut kehilangan dan takut kesepian karena tidak memiliki teman. Sementara perasaanmu pada Saras, jauh lebih dalam dari itu," Sania memandang Sanu dengan tatapan lembut. Bagaimanapun juga ia memang melihat Layla dan Sanu tumbuh bersama selama ini. Dan Sania juga meyakini, tak pernah ada cinta di mata Sanu bagi Layla.
"Itu bukanlah cinta Sanu, tetapi inilah cinta. Pernikahanmu dan perasaanmu pada Saras inilah cinta yang sesungguhnya."