Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Pembagian Tugas Dan Agak Gugup
Ardhan sama sekali tidak menoleh apalagi berhenti. Membuat seorang Killa benar-benar ketakutan.
“Enggak ... Ardhan pasti hanya menggertak. Kami kenal dari zaman masih sama-sama SMA. Aku tahu betul, Ardhan tipikal yang paling enggak suka disenggol. Andai aku sampai dipenjara, dia pasti hanya melakukannya untuk sementara!”
Layaknya Akbar, Killa juga tidak yakin, seorang Ardhan tega menghukumnya. Apalagi meski sering putus nyambung sejak SMA, Killa memiliki banyak cara untuk meluluhkan hati Ardhan. Terlepas dari semuanya, sekeras apa pun Ardhan kepada Killa, pada akhirnya Killa kembali menjadi pemenangnya. Ardhan selalu akan kembali, kemudian mengajak Killa balikan.
“Kasihan banget si Arini. Sok iye banget. Sok cantik banget. Padahal andai dia dan Ardhan enggak sedang sandiwara. Ardhan pasti hanya sedang memanfaatkannya buat bikin aku cemburu!” pikir Killa yang kemudian memilih kembali masuk ke rutan, sebelum dibimbing oleh penjaga di sana.
Pertemuan yang meledakkan emosi, sukses membungkam kehidupan Ardhan maupun Arini. Sepanjang perjalanan, keduanya tidak saling mengobrol. Keduanya apalagi Arini, memilih diam. Namun beberapa kali, Ardhan menerima telepon maupun menelepon seseorang. Dari obrolan yang Ardhan lakukan, kebanyakan dari mereka sengaja memastikan hasil pekerjaan kepada Ardhan. Ada juga yang sengaja Ardhan tunda karena pekerjaan tersebut mengharuskan Ardhan keluar kota. Selain itu, beberapa pekerjaan yang bermasalah juga Ardhan limpahkan ke pak Azzam selaku papa Ardhan.
“Pak Ardhan sibuk banget. Kerja, kerja, kerja, keluarga, masalah, kasus, keluar kota. Namun karena kelakuan Killa, semuanya kacau. Padahal kalau mau, harusnya pak Ardhan yang selingkuh. Pas keluar kota, contohnya. Harusnya pak Ardhan bisa sewa, apa udah lah nikah lagi secara diam-diam. Eh, kok gini. Harusnya gen dari keluarga pak Ardhan, enggak ada yang oleng gitu sih. Malahan yang suka oleng gitu biasanya laki-laki yang identik jadi beban istri!” batin Arini.
“Ngomong, dong. Saya bingung ... bahkan takut kalau kamu enggak ngomong,” ucap Ardhan sambil fokus membalas setiap pesan di ponselnya.
Setelah menunggu satu menit lebih, Arini tetap tidak menjawab. Karenanya, Ardhan berangsur menoleh kemudian menatapnya. Ardhan memastikan apa yang terjadi kepada Arini. Ternyata Arini tengah merenung dan terlihat sangat serius.
“Kenapa?” lirih Ardhan sampai berhenti mengetik.
“Bingung mau mikirin yang mana dulu. Banyak banget soalnya.” Arini berangsur menatap Ardhan.
Walau tak sepenuhnya fokus kepadanya, Arini yakin, Ardhan yang menang sibuk dengan ponsel, tetap akan mendengarkannya.
“Katakan. Aku pasti dengar. Banyak yang harus aku urus dan kebanyakan karena perselingkuhan Killa dan Akbar,” ucap Ardhan.
“Urutannya masih sama, kan?” lirih Arini.
“He’hem!” gumam Ardhan sambil mengangguk dna masih fokus pada ponsel.
“Sepertinya mertua dan iparku bakalan ngajak aku perang.”
“Jika itu sampai terjadi, penjarakan saja. Han cur kan mereka!”
“Penginnya gitu, tapi–”
“Mulai detik ini tidak ada tapi lagi dalam hidup kamu karena kamu punya aku.”
Jujur, balasan Ardhan barusan langsung membuat Arini baper. Jantung Arini seolah mental karenanya, tapi berhasil kembali ke tempat semula. Sebab Arini melarang dirinya untuk berharap lebih kepada Ardhan.
“Mama dan nenek Pak Ardhan, enggak setuju, kan?”
Pertanyaan dari Arini barusan dan terdengar sangat hati-hati, langsung membuat Ardhan diam. Selain itu, Ardhan juga berangsur menoleh kemudian menatap Arini.
“Bukan masalah andai awalnya mereka enggak setuju. Aku serahin itu ke kamu. Buat mereka maupun keluargaku yang lain percaya, kamu layak jadi istriku—”
“B—bentar, Pak. I–ini, beneran serius? Aku pikir–”
“Memangnya selain menikah dengan saya, rencana kamu move on dari perselingkuhan pasangan kita, apa? Merantau ke ibukota? Atau malah jadi TKW dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin, agar kamu bisa balas dendam?”
“P—paham banget ....”
“Saya amati, merantau ke ibukota atau jadi TKW, selalu menjadi solusi para wanita desa dalam menyelesaikan masalah rumah tangga maupun perceraian. Apalagi kalau kasusnya seperti kamu, pasti tua bangka langsung antre daftar jadi suami. Sementara andai kamu menolak, pasti dampaknya fatal.”
“Rasanya ... masa? Bertukar pasangan? Pak—” Niat Arini melanjutkan obrolan mereka refleks terhenti. Sebab Ardhan yang baru saja menerima telepon, buru-buru meletakan telunjuk tangan kirinya di tengah bibir berisi milik pria itu.
“Ini beneran mau bertukar pasangan?” pikir Arini tidak yakin. Arini bahkan sulit percaya, bahwa dirinya akan benar-benar dinikahi oleh Ardhan. “Harusnya sih, ... aku enggak sampai dijadikan tumbal pesugihan. Soalnya sejauh ini, keluarga pak Ardhan terkenal lurus. Keluarga cemara-nya kabupaten ini,” batin Arini.
Harusnya Arini bahagia karena dirinya benar-benar akan dinikahi oleh Ardhan. Namun, Arini yang terbiasa mandiri dan cobaan hidupnya melebihi biksu Tong ketika mencari kitab suci, justru jadi ketakutan sendiri.
“Coba dulu lah, optimis. Enggak ada salahnya. Lagian kan aku sudah terbiasa menghadapi marabahaya dari berbagai silu man. Alarm ru sak saja bisa aku hadapi, apalagi ibu Sundari dan nenek Septi yang terkenal sebagai manusia manusiawi? Ini aku hanya ditugasi, agar aku dapat restu dari keluarga pak Ardhan. Bisalah, ... bisa!” lirih Arini yang lagi-lagi tak berani mengusik Ardhan lantaran pria itu begitu sibuk dengan ponsel.
Sampai akhirnya mereka mampir ke rumah makan untuk makan siang yang terbilang sudah sangat telat, Ardhan tetap sibuk.
“Pak, ternyata jadi orang kaya enggak selamanya nikmat, ya?” ucap Arini yang jadi ragu menyentuh makanannya karena Ardhan saja belum melakukannya.
“Loh ... kenapa?” bingung Ardhan berangsur menatap Arini. Ia tak lagi menatap ponselnya.
“Ya iya, ... sekadar makan saja, kayaknya asal masuk mulut. Jadi, ketika orang susah enggak bisa menikmati makanan karena memang enggak ada yang buat dinikmati. Pak Ardhan justru sebaliknya. Banyak yang bisa nikmati, tapi Pak Ardhan enggak punya waktu buat melakukannya.” Arini yang berucap lirih cenderung berbisik-bisik, menatap saksama kedua mata Ardhan. Ia terpaksa begitu karena setiap mata di rumah makan keberadaan mereka, memperhatikan Arini dan Ardhan. Arini berpikir, alasan itu terjadi karena mereka sedang jadi artis dadakan. Efek berita mereka khususnya kasus Killa dan Akbar yang telanjur viral.
“Mungkin karena ini juga, Killa yang terbiasa diperlakukan layaknya tuan putri merasa kurang karena baginya, Pak Ardhan sibuk sendiri. Padahal, alasan Pak Ardhan sibuk juga buat kebaikan kalian. Ya sudah lah, ya ... sudah jadi pilihannya,” ucap Arini.
“Kamu yang bahas, kamu sendiri yang mengakhiri,” ucap Ardhan jadi sewot hanya karena Arini baru saja membahas Killa.
“Maaf, ya. I–ini ....” Arini menyodorkan piringnya yang isinya sudah sangat rapi. Ayam bakar miliknya sudah menjadi bagian dari nasi yang bentuknya nyaris bulat. Semuanya sudah dibagi, dan tinggal lahap. Ia sengaja menyiapkan semua itu untuk Ardhan. Agar Ardhan lebih mudah makan.
Tanpa berkomentar, Ardhan yang paham maksud Arini, sengaja mengambil piring Arini, kemudian memberikan piring miliknya yang isinya masih utuh.
Senyum kecil menghiasi wajah cantik Arini sambil menerima piring milik Ardhan.
“T—tolong suwirin sisa ayam bakarnya juga dong. Aku mau makan, tapi enggak sempat suwir sendiri. Masih harus urus pekerjaan,” ucap Ardhan yang entah kenapa jadi merasa gugup. Padahal, Arini saja amat sangat santai dalam menyikapinya. Selain, dirinya yang tak lagi menyebut dirinya kepada Arini, “saya”. Kini, ia sudah bisa menyebut dirinya kepada Arini, sebagai “aku”.
Seiring senyumnya yang jadi lepas, Arini juga berangsur mengangguk-angguk. Tanpa Arini sadari, bahwa rumah makan keberadaan mereka merupakan rumah makan milik keluarga Ardhan. Hingga setiap mata pekerja bahkan pemiliknya, mendadak menjelma menjadi CCTV. Acara makan siang yang kesorean dan Ardhan lakukan bersama Arini, langsung sampai ke ibu Sundari melalui WA.
(Ramaikan yaaa 😂)
ayo up lagi
batal nikah wweeiii...
orang keq mereka tak perlu d'tangisi... kuy lah kalean menikah.. 🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣