Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 29
Setelah Efran pulang, Adeline bergegas untuk membersihkan piring serta peralatan lainnya didapur. Sedangkan Rafael terdiam duduk diruang makan seraya memperhatikan Adeline yang tengah membenah didapur.
Kemudian, suara Efran terngiang kembali saat pria itu mengatakan bahwa dirinya harus melepaskan Adeline jika terus menerus menyakitinya. Selain itu ucapan Daren dan Alvaro juga terngiang kala mereka mengatakan bahwa seseorang terasa berharga ketika mereka ditinggalkan.
Kamu keluargaku satu-satunya, jadi mana mungkin aku membiarkanmu pergi, Del.
Tiba-tiba saja Rafael berdiri dari duduknya dan membuat Adeline terkejut, karena kursi yang didudukinya sampai berdecit. Melihat Rafael berjalan ke arahnya dengan menggebu-gebu membuat Adeline bingung dan kembali teringat kejadian waktu itu lagi, karena tatapan Rafael saat ini sama seperti saat itu.
Benar saja, saat tiba dihadapan Adeline, tanpa permisi pria itu langsung mendaratkan sebuah ciuman pada bibir Adeline. Lagi-lagi Adeline dibuat terkejut dengan sikap Rafael kali ini, entah apa yang kembali merasukinya hingga berbuat seperti itu lagi. Ciuman itu menuntut balasan, dan ciuman yang dirasakan oleh Adeline saat ini berbeda dengan ciuman dimana pertama kali mereka melakukannya.
Ciuman Rafael kali ini terasa lebih lembut meski terkesan menuntut karena keterkejutan Adeline yang merasa semuanya mendadak. Kehangatan itu terasa, dan membuat Adeline terbuai, dia memejamkan kedua matanya lalu kedua tangannya terlingkar dileher Rafael.
Tangan Rafael tidak hanya diam dan dia mulai mengusap lembut paha Adeline yang memang saat itu Adeline hanya menggunakan rok pendek. Ketika tangan Rafael mulai tak terkondisikan, Adeline melepaskan ciuman mereka dan menggeleng. "Jangan kak," guman Adeline yang kembali mendapatkan kesadarannya.
"Kita sudah melakukannya sekali, jadi kenapa harus malu? Bukankah kau mencintaiku? Jadi lakukan saja tugasmu dan biarkan cintamu yang deras itu mengalir pada hatiku." Ucapnya yang kembali menempelkan bibirnya pada bibir Adeline.
Apa ini? Semakin dalam kau melakukannya, semakin dalam pula harapan yang kumiliki untuk menempati hatimu, kak.
**
**
Satu minggu setelah kejadian malam itu, Adeline jadi selalu menghindari Rafael. Dia tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi jika tidak ada rasa apapun dari Rafael. Adeline tidak ingin menikmatinya sendiri, dia ingin berbagi rasa dengan Rafael.
Setiap harinya Adeline akan berangkat lebih pagi dari biasanya, bahkan saat matahari belum memunculkan sinarnya, Adeline sudah tiba dirumah sakit, dan dia akan pulang larut malam dengan harapan bahwa Rafael sudah tertidur dikamarnya. Meski Adeline selalu berangkat pagi, dia tidak pernah lupa untuk membuatkan sarapan dan bekal untuk Rafael, hanya untuk makan malam Rafael memang harus menyiapkannya sendiri atau terkadang Adeline berinisiatif untuk memesannya melalui online.
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, dan Adeline baru saja hendak memesan taksi online, namun seseorang menepuk bahunya yang spontan membuatnya terkejut.
"Aku yang akan antar kau pulang, ayo." Tukasnya yang langsung merangkul Adeline.
"Kau mengagetkanku, Fran. Kenapa kau belum pulang? Bukankah hari ini kau hanya sampai jam 8 malam?" Timpal Adeline penasaran.
"Seharusnya aku yang tanya, kau kenapa akhir-akhir ini jadi sering pulang larut? Apa ada masalah?" Adeline hanya menggelengkan kepalanya dan membuat Efran menghela napasnya.
"Kenapa menghela napas seperti itu?"
"Tidak apa-apa, hanya saja kau tidak boleh pulang larut setiap hari. Itu tidak baik untuk kesehatanmu."
"Siap laksanakan dokter Efran." Ucap Adeline yang membuat Efran mencubit gemas pipi wanita yang berada disisinya.
Dalam perjalanan, Efran sengaja mampir ke salah satu minimarket 24 jam untuk membeli sesuatu. Dia membelikan makanan dan minuman untuk Adeline. Mencium aroma makananan yang baru saja matang itu membuat cacing dalam perut Adeline meronta, bahkan dia pun terlihat seperti sedang menelan salivanya sendiri.
"Kau tidak membelikan untukku?" Protes Adeline seraya mengerucutkan bibirnya
"Aku membeli makanan ini memang untukmu, adik kecil." Efran menyerahkan satu kotak makanan yang sudah dia masukkan ke dalam microwave sebelumnya pada Adeline.
"Aaahh terima kasih banyak, kau memang benar-benar sahabat pengertian."
Kembali melanjutkan perjalanan, Efran fokus dengan kemudinya dan Adeline sibuk menyantap makanan yang telah dibelikan oleh Efran tadi. Menu yang dipilih oleh Efran sangat lezat menurutnya, entah lah memang benar lezat atau hanya karena dia lapar semata.
30 menit kemudian Adeline sudah tiba dirumah sederhana namun terlihat mewah itu. Dia melihat tidak ada mobil Rafael terparkir disana dan dia berharap Rafael memang belum pulang meski hari sudah larut sekalipun, sehingga dirinya bisa merasa aman untuk masuk kedalam kamarnya.
Setelah berpamitan dengan Efran dan memastikan pria itu sudah pergi meninggalkan pekarangan rumahnya, Adeline bergegas masuk agar bisa beristirahat lebih cepat. Namun, siapa sangka orang yang dia harapkan belum datang justru sudah menunggunya dibalik pintu dengan tatapan yang begitu tajam.
"Jam berapa sekarang?" Ucapnya dengan nada yang dingin. "Pulang tengah malam dan di antar oleh seorang pria? Apa hal seperti itu bagus untuk seorang wanita yang sudah bersuami?"
Adeline menatap wajah Rafael saat ucapannya selesai diucapkan. Mendengar kata 'suami' membuat Adeline sedikit tidak percaya, karena selama menikah dengannya, baru kali ini Rafael menyebutkan status dirinya secara gamblang meski hanya dihadapan Adeline seorang.
"Kau bahkan tidak pernah lagi menyiapkan makan malam untukku, apa hal seperti itu pantas dilakukan, Del?" Kedua mata Rafael menyiratkan sebuah kekesalan yang mendalam saat ini, dan Adeline kembali menundukkan wajahnya. "Apa kau sedang menghindariku karena kejadian itu?" Tanyanya lagi.
Seketika bayangan setiap malam kejadian yang dilalui oleh keduanya terlintas dipikiran Adeline dan hal tersebut langsung membuat kedua pipinya terasa terbakar karena menahan malu. Meski begitu Adeline mencoba untuk mengontrol hati serta detak jantungnya agar tetap berdetak beraturan.
"Jawab aku, Del. Apa kau tidak menginginkannya? Apa itu menyakitimu?" Kini suara Rafael terdengar begitu lembut meski tetap terkesan menuntut.
"Aku hanya berpikir, apa kau sadar telah melakukan itu padaku, kak?" Pertanyaan Adeline membuat kening Rafael mengernyit. Pasalnya, setiap melakukannya, pria itu tidak pernah salah sebut nama dan tetap menyebut nama Adeline, tapi Adeline masih merasa bahwa pria itu sedang tidak sadar.
"Menurutmu bagaimana, Del? Apa dengan semua yang kau rasakan itu, kau masih merasa aku tidak sadar melakukannya?" Kini detak jantung Adeline sudah mulai tidak terkendali, dia tidak tahu maksud dari ucapan Rafael saat ini mengarah kemana, hanya saja membicarakan kejadian-kejadian itu sangat memalukan untuknya.
"Kak, aku pikir aku harus istirahat sekarang. Kita bicara besok lagi," pengalihan yang cukup baik, karena Adeline langsung melewati Rafael agar bisa dengan cepat masuk ke dalam kamarnya tanpa harus mengalami kejadian yang sama untuk kesekian kalinya. Adeline tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi bukan karena dia tidak ingin, dia hanya tidak mau rasa itu muncul lebih dalam lagi sehingga membuatnya akan selalu bergantungan pada sosok Rafael.