Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istanbul
Leyla menatap Freya yang sedang sibuk merapikan barang-barangnya di dalam koper. Kamar Freya dipenuhi dengan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara ritsleting dan desah napas berat. Mereka sudah berjanji untuk saling menemani sampai detik terakhir sebelum Freya berangkat pindah ke luar negeri.
"Sudah siap?" tanya Leyla dengan senyum tipis, meskipun hatinya sedikit berat melihat sahabatnya akan pergi jauh.
Freya menatap Leyla sejenak, lalu tersenyum. "Iya, siap. Tapi rasanya belum percaya aku akan pergi jauh dari sini."
Leyla mendekati Freya dan menepuk bahunya. "Kamu pasti bisa. Aku yakin ini kesempatan besar buat kamu. Jangan terlalu banyak pikiran, nikmati saja perjalanan ini."
Mereka berdua kemudian menuju ke mobil Leyla. Sepanjang perjalanan ke bandara, suasana canggung di antara mereka. Leyla sesekali melirik Freya yang tampak termenung, dan di matanya, terselip sedikit rasa sedih. Mungkin Freya sedang memikirkan Tama, laki-laki yang sering disebutnya namun masih terasa jauh dalam hatinya.
"Tama tahu kamu pergi hari ini?" Leyla memecah kesunyian.
Freya hanya menggeleng kepalanya pelan. "Aku sudah memblokir semua kontaknya."
"Aku yakin kamu akan mendapatkan kebahagiaan di sana," ucap Leyla yang menyesal telah menyebutkan nama Tama.
Freya tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab. Hati kecilnya ingin sekali berpamitan dengan laki-laki yang sudah menikah itu.
Setibanya di bandara, mereka turun dan membawa koper Freya ke pintu keberangkatan. Leyla memeluk Freya erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Jaga diri baik-baik, Freya. Jangan lupa kabari aku sesekali, ya."
Freya mengangguk, memeluk Leyla kembali dengan hangat. "Terima kasih sudah selalu ada buat aku, Ley. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya."
Leyla tersenyum lembut. "Selamat jalan, Freya. Semoga perjalananmu lancar dan kamu bisa menemukan kebahagiaan di sana."
Setelah berpamitan, Freya melangkah masuk ke dalam bandara, meninggalkan Leyla yang berdiri di tempatnya dengan mata sedikit berkaca-kaca. Hatinya berharap Freya menemukan apa yang dia cari, dan mungkin, Tama akan menyadari betapa pentingnya Freya dalam hidupnya sebelum semuanya terlambat.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga belas jam yang terasa begitu panjang, Freya akhirnya tiba di Turki. Ketika dia keluar dari pesawat, angin sejuk menyapa wajahnya, berbeda dengan udara hangat yang biasa dia rasakan di rumah. Suasana bandara Istanbul yang megah dan ramai membuat Freya merasa kecil di antara orang-orang dari berbagai negara yang hilir mudik dengan bahasa asing yang terdengar di sana-sini.
Freya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kegugupannya. Ini pertama kalinya dia berada di negeri yang jauh dari Indonesia, dan rasanya agak surreal. Langit cerah Turki menyambutnya, seolah mengisyaratkan awal baru dalam hidupnya. Dengan koper di tangan, dia berjalan menuju pintu keluar, di mana sebuah mobil yang telah dipesan sebelumnya menunggunya.
"Ayo kamu bisa Freya!" ucap Freya menyemangati dirinya sendiri.
Selama perjalanan menuju apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya selama beberapa bulan ke depan, Freya menatap pemandangan kota yang indah. Menara-menara masjid yang menjulang, bangunan-bangunan bergaya Eropa dan Asia yang berpadu harmonis, serta jalan-jalan sempit berbatu yang memancarkan kehangatan sejarah, semua terasa asing namun memukau.
Sambil menatap pemandangan itu, pikiran Freya kembali melayang ke rumah, terutama kepada Tama. Dia bertanya-tanya, apakah Tama sadar dia sudah pergi? Apakah ada pesan yang masuk di ponselnya selama dia dalam penerbangan? Tetapi Freya mencoba menepis perasaan itu. Ini adalah waktu untuk dirinya, untuk melupakan sejenak semua yang membebaninya dan fokus pada pekerjaannya di sini.
Begitu tiba di apartemennya, Freya segera berbaring di kasur yang lembut. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih berputar-putar. Dia mengambil ponselnya, berharap ada pesan dari Tama. Namun layar ponselnya kosong, tak ada pesan masuk.
Freya menghela napas panjang, kemudian tersenyum lemah. "Mungkin ini memang saatnya aku benar-benar memulai dari awal," gumamnya pelan.
Turki adalah petualangan baru, dan Freya bertekad untuk menjalani hari-hari ke depannya dengan semangat dan tanpa terlalu banyak membebani hatinya dengan hal-hal yang tak bisa ia kendalikan.
Dengan pikiran itu, Freya akhirnya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah perjalanan panjang dan siap menghadapi hari pertama petualangannya di negeri orang.
***
Malam itu, Freya memutuskan untuk keluar mencari makan di restoran lokal yang tidak jauh dari apartemennya. Perutnya mulai keroncongan setelah perjalanan panjang, dan dia ingin mencoba masakan Turki yang terkenal lezat. Setelah berjalan beberapa blok, dia menemukan sebuah restoran yang terlihat nyaman, dengan lampu-lampu hangat yang menghiasi jendelanya dan aroma rempah yang menguar dari dalam.
Freya memilih tempat duduk di sudut restoran, dekat dengan jendela, sehingga dia bisa menikmati pemandangan kota Istanbul yang gemerlap di malam hari. Dia memesan sepiring kebab dan segelas air mineral, menikmati suasana yang tenang dan sedikit ramai di restoran itu. Namun, saat dia sedang menunggu makanannya datang, tiba-tiba seseorang yang membawa cangkir kopi berjalan terburu-buru di dekat mejanya.
Dalam sekejap, cangkir kopi itu terlepas dari tangan si pelayan dan tumpah ke arah Freya, mengenai bahunya. "Astaga!" Freya terkejut dan langsung berdiri, merasa bahunya panas akibat siraman kopi.
"Oh tidak, maafkan saya! Saya benar-benar tidak sengaja," ujar pria yang baru saja menumpahkan kopi itu, suaranya penuh penyesalan. Freya menoleh untuk melihat siapa orang itu, dan alangkah terkejutnya dia ketika menyadari bahwa pria itu adalah orang yang pernah menabraknya di gereja beberapa bulan yang lalu.
Waktu itu, pertemuan mereka terjadi dengan begitu singkat dan tak disengaja. Pria itu terburu-buru saat menabraknya di depan pintu gereja, dan Freya hanya sempat melihat wajahnya sejenak sebelum dia meminta maaf dan pergi. Kini, di tempat yang jauh dari rumah, pria itu berdiri di depannya lagi.
"Kamu …" Freya terdiam, menatapnya dengan mata terbelalak.
Pria itu mengerutkan kening, berusaha mengingat. "Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" anyanya sambil mengambil serbet untuk membantu membersihkan kopi yang tumpah di pakaian Freya.
Freya mengangguk pelan, masih terkejut dengan kebetulan ini. "Iya, aku ingat kamu. Kita pernah bertemu di gereja beberapa waktu lalu. Kamu menabrakku saat terburu-buru masuk."
Pria itu tampak bingung sejenak, tetapi kemudian wajahnya berubah seolah dia mulai mengingat kejadian tersebut. "Oh, ya ampun! Iya, aku ingat sekarang! Aku benar-benar minta maaf waktu itu, dan sekarang malah kejadian seperti ini lagi. Sepertinya aku selalu membawa kesialan buat kamu."
Freya tak bisa menahan senyum kecil. "Tidak apa-apa, meskipun kamu sudah dua kali menumpahkan sesuatu ke aku."
Pria itu tertawa gugup. "Aku benar-benar minta maaf. Boleh aku mentraktir makan malammu sebagai permintaan maaf?"
Freya ragu sejenak, tapi suasana menjadi lebih santai dengan tawanya. "Baiklah, tidak apa-apa. Lagipula, aku sudah sangat lapar."
Mereka akhirnya duduk bersama di meja Freya, dan selama makan malam, percakapan mereka mengalir dengan mudah. Freya mengetahui bahwa pria itu bernama Emir, seorang arsitek yang tinggal di Istanbul, dan dia merasa takjub dengan kebetulan aneh yang mempertemukan mereka kembali di tempat yang jauh dari rumah. Meskipun pertemuan mereka diawali dengan insiden kecil, malam itu terasa seperti awal dari sesuatu yang baru dalam hidup Freya.