Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Dejavu
Gemuruh yang silih bersahutan dengan kilatan cahaya dari langit membuat Ryan tak bisa berkonsentrasi mengemudi. Ditambah semburan air yang menghantam kaca mobilnya bertubi-tubi. Gerakan wiper kaca mobil di depannya membuat fokus mata Ryan pun jadi terbagi, membuat lelaki itu harus extra hati-hati.
"Kenapa hujannya langsung gede gini? Padahal sebelum aku ke sini, cuacanya cerah banget," tutur Ryan bermonolog sendiri. Tangannya pun memutar setir kemudi ke arah kiri lalu setelah berhasil berbelok, mobil itu bergerak lurus kembali.
Beberapa saat kemudian, ponsel Ryan berdering menandakan ada panggilan telepon di sana. Ekor matanya menengok layar ponsel yang menancap di dasbor mobil. Terlihat nomor tak dikenal memanggil.
"Siapa yang nelepon hujan-hujan gini?" ucap Ryan karena dirinya pun takut tersambar petir karena radiasi.
Ryan hendak menekan tombol merah untuk menolak panggilan tersebut, tetapi tak sengaja malah menekan tombol hijau dan panggilan pun diterima.
"Ah, sial! Kenapa diterima," rutuk Ryan pada dirinya sendiri. Sudah terlanjur diterima dia pun berkata pada si penelepon dengan suara tinggi, "Aku lagi nyetir, nanti ku telepon lagi."
Tangan Ryan terulur hendak mengakhiri panggilan tersebut. Namun, belum sempat tangannya menyentuh tombol, suara seseorang yang berada di seberang sana membuatnya sontak membulatkan kedua mata.
"Bang Ryan!"
"Rara?"
Ryan sangat kenal dengan suara perempuan yang sangat dicintainya itu. Sontak lelaki itu pun jadi bengong. Bagaimana bisa seseorang yang sudah meninggal bisa menghubunginya lewat telepon?
Tanpa Ryan sadari, ia sudah kehilangan konsentrasi. Sesaat kesadarannya pun kembali, tetapi seekor kucing yang tiba-tiba melintas di depannya membuat Ryan hilang kendali. Ryan pun langsung banting setir ke arah kiri.
Nahas, di sebelah kiri itu adalah turunan terjal yang di bawahnya terdapat danau besar. Ryan tidak bisa menghentikan laju kendaraannya. Mobilnya terus merosot ke bawah. Tiba-tiba rem mobil itu tidak berfungsi sama sekali. Ryan berusaha keluar dengan membuka pintu mobil, tetapi gagal. Alhasil, lelaki itu pun berpikir jika dirinya sebentar lagi akan meninggal.
"Ya, Tuhan ... jika Engkau mau mengambil nyawaku hari ini, tolong pertemukan aku dengan Rara lagi."
Bukannya berdo'a agar selamat, lelaki itu malah berdo'a seperti itu. Seolah hidupnya sudah tidak penting lagi, Ryan ingin segera mati.
Mobil itu dengan mudahnya ditelan air danau. Walaupun Ryan sudah pasrah, secara refleks lelaki itu tetap berusaha untuk menyelamatkan dirinya ketika berada dalam bahaya. Segala cara dia lakukan untuk membuka pintu mobil, tetapi tidak bisa. Hingga lelaki itu kehabisan pasokan udara karena terlalu banyak meminum air yang memenuhi ruang mobilnya.
Tubuh Ryan melemah, kedua matanya pun perlahan tertutup karena tak sanggup menahan perih berendam di dalam air terlalu lama. Napasnya terasa sesak, nyawanya seperti sedang di ujung tanduk. Pikirannya pun seketika kosong, hanya bayangan wajah Rara yang muncul di pikirannya sebelum lelaki itu benar-benar tidak bisa tertolong.
*****
"Hh ...."
Ryan tersentak ketika tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Pundaknya naik turun dengan napas tersengal seperti habis lari maraton. Keringat dingin mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya. Kemeja yang dikenakan pun sampai basah karenanya.
"Di mana aku?" Ryan celingukan mendapati dirinya masih terduduk di belakang setir kemudi.
Ya, Ryan masih berada di dalam mobil, tetapi di luar sana bukanlah air danau yang menenggelamkannya, melainkan deretan mobil yang berjajar rapi di sebuah lapangan terbuka.
"Ah, aku sudah di akhirat? Apa ini yang dinamakan Padang Mahsyar?" celetuk Ryan yang mengingat seorang Ustadz pernah berceramah tentang hari penghisaban setiap amal perbuatan manusia. Tempat semua makhluk akan dikumpulkan di akhir zaman untuk diperhitungkan amal perbuatannya selama hidup di dunia. Mungkin Ryan lupa, jika ada Alam Barzah dahulu sebelum hari perhitungan itu tiba.
"Tapi Pak Ustadz nggak pernah bilang kalau di akhirat bisa pakai mobil juga. Apa amal aku sangat banyak sehingga Tuhan ngasih bonus kendaraan biar bisa cepat melewati jembatan Shiratal Mustaqim untuk mencapai surga?"
Bisa-bisanya Ryan berpikir se-absurd itu. Masalah amal seseorang hanya Allah yang punya perhitungan. Seenaknya saja dia mengambil kesimpulan.
Suara nada dering ponsel membuat perhatian Ryan tersita. Pandangannya langsung beredar mencari asal suara. Ponsel tersebut tergeletak di kursi kosong di samping kemudinya. Terpampang nama Mbak Dania di sana.
Dania adalah kakak sepupu Ryan. Lekas, lelaki itu pun menerima panggilan.
"Hei, kamu udah sampai mana? Lama banget, sih? Cepetan bawa kotak make-up Mbak ke sini!"
Baru saja Ryan mendekatkan ponselnya ke telinga, rentetan kata-kata dengan suara lantang langsung menusuk telinganya. Ryan sampai menjauhkan ponselnya sebentar, lalu mendekatkan lagi ke telinga untuk melanjutkan panggilan telepon mereka.
"Mb-Mbak Dania?" Suara Ryan terdengar gagap saking bingungnya.
"Apa? Jangan bilang kamu masih di rumah, ya! Mbak udah bilang buru-buru. Make-up itu mau dipake sekarang."
"Make-up? Make-up apa?"
"Ryan!"
Ryan terperanjat mendengar Dania menyentak. Telinganya seperti di lempar petasan yang tiba-tiba meledak. "Nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih!" seru Ryan kesal.
"Makanya jangan bercanda terus!" Terdengar embusan napas panjang sebelum Dania kembali berkata, "oke ... Ryan, sayang. Sekarang bukan waktunya bercanda, ya. Sebentar lagi acaranya mau dimulai, tapi riasan para model belum sempurna. Riasan mereka nggak akan selesai kalau make-up mbak yang ketinggalan itu belum kamu berikan."
Ryan berpikir sejenak mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan kakak sepupunya itu. Kali ini suaranya lebih rendah, sehingga Ryan bisa mencernanya lebih mudah.
Ketika kedua matanya menangkap sebuah kotak berwarna hitam, Ryan bisa sedikit menyambungkan benang merah. Dengan kaca transparan di bagian atasnya, lelaki itu bisa melihat jika isi kotak tersebut adalah alat make-up yang dimaksud Dania.
"Apa itu kotak make-upnya?"
Sekeras mungkin Ryan berpikir, tetapi ia tidak bisa mencerna kejadian yang menimpanya saat ini adalah nyata. Ia tidak bisa berpikir jernih tentang semua peristiwa yang dia alami. Kejadian acak yang menimpanya saat ini terasa seperti mimpi.
"Ah, sakit!" Ryan mencubit pipinya sendiri dan tentu saja terasa perih. Itu membuktikan jika yang dia alami bukanlah mimpi.
"Halo, Ryan! Ryan! Kamu masih di sana 'kan?" Suara menggelegar di balik ponselnya mengembalikan pikiran Ryan yang sempat berputar-putar.
"Ah, iya. Aku masih di sini," ucap Ryan mencoba mengikuti alurnya saja. Mungkin sebentar lagi dia akan tahu apa yang terjadi kepadanya.
"Mbak tanya sekali lagi, kamu ada di mana sekarang?"
"Aku? Sebentar ...." Ryan mengedarkan pandangannya ke arah luar. Kali ini pandangannya lebih difokuskan. Tak jauh di depan mobilnya ada sebuah gedung yang terpampang tulisan 'SMA Pelita Harapan'.
"SMA Pelita Harapan." Ryan membaca tulisannya pelan bahkan hampir tak terdengar, tetapi Dania bisa mendengarnya dari seberang.
"Oh, kamu udah sampai di sekolah? Ah ... syukurlah! Kamu ada di mana? Mbak yang temui kamu aja," seru Dania langsung menyambar.
"Eh, sekolah apa? Bukannya aku lagi di Padang Mahsyar?" Ryan terkejut tentu saja. Bagaimana bisa dia menyebut parkiran sekolah sebagai tempat penghisaban amal perbuatan setelah akhir zaman.
"Kamu ngomong apa, sih? Bercandanya nggak lucu, tahu!"
Ryan meneguk ludah menyesali kebodohannya. Sekaligus takut karena Dania benar-benar marah. Sungguh, Ryan tidak pernah berniat untuk menjadikan hal itu sebagai bahan candaannya.
"Iya, Mbak, maaf! Aku ... sepertinya ada di parkiran sekolah," ucap Ryan sedikit takut. Dania pun terdengar mendengkus.
"Oke, tunggu Mbak di sana!"
Panggilan pun berakhir setelah Dania memutuskan panggilan telepon terlebih dahulu. Tinggallah Ryan yang masih merasa ambigu. Ia menggaruk keningnya yang tidak gatal sembari berpikir keras. Kejadian tidak masuk akal yang menimpanya itu membuatnya hampir tidak waras.
"Apa kecelakaan itu yang mimpi?" Ryan frustrasi sambil mengacak rambutnya sendiri. "tapi nggak mungkin. Aku ingat betul kalau aku baru pulang dari makamnya Rara beberapa jam yang lalu, terus aku mengalami kecelakaan. Lalu, kenapa sekarang aku ada di sini? Membawa make-up Mbak Dania ke sekolahan? Kapan aku disuruh oleh dia?"
Ryan benar-benar tidak mengerti. Ia berusaha mengingat semua kejadian sebelum dirinya terdampar di sana, tetapi hasilnya tetap sama. Kepalanya seperti mau pecah memikirkan jawaban atas kebingungannya.
"Ryan!"
Suara Dania yang diiringi suara ketukan kaca membuat Ryan terlonjak kaget, lalu menghela napas kasar setelah melihat Dania-lah pelakunya. Ryan pun membuka pintu mobil setelah meraih kotak make-up yang diinginkan sepupunya itu, lalu keluar dari mobil.
"Mana kotak make-upnya?"
Ryan memberikan kotak make-up itu kepada Dania. Pandangannya menyapu ke segala arah hingga tiba-tiba perasan dejavu menyerang pikirannya. Ryan pun sontak membelalakkan kedua mata.
"Sepertinya aku pernah ke tempat ini," ucapnya sambil mengingat sesuatu.
...******...
...To be continued...
Jangan lupa cek novel keren di bawah ini juga, ya
disitulah mulai ga sadar senyum sendiri 🤣🤣🤣
ga berasa baca teh 😁
ko tau
ya tau dong
masa engga 😅😅😅
drama indihe meregehese 🤣🤣🤣
ada yang panas
tapi bukan seblak 😅😅😅
ryan pk helikopter emang ?